Menyigi Kursi Pejaten Satu?

Bagikan artikel ini

Penulis : Benyamin Mararu

Tarik-menarik yang cukup panjang di dalam Pemerintahan Jokowi – JK dalam menentukan Kepala Badan Intelijen Negara (BIN) tampaknya sedemikian rumit dan sulit. Pemimpin yang baik itu bukan pemimpin yang menyenangkan semua pihak melainkan yang mampu mengambil keputusan yang cepat, tegas dan tepat.

 

Pemilihan seorang Kepala BIN oleh Presiden Jokowi belum dilakukan, tetapi berbagai isu beredar dikalangan media terkait siapa saja nama-nama yang masuk di dalam bursa pemilihan Kepala BIN. Meskipun berbagai nama telah bermunculan, bukan hal yang mudah bagi seorang presiden untuk menentukan siapa Kepala BIN yang akan menjalankan fungsi penyelenggaraan Intelijen di Indonesia. BIN merupakan sebuah organisasi intelijen yang besar, lengkap, dan diawaki oleh personil terdidik yang sudah mapan secara organisasi. Presiden sangat membutuhkan informasi dengan akurasi tinggi tanpa bias dari Kepala BIN, untuk itu Presiden Jokowi sangat berhati-hati dalam menentukan pemimpin organisasi yang berperan sebagai penangkal utama masuknya potensi ancaman dari dalam maupun luar negeri.

Sebelum jauh kita membahas siapa yang dipercaya Presiden Jokowi menduduku kursi “Pejaten Satu”, penulis akan mencoba meluruskan pernyataan Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan (Menkopolhukam), Laksamana TNI (Pur) Tedjo Edhi Purdijatno beberapa waktu lalu di media massa sangat disayangkan.Tedjo mengungkapkan kepada media bahwa selama ini perkiraan BIN sering meleset, hal tersebut dapat menurunkan kredibilitas BIN dimata masyarakat. Sebagai seorang mantan militer seharusnya Tedjo Edhi Purdijatno memahami benar tugas pokokdan fungsi dari organisasi BIN dan bagaimana pola kerja serta etika kerja yang diterapkan dalam organisasi tersebut. Selama ini keberhasilan BIN dalam menjalankan organisasinya tidak dapat diukur, karena keberhasilan BIN tidak pernah diungkapkan kekalangan media. Ketika muncul suatu permasalahan terkait kepetingan Negara, maka yang akan menjadi sorotan dan dipersalahkan adalah BIN.

BIN berperan sebagai coordinator penyelenggaraan intelijen Negara, sehingga pola kerja BIN selalu di belakanglayar. Dengan berkoordinasi dengan semua pihak intelijen, maka penyelesaian suatu permasalahan akan bermuara di Polri ataupun TNI yang memiliki wewenang dan kapasitas dalam melakukant indaklanjut dari informasi yang telah diberikan. Dengan itu kinerja BIN seharusnya hanya dapat diketahui oleh jajaran penegak hukum lainya di Indonesia. Inteljen itu ibaratkan pisau, kalau yang punya tidak terbiasa menggunakannya pisau tersebut akan menjadi pajangan saja dan bias-bisa berkarat, namun sebaliknya kalau sering mengasahnya pisau tersebut akan berguna buat orang banyak, tetapi kalu yang menggunakan pisau tersebut tidak hati-hati bisa melukai orang lain, oleh sebeb itu perlu orang yang pantas dan berpengalaman untuk mengendalikan pisau tersebut.

Kalau bulan yang lalu kita disibukkan dengan soal usul mengusul mengenai calon-calon menteri dalam kabinet Jokowi-JK, hal itu saya kira sudah lumrah alias biasa-biasa saja. Menurut info yang berkembang sudah lebih dari 200 pendaftar/pelamar dari berbagai kelompok masyarakat umum yang masuk ke Rumah Transisi. Belum lagi adanya usulan-usulan dari parpol pengusung Jokowi-JK. Namun demikian, yang lebih menarik saat ini setelah terbentuknya “Kabinet Kerja” Jokowi-JK, mengenai siapa pemegang posisi dari Kepala Intelijen Negara (BIN). Ada beberapa nama yang sudah dikantongi oleh Jokowi, seperti, As’ad Ali, TB. Hasanuddin, Sjafrie Sjamsoeddin dan Sutiyoso. Kesemua itu terpulang kepada Presiden Jokowi untuk memutuskannya, yang penting sebagai calon Kepala BIN harus dari institusi yang terbiasa dan berpengalaman dengan intelijen, tidak punya catatan jelek terhadap kinerjanya sebelumnya dan mempunyai kemampuan komunikasi dengan dengan lembaga-lembaga yang ada terutama dengan anak buah sendiri.

Dari nama-nama yang telah dikantongi oleh Jokowi tersebut, saya cukup tertarik dengan usulan nama As’ad Ali yang diajukan oleh Hendropriyono, untuk menduduki jabatan Kepala Badan Intelijen Negara (BIN). Lembaga ini merupakan alat negara yang sangat strategis, seperti halnya TNI dan Polri, oleh karena itu fungsinya ada dalam sistem keamanan nasional. BIN merupakan mata dan telinga negara yang akan menjadi alat deteksi dan peringatan dini dalam menjaga kedaulatan negara dan keamanan rakyatnya dari ancaman, gangguan, hambatan, dan tantangan baik yang datang dari dalam maupun dari luar. Tidak ada negara yang kuat, maju, dan modern serta demokratis tanpa lembaga intelijen yang profesional dan efektif. Indonesia yang sedang membangun jati dirinya menjadi negara yang demokratis dan kuat, tentu memerlukan keberadaan BIN yang seperti itu.

As’ad Ali bukan nama yang asing lagi bagi kalangan Intelijen di negeri ini, karena dia adalah orang sipil pertama yang pernah menduduki kursi Wakil Kepala (Waka) BIN, disamping itu, dia juga orang yang seluruh kariernya dari awal sampai akhir jabatan (pensiun) diabadikannya di lembaga intelijen tersebut. Setelah pensiun, As’ad Ali diminta menjadi wakil ketua di PBNU sesuai keputusan Muktamar NU yang berlangsung di Makassar. Jika Jokowi mempercayakan yang bersangkuta menjadi petinggi nomor satu di BIN di bawah Pemerintahan Jokowi-JK, tentu hal ini merupakan sebuah perubahan paradigma dan praksis di lembaga strategis tersebut, artinya ada beberapa hal ; Adanya sejarah baru sipil memimpin BIN untuk yang pertama kalinya semenjak Orba tumbang, setelah itu Intelijen karier dari dalam BIN bisa memegang tampuk pimpinan sampai level Waka bahkan sampai Kepala dan kedekatan dengan ormas terbesar Islam di dunia (NU) akan membuat lembaga ini memiliki akses terhadap kekuatan Islam moderat dan bervisi kebangsaan, serta pemerintah Jokowi-JK menunjukkan komitmennya terhadap prinsip “civilian supremacy,” yg bisa menghapus stigma seakan-akan BIN tersebut identik dengan militer.

Selain itu masih ada beberapa catatan plus yang lain jika yang As’ad Ali memang dipercaya untuk memimpin BIN, termasuk fakta bahwa yang bersangkutan juga seorang yang memiliki karya-karya ilmiah terkait masalah-masalah strategis di luar dunia inteliijen, seperti di bidang hukum, politik, ideologi, termasuk, masalah-masalah ke Islaman. Kapasitas intelektual As’ad juga cukup diakui oleh dunia akademis sehingga yang bersangkutan dianugerahi gelar Doktor HC oleh Universitas Diponegoro (UNDIP), Semarang. Karya beliau tentang Pancasila dan Ideologi-idiologi yang berkembang di Indonesia, hal ini sangat penting sebagai referensi baik bagi kalangan akademisi maupun praktisi.

Sebagai manusia As’ad tentu saja tidak luput dari kesalahan, bak kata pepatah “tidak ada gading yang tidak retak, tidak ada langkah yang tidak salah”. Pengusulan yang bersangkutan tentu sudah pasti ada kritikan atau halangan, karena masih banayak pihak-pihak yang masih elergi terhadap keberadaan dan perkembangan BIN. Pihak-pihak yang belum puas dengan penuntasan kasus-kasus pelanggaran HAM, khususnya kasus pembunuhan almarhum Munir, tentu hal ini akan mempertanyakan nama As’ad Ali dan hal inilah nantinya yang bisa dijadikan alasan untuk menolak yang bersangkutan. Reaksi yang mirirng seperti itu biasa saja dan perlu untuk dijawab secara lugas, tegas, dan tuntas, disisi lain saya meyakini pihak sponsor maupun As’ad sendiri tentu sudah menyiapkan jawaban untuk memberikan klarifikasi kepada masyarakat Indonesia.

Menurut penulis, BIN sudah sangat perlu melakukan revitalisasi menghadapai berbagai tantangan bangsa dan negara, apalagi setelah memiliki payung hukum atau landasanformal berupa Undang-Undang Nomor. 17 Tahun. 2011. Komitmen untuk menjadi bagian utama dalam rangka menjaga keamanan nasional sesuai amanat Konstitusi, sangat perlu diwujudkan dalam suatu bingkai negara demokratis. BIN harus melakukan transformasi baik pada tataran visi maupun praksisnya sehingga BIN kedepan akan menjadi mata dan telinga negara yang benar-benar profesional dan efektif dan tidak ada lagi dikait-kaitkan dengan intrik politik atau diposisikan semata-mata sebagai alat kekuasaan belaka, seperti yang terjadi di era Orde Baru.

Jika kita menilik status lembaga BIN yang merupakan lembaga sipil, maka sebaiknya posisi Kepala BIN sudah saatnya dijabat oleh “orang dalam BIN” yang ada saat ini dan berpengalaman, dalam hal ini As’ad Said Ali. Apalagi yang bersangkutan memiliki jejaring intelijen yang kuat, menguasai persoalan luar negeri terutama Timur Tengah, persoalan radikal kanan, radikal kiri, pluralisme dan masalah ekonomi serta sosial budaya. Gaya tulisan As’ad juga sangat mumpuni, sehingga seringkali mengoreksi tidak hanya artifisial, namun juga mengoreksi setiap laporan jika ada kekurangan substansinya.

Titik penting lainnya adalah kemenangan Jokowi-JK di pantai timur Jawa Barat sampai Jawa Timur adalah karya dari tim sukses NU yang dikomandani As’ad Said Ali, bahkan mereka bergerak dengan dana sendiri, sehingga kalangan Kiai Khos/Kharismatik NU tadi malam mendesak Jokowi untuk memilih As’ad sebagai Kepala BIN.

Last but not least, jika As’ad menjadi Kepala BIN maka pendekatan information gathering yang akan dilakukan menekankan kepada kemampuan kapasitas human intelligent, mengedepankan pendekatan komunikasi, sosiologi dan antropologi dalam penyelesaian beragam konflik. Itu berarti konflik-konflik di Papua, Papua Barat dan benih-benih konflik antara Syiah-Sunni dan lain sebagainya akan dapat dipotret dan dianalisis secara lebih tepat jika As’ad menjadi Kepala BIN, namun semua calon yang tertera diatas tidak diterima oleh Presiden Jokowi, lantaran alasan HAM dan sebagainya, sebaiknya Jokowi mengambil para eselon I A yang ada di lingkungan BIN saat ini, para eselon tersebut juga mempunyai kemampuan dan pola kerja dan pola pikir yang tidak jauh berbeda dari As’ad Ali. Semoga Jokowi tidak salah memilih pemimpin yang terbaik untuk mengisi kursi Kepala BIN. Kita lihat nanti setelah Presiden pulang dari kunjungannya dari luar negeri.

*) Penulis adalah pemerhati masalah Polkam.

 

Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com