Penulis: Hendrajit, Direktur Eksekutif Global Future Institute (GFI)
Dua Isu Sentral di balik Bocoran Informasi Snowdeen
Lagi-lagi kasus bocoran rahasia National Security Agency (NSA) yang dirilis oleh Edward Snowdeen layak untuk kita angkat kembali. Global Future Institute mencatat ada dua isu sentral yang perlu digali secara lebih mendalam mengingat keterlibatan Amerika Serikat sebagai salah satu negara adidaya pasca Perang Dunia II.
Pertama, entitas swasta Amerika ternyata telah memonopoli tata kelola global di bidang internet, yang pada perkembangannya kemudian entitas swasta tersebut dikendalikan oleh pemerintah Amerika Serikat. Kenyataan bahwa media internet atau cyber media dipandang oleh para perancang kebijakan strategis Keamanan Nasional di Washington sebagai medan tempur yang harus dimenangkan dengan segala cara, sehingga berakibat monopoli atas penguasaan internet menjadi sebuah agenda strategis para perancang kebijakan Keamanan Nasional di Washington. Terutama yang memegang kendali di NSA.
Kedua, konsep penguasaan media komputer dengan dalih perlunya sistem pengamanan informasi seperti yang dipresentasikan Amerika melalui rencana melalui mekanisme International Corporation for Assigned Names and Numbers(ICANN), pada perkembangannya telah dimanfaatkan Pemerintah Amerika untuk operasi-operasi berupa kegiatan-kegiatan dan pengawasan terselubung (Search Activitites and Covert Monitoring) terhadap jaringan-jaringan komputer negara-negara lain, yang tentunya negara-negara yang dipersepsikan oleh Amerika dan negara-negara NATO sebagai MUSUH.
Dengan demikian, melalui ICANN inilah Amerika melakukan pengawasan penuh atas jaringan computer global ini, yang tentunya akan mengontrol seluruh jaringan internet berskala global.
Di sinilah makna strategis dari bocoran rahasia yang digulirkan oleh Edward Snowdeen melalui berbagai sarana komunikasi yang ada kepada publik.
Perkembangan terkini dari kasus bocoran rahasia NSA Edward Snowdeen semakin menarik untuk dicermati, karena pada perkembangannya tidak saja negara-negara adidaya pesaing AS seperti Rusia yang mengecam negara Paman Sam tersebut. Bahkan dari negara-negara Uni Eropa yang notabene merupakan sekutu AS pun mulai menyerang kebijakan penyadapan AS dengan dalih keamanan nasional.
Baru-baru ini, Pengawas Kerahasiaan Uni Eropa (UE) menuntut penyelidikan independen mengenai luasnya upaya pengawasan AS setelah Edward Snowdeen mengungkapkan program mata-mata PRISM.
Berkembang Jadi Spionase Industri
Dalam kasus Brazil, sekadar ilustrasi, pengintaian oleh AS itu tidak hanya dilancarkan untuk memerangi terorisme, tapi pada perkembanganya juga dimanfaatkan untuk memata-matai aspek perkembangan industri negeri tersebut. Berarti, yang semula untuk dalih memerangi terorisme, kemudian dikembangkan untuk tujuan Spionase Industri. Bahkan juga meluas ke ranah diplomasi dan perdagangan.
Bahkan bukan itu saja. Mengutip dokumen-dokumen yang dibocorkan Snowdeen, Washington melakukan penyadapan terhadap komunikasi lewat telepon dan Internet di Brazil. Bahkan lebih jauh lagi, Washington menempatkan sebuah markas intelijen di Brasilia, yang merupakan bagian dari jaringan 16 markas serupa yang dioperasikan oleh NSA di seluruh dunia, untuk menyadap transmisi satelit asing.
Menurut Jacob Kohnstamm, Ketua Kelompok Kerja Article 29, kelompoknya akan menilai program kontroversial PRISM serta landasan lain yang digunakan oleh Dinas Keamanan Nasional AS NSA.
Bahkan Kohnstamm menggulirkan isu lain yang tak kalah krusial terkait program mata-mata PRISM yaitu terkait pengumpulan data-data oleh komunitas intelijen AS terhadap warga masyarakat non AS, sehingga memicu kecemasan tentang terancamnya perlindungan data pribadi warga masyarakat internasional.
Bahkan Jerman, yang notabene termasuk sekutu AS dalam kerangka NATO, juga mengecam AS. Karena melalui bocoran rahasia NSA yang dirilis oleh Snowdeen, ternyata negara-negara Eropa yang termasuk sekutu AS pun, tak luput dari sasaran program mata-mata dinas intelijen NSA.
Kanselir Jerman, Angela Merkel mengatakan, Eropa harus mendorong maju perundingan perdagangan bebas dengan Amerika Serikat namun tetap tidak boleh melupakan kekhawatiran tentang pengintaian rahasia Washington terhadap Eropa.
Bahkan partai-partai oposisi terhadap pemerintahan Merkel, bahkan mendesak pemerintah untuk segera menghentikan negosiasi perdagangan dengan Washington hingga pemerintahan Obama memberi keterangan yang selengkap-lengkapnya terkait operasi Spionase NSA terhadap kantor-kantor Uni Eropa berdasarkan informasi Snowdeen.
Menariknya, ternyata tidak saja Brazil yang jadi sasaran operasi mata-mata AS. NSA ternyata juga memantau saluran telepon dan hubungan data internet warga masyarakat di Jerman serta memata-matai markas Uni Eropa.
Masuk akal jika warga masyarakat Jerman pada Juli lalu, melakukan unjuk rasa memprotes tindakan AS melakukan program mata-mata melalui internet di Jerman.
Program PRISM atau (Privacy in Mobile Information and Communication Systems) merupakan salah satu program yang dijalankan oleh Washington dengan dalih untuk memerangi aksi terorisme, terutama di dunia internet yang dijalankan pemerintah Amerika Serikat melalui NSA.
Di sinilah aspek krusial program ini, karena pada perkembangannya digunakan Washington untuk Operasi Spionase Industri terhadap negara-negara lain, baik yang masuk katageori musuh AS bahkan juga negara-negara sekutu AS namun dipandang sebagai pesaing di ranah ekonomi dan perdagangan.
Alhasil, melalui program PRISM ini, maka NSA memiliki hak untuk mendapatkan dan mengetahui segala data pengguna yang dimiliki perusahaan-perusahaan besar dunia yang tentunya dianggap pesaing perusahaan-perusahaan besar di Amerika.
Ada satu cerita soal yang Yahoo yang dipaksa oleh otoritas intelijen NSA untuk membocorkan data-data para penggunanya. Berdasarkan informasi Snowdeen terkait upaya NSA menggandeng beberapa perusahaan raksasa internet untuk mematai-matai publik, sebuah dokumen yang berhasil diperoleh the New York Times menginformasikan bahwa NSA berhasil memaksa Pengadilan memutuskan agar NSA berhak memaksa YAHOO menyerahkan data penggunanya dengan dalih untuk kepentingan keamanan negara.
Info tersebut memang kemudian dibantah oleh Yahoo seraya menyangkal keterlibatannya dalam program PRISM NSA tersebut. Namun lepas daripada itu, bocoran rahasia NSA Snowdeen memperkuat sinyalemen selama ini bahwa NSA dan komunitas intelijen AS pada umumnya, telah melakukan upaya-upaya menggalang dukungan perusahaan-perusahaan raksasa internet di AS untuk terlibat dalam program mata-mata tersebut.
Penyensoran dan Pembatasan Penyebaran Informasi Lewat Internet ala SOPA dan PIPA
Selain soal program mata-mata PRISM ala NSA, ada satu masalah lagi yang tak kalah krusial, yaitu upaya Washington untuk menciptakan modus penyensoran dan pembatasan informasi lewat Internet.
Mari kita berkilas balik sejenak untuk mencermati salah satu modus yang coba dilakukan sebagai bagian integral dari Perang Total AS di dunia maya.
Seperti kita tahu, sekarang ini para kapitalis global mulai kuatir dengan pengaruh media cyber sebagai arus baru informasi dunia mengimbangi media-media arus utama di Amerika Serikat seperti The York Times, Washington Post, Miami Herald dan sebagainya.
Beberapa waktu lalu, Amerika sempat mengajukan sebuah project dikenal dengan Stop Online Piracy Act (SOPA) dan Protect Intellectual Property Act (PIPA). SOPA adalah RUU Anti Pembajakan Online, sedangkan PIPA adalah RUU Perlindungan Hak Kekayaan Intelektual. Kedua RUU tersebut diprakarsai oleh beberapa Anggota Kongres Amerika dan didukung oleh pejabat-pejabat tinggi di Gedung Putih.
Pada akhirnya SOPA gagal dilegalisasi oleh Kongres mengingat gelombang protes yang luar biasa besar baik dari dunia maya itu sendiri maupun serangkaian protes sosial dari berbagai elemen masyarakat.
Betapa tidak. Sejak akhir 2011, setidaknya sekitar 115 ribu situs web plus puluhan juta orang bergabung dalam protes menentang pembatasan penyebaran informasi lewat media internet maupu dunia maya pada umumnya.
Bukan itu saja. Beberapa perusahaan Information Technology (IT) yang cemas dengan masa depan bisnis mereka, termasuk situs-situs seperti Google dan WordPress juga bergabung dalam satu gelombang dengan protes sosial tersebut. Sehingga Google dan WordPress melakukan aksi blackout, bertumpu pada kebebasan informasi,’ mereka menekan Kongres menghentikan proses legislasi tersebut.
Sejauh ini memang berhasil mematahkan proyek SOPA, namun gerakan para kapitalis global untuk melumpuhkan media cyber sebagai arus baru informasi yang mulai mengancam monopoli informasi yang berada di tangan mereka, nampaknya akan berjalan terus. Dan mencoba berbagai cara baru untuk mewujudkan niatnya.
Karena itu, wajib hukumnya bagi kita untuk mengenali apa agenda sesungguhnya di balik gagasan SOPA maupun PIPA sebagaimana tulisan awal saya di atas.
Agenda tersembunyi pihak AS dan sekutu-sekutu baratnya di balik SOPA maupun PIPA sebenarnya simpel saja. Yaitu bagaimana menciptakan mekanisme hukum agar bisa melakukan penyensoran terhadap situs-situs yang yang dipersepsikan oleh AS berpotensi sebagai ancaman nasional.
Sehingga pemerintah AS dan organisasi hak cipta berwenang penuh untuk memblokir akses ke situs web masuk dalam ‘klasifikasi’ mengancam keamanan nasional yaitu situs-situs yang mengandung layanan yang dianggap melanggar hak cipta maupun konten-konten tertentu (isi berita maupun analisis).
Nah terkait isi dari situs-situs tersebut inilah, merupakan sisi paling rawan dari skema SOPA dan PIPA ini. Karena sifatnya sangat subyektif. Kalau AS memiliki SOPA dan PIPA sebagai payung hukum buat penyensoran, akibatnya bagi dunia maya di negara-negara berkembang termasuk Indonesia, bisa sangat berbahaya.
Karena dengan demikian pemerintah AS dengan payung hukum SOPA maupun PIPA ini bisa memerintahkan penyedia layanan internet (ISP) mengubah domain name server-nya (DNS), sehingga situs-situs yang dimaksud terblokir dan tidak bisa diakses pengguna internet.
Pihak otoritas juga dapat mengambil tindakan hukum dengan menggugat situs-situs mesin pencari, blog, direktori, atau situs umum yang menampilkan situs-situs dianggap blacklist oleh AS baik terkait isi maupun yang mereka anggap telah melanggar hak cipta.
Alhasil, melalui payung hukum SOPA ini, kita tidak lagi bisa mengakses situs-situs internet (cyber media) sebagai media alternatif secara bebas dan gratis. Karena apa yang disensor nantinya bukan lagi sekedar subyek tertentu, tetapi keseluruhan hal yang ‘dianggap ilegal’.
Bahkan yang lebih krusial lagi. Dalam status ini, menyebar dan menyediakan kopian materi berhak-cipta dinyatakan ilegal. Sementara berbagai kalangan menganggap bahwa potensi ancamannya lebih dari itu karena banyak definisi-definisi dalam klausul SOPA dianggap bersayap dan luas. Karena bukan tidak mungkin, di masa depan, obyek sensor bisa saja bukan lagi urusan hak cipta dan komersial saja, melainkan hal-hal yang bersifat lebih politis seperti tuduhan mengganggu ‘stabilitas nasional’, ancaman kejahatan lintas-negara seperti terorisme, dan sebagainya.
Adapun yang terkait dengan atau ACTA atau Anti-Counterfeiting Trade Agreemen, juga berbahaya karena bisa dijadikan dalih untuk penyensoran dan pembatasan penyebaran informasi lewat internet atau cyber media. Betapa tidak.
Kesepakatan tersebut merupakan suatu bentuk traktat anti-pembajakan antar negara yang mengikat hukum di masing-masing negara untuk memastikan berlangsungnya kontrol menyeluruh atas persebaran materi berhak-cipta di kehidupan sehari-hari termasuk pendistribusiannya melalui internet dan media informasi lainnya.
Dalam ACTA, di masa mendatang seseorang tidak bisa lagi secara bebas menyebarkan dan menerima materi-materi yang termasuk dalam daftar perjanjian tersebut, bahkan sampai pada item-item yang bersifat keseharin seperti resep masakan, ramuan obat-obatan, cerita rakyat, pengetahuan lokal dan sejenisnya.
Amerika dan negara negara mapan di barat nampaknya cukup beralasan untuk khawatir terhadap peran media cyber sebagai media alternatif. Studi McKinsey Global Institute (2011) misalnya, menunjukkan kontribusi signifikan internet bagi perekonomian global.
Kini ada sekitar 2 milyar orang terhubung di internet. Dari jumlah tersebut dihasilkan transaksi senilai 8 trilyun dollar melalui e-commerce dan transaksi onlinelainnya. Di 13 negara yang menjadi kajian, internet menyumbang hingga rata-rata 3,4% dari total GDP masing-masing negara. Sebuah nilai yang luar biasa yang bahkan melampaui sektor energi (1,7 %) maupun pertanian (2,2 %). Sementara dari total nilai transaksi yang ada, internet telah menyuntikkan nilai baru yang mencapai 75% bagi perdagangan tradisional.
Di abad 21 ini, internet bukanlah sesuatu yang mewah. Hampir semua orang pernah dan bisa mengaksesnya, baik dari komputer personal maupun perkakas lain yang lebih populer seperti telepon seluler.
Lebih dari itu, internet bukan hanya ruang informasi bagi kita, melainkan dalam beberapa dua dekade terakhir telah menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan harian masyarakat modern.
Kebutuhan yang melibatkan internet makin banyak dan kompleks, dari perdagangan online, perekonomian dan moneter, pendidikan, pers, mengatur lampu lalu lintas hingga yang ‘remeh temeh’ seperti sosialita dan pergaulan. Internet pun telah menjadi sphere baru bagi interaksi sosial yang di dalamnya mengandung fitur-fitur seperti komunikasi, berbagi, dan berjejaring.
Bagi beberapa elemen strategis masyarakat, termasuk kami di Global Future Institute, berpandangan bahwa media cyber bukan lagi sekadar media alternatif atau pengimbang dari media-media arus utama yang dikusai oleh para kapitalis global maupun lokal di negara kita, melainkan media cyber cepat atau lambat, akan muncul sebagai kekuatan baru dan arus baru, yang mewakili kemunculan kekuatan-kekuatan baru di masyarakat yang merasa dirugikan oleh dampak arus globalisasi sebagai kemasan dari kepentingan dan agenda-agenda negara-negara berhaluan kapitalisme liberal seperti Amerika dan Eropa Barat.
Skema SOPA maupun PIPA untuk sementara waktu memang telah gagal mewujudkan rencana busuknya. Namun, bisa dipastikan skema ala SOPA dan PIPA di masa depan, kiranya akan terus diupayakan oleh berbagai korporasi global lewat lembaga-lembaga pembuat undang-undang seperti Kongres AS yang dianggap otoritatif di negaranya, untuk menciptakan payung hukum baru yang identik dengan SOPA dan PIPA.