Muradi, Staf Pengajar Ilmu Pemerintahan, FISIP UNPAD, Bandung
Pertaruhan politik terbesar bagi Indonesia pada hajat politik Pemilu 2014 bukan hanya sekedar menuju demokrasi paripurna atau partai politik atau calon presiden mana yang akan memenangkan kontestasi lima tahunan tersebut, melainkan menjaga agar kebhinekaan Indonesia tetap terjaga dengan baik. Sebagaimana diketahui bahwa selama pelaksanaan Pemilu pasca Orde Baru, Indonesia dihadapkan tantangan pada menguatnya politik sektarian berbasis Suku, Agama, Ras, dan Antar golongan (SARA). Menguatnya politik sektarian menegaskan bahwa Indonesia sebagai sebuah bangsa masih menghadapi permasalahan yang terus mengintai dan mengancam. Ancaman tersebut tidak akan pernah berhenti hingga kesadaran berbangsa dan bernegara dapat secara efektif termanifestasi dalam benak publik secara keseluruhan.
Selama ini politik sektarian juga menjadi penghalang bagi integrasi politik dalam bingkai kebhinekaan. Negara secara massif berkontribusi dalam menguatnya politik sekterian dengan salah satunya melakukan pembiaran atas sejumlah potensi konflik yang ada dan tumbuh di masyarakat. Beberapa potensi konflik dan mengemuka menjadi konflik adalah sikap intoleran terhadap kelompok minoritas seperti pengkut Ahmadiyah, Syiah, dan pendirian gereja.
Praktik pembiaran negara sesungguhnya berhulu pada belum jelasnya batasan dan kewenangan antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah dalam mengelola konflik dan kebijakan terkait dengan hal tersebut. Bila mengacu pada UU No. 32/2004, urusan agama memang menjadi kewenangan pemerintah pusat, karenanya problem terkait dengan hal tersebut membuat negara menjadi gamang dalam menyikapi dan membuat kebijakan terkait dengan hal tersebut. Kondisi tersebut memperkuat asumsi publik bahwa negara cenderung melemah manakala menyikapi berbagai isu yang terkait dengan pengelolaan konflik tersebut.
Tahun Politik dan Kebhinekaan
Terlepas dari lemahnya negara dalam mengelola konflik, publik harus juga melihat bahwa perbedaan yang ada di masyarakat harus dipahami sebagai bagian penguatan hubungan antar masyarakat. Perbedaan yang ada di masyarakat dalam bentuk suku, agama, ras, dan antar golongan harus diyakini sebagai potensi luar biasa dalam memperkokoh kebangsaan yang hakiki. Sikap penghargaan dan toleransi atas perbedaan yang ada selama ini membentuk paradigma ke-Indonesiaan-an yang hakiki.
Permasalahan yang kemudian muncul adalah kewenangan negara harus pula memiliki daya paksa agar publik juga menjadi bagian yang terintegrasi dalam bentuk kebijakan yang mengikat publik dalam satu kesatuan gerak yang sama sebagai suatu bangsa. Keberadaan negara dibutuhkan agar proses integrasi dalam gerak yang sama tersebut dapat secara efektif dilakukan. Sebab, negara memiliki kewenangan dan daya paksa yang luar biasa kepada rakyat untuk mencapai tujuan berbangsa dan bernegara. Daya paksa negara atas penyelesaian konflik itulah yang tidak nampak selama 15 tahun terakhir ini.
Permasalahan yang juga menguat adalah pada tahun politik 2014 ini adalah basis politik dan massa cenderung menguat pada politik sektarian, yang cenderung mengedepankan perbedaan dari pada persamaan yang ada. Dibutuhkan empat langkah efektif yang dilakukan negara dan publik untuk menjaga harmonisasi dan kebhinekaan Indonesia, yakni: Pertama, negara harus memaksimalkan kewenangannya, baik secara persuasif maupun dengan daya paksa kekerasan untuk memastikan bahwa kebhinekaan tetap terjaga dalam bingkai keindonesiaan. Sementara publik juga harus memastikan bahwa hidup berdampingan dan menghargai perbedaan adalah sikap dasar yang harus terimplementasi dalam kehidupan bermasyarakat.
Kedua, negara harus pula memberikan contoh yang baik dalam bentuk yang lebih praktis dan konkret. Salah satu yang terkait dengan tahun politik 2014 adalah negara harus tetap menjaga jarak dan tidak berpihak pada salah satu partai politik dan atau calon presiden pada pelaksanaan Pemilu 2014 ini. sebab, begitu negara tidak netral dan berpihak, kecenderungan publik akan melampiaskan kemarahan pada kelompok minoritas dan membuka ruang konflik baru.
Ketiga, menyadari bahwa keberagaman suku, agama, ras dan antar golongan menjadi satu kenyataan yang harus dijaga dan dirawat. Resiko utama dari negara dengan beragam perbedaan adalah menguatnya konflik yang ada. Karenanya, negara diharapkan membuat kebijakan politik yang harus memberikan rasa tentram dan aman di publik. Sekali saja negara tidak obyektif dalam membuat kebijakan, maka peluang menguatnya konflik sangat mungkin terjadi. Sebaliknya, publik juga dihadapkan pada realitas bahwa integrasi sosial yang ada selama ini belum sepenuhnya dipahami secara komprehesif. Karenanya, negara melalui aparatusnya harus secara terus menerus memberikan pemahaman yang efekif kepada publik terkait pentingnya membangun integrasi sosial.
Dan keempat, negara sedapat mungkin peka dalam melihat dinamika sosial dan politik yang ada, di mana kemungkinan pembiaran atas konflik atau potensi politik yang ada tidak lagi ada. Respon dan ketanggapan negara atas potensi konflik yang ada menjadi titik balik dalam merawat kebhinekaan tersebut. sedangkan disisi yang lain, publik juga merasa memiliki kepastian atas perlindungan oleh negara terkait dengan ancaman dan ekses dari konflik itu sendiri. Sehingga menjadi penting kepekaan dan kebijakan cepat tanggap akan memberikan umpan balik positif bagi penguatan atas kebhinekaan dalam bingkai Indonesia.
Dengan empat hal tersebut menjadi penting untuk digarisbawahi bahwa penyelenggaraan Pemilu 2014 di tahun politik ini bukan lagi dianggap sebagai ancaman atas kebhinekaan yang lebih dari 60 tahun dirawat, melainkan menjadi potensi yang luar biasa guna memperkuat basis keindonesiaan yang lebih toleran yang didukung oleh elit politik yang memiliki visi bagi upaya membawa Indonesia pada level yang lebih beradab.