Modus dan Seri Baru Perang Kolonial, Waspada Buat Indonesia

Bagikan artikel ini

 M Arief Pranoto, Pemerhati Masalah Internasional dari Global Future Institute (GFI)

Statement menarik Presiden Venezuela melalui suratnya kepada Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menggugah banyak kalangan untuk merenung sejenak. Ia menulis: “Ada ancaman yang sangat serius terhadap perdamaian dunia. Sebuah seri baru perang kolonial yang dimulai di Libya dengan tujuan jahat untuk memulihkan sistem kapitalisme global” (Lizzie Phelan, 2011). Penggalan kalimat surat Hugo Chavez yang dicuplik Phelan di atas, tampaknya mengisyaratkan akan dua hal pokok: (1) bahwa sistem dan ideologi kapitalis kini tengah di ujung kebangkrutan,  (2) terdapat modus-modus baru dalam metode kolonial di muka bumi. Ya, tak bisa dipungkiri bahwa kedua isyarat di atas saling bertaut, ada sebab dan akibat tak terpisah. Lalu, dimana letak keterkaitan kedua isyarat tersebut?

Isyarat pertama Chaves memang riil, terlihat nyata bukannya mengada-ada. Adalah badai krisis ekonomi dan finansial seperti enggan berhenti, menyapu Amerika (AS) sebagai inti serta titik awal krisis di dunia, termasuk negara-negara penyanggahnya.  Efek domino pun tidak dapat dielak terutama jajaran Uni Eropa (EU). Tak hanya ekonomi dan finansial, aspek lain seperti bidang sosial, politik, moral dan lainnya pun diterjang pula. Apaboleh buat. Bank-bank dan banyak lembaga sejenis gulung tikar. Tercatat sudah 90-an bank di AS ambruk. Lalu penganguran meningkat, unjuk rasa meraja lela dan aksi protes atas kinerja kapitalis terjadi disana-sini. Aksi massa merebak hampir dimana-mana. Ada gerakan occupy (duduki) Wall Street, occupy Melbern, “musim semi Arab”, ada pula occupy Jakarta dan sebagainya. Belum lagi gejolak dan gerakan rakyat lain dengan pola serta istilah berbeda di berbagai belahan dunia lain. Intinya sama. Mereka memprotes dominasi segelintir elit (1 %) yang super kaya raya, sedangkan yang 99 % biasa-biasa saja bahkan masih banyak terlunta-lunta.

Tampaknya Tata Dunia yang kini diawaki kapitalis telah menimbulkan berbagai ketimpangan dan ketidakadilan global. Dan kapitalisme sebagai ideologi unggulan usai Perang Dingin, sepertinya tengah berdiri di tepi jurang kehancuran. Tinggal sorong!

Uni Eropa Pasti Bubar, Apalagi AS sebagai Sumbernya

Bahkan Prof Dr Beat Bernet (21/11), pakar ekonomi dari Universitas Saint Gallen, Swiss, berani menyatakan bahwa dampak krisis finansial dan ekonomi EU adalah runtuhnya lembaga tersebut. Pasca krisis bank-bank dan finansial akan muncul krisis politik dan UE di masa mendatang tidak akan bertahan dalam bentuk yang kita kenal saat ini (alias bubar?).

Ia menambahkan, bahwa hingga kini tidak ada indikasi akan ada pemulihan kondisi di Eropa bahkan sampai beberapa bulan mendatang. Indikasi yang ada justru menunjukkan sebaliknya. Menurutnya program penghematan dan kenaikan pajak diperkirakan akan menyulut instabilitas sosial di negara-negara UE. Bahkan akan muncul kekuatan baru di kancah yang bakal mengubahnya. Sejak dibentuk hingga kini, UE belum pernah menghadapi krisis separah dan seluas saat ini. Krisis finansial dan ekonomi itu disebut bak bola salju tak terbendung. Bukan hanya sekedar krisis nilai tukar euro saja, melainkan juga akar-akar krisis tersebut begitu dalam, termasuk di antaranya masalah struktur, penurunan kekuatan bersaing dan melemahnya kekuatan finansial anggota UE.

Dosen ekonomi Eropa itu menekankan, kondisi saat ini sangat berbahaya dan dimensinya lebih luas dari yang diumumkan secara resmi. Saya tidak yakin krisis ini dapat diselesaikan dengan “payung penalang” atau dana-dana bantuan, jelas Bernet. Solusi yang dibicarakan hanya mampu menutupi permukaan masalah saja, oleh karena dasar krisisnya sangat dalam. Negara-negara yang mengeluarkan dana penyelamatan ekonomi hanya mengulur-ulur  waktu. Pada hakikatnya, mata uang euro kini sudah sampai di ujung usianya,” jelas Bernet. (IRIB Indonesia). Pertanyaan besar yang timbul ialah, bagaimana dengan negara inti dan awal (sumber) krisis global yakni AS itu sendiri, sedang efek dominonya saja sangat mengerikan sebagaimana dijelaskan Bernet? Itulah yang sedang terjadi. Semoga paragraf singkat ini mampu menjelaskan situasi sesungguhnya walau selintas, sebagai bekal melanjutkan tulisan tak ilmiah ini.

Tetapi sungguh uniq, di tengah krisis multi dimensional tak kunjung usai, Paman Sam malah asyik menyebar militernya di berbagai belahan dunia dengan bermacam dalih. Ada semacam paradoks skenario dilihat oleh publik global. Saling bertolak belakang. Rakyat AS dan sekutu ingin segera ada langkah-langkah nyata perbaikan ekonomi dan penarikan seluruh pasukan, namun elit penguasa  justru menebar ketakutan via penyebaran pasukannya. Agaknya inilah isyarat kedua Chaves sesuai suratnya ke PBB, bahwa AS dan sekutunya hendak menyemai “seri baru” perang kolonial guna memulihkan sistem kapitalisme yang saat ini terseok menuju kelumpuhan . Dan jika merujuk kajian Chaves, agaknya seri baru dalam perang kolonial tersebut telah dimulai dari Libya!

Tiga Modus Baru Kolonialisme

Berdasarkan hal di atas, hasil diskusi dan penelitian Tim Riset Global Future Institute (GFI), Jakarta, pimpinan Hendrajit telah mengendus tiga pola atau methode penjajahan yang hendak ditebar oleh AS dan sekutu di muka bumi, antara lain sebagai berikut:

Pertama adalah “modus potong babi”. Sebenarnya mainan ini telah berjalan relatif lama namun baru terungkap sekarang. Artinya calon korban, baik itu negara maupun aktor non negara diajak kerjasama doeloe setelah besar baru disembelih. Istilah lain yang tepat guna menggambarkan modus ini ialah “membunuh dengan madu”. Dimana calon korban diberi “mainan”, seolah-olah mengasyikan tetapi justru berujung pada kehancuran diri dan negara tersebut (baca: Indonesia Diserbu! www.global-review.com). Betapa rakyat diberi beberapa “permainan”, seperti kebebasan media dan berpendapat di muka umum, demokrasi langsung, multi partai, otonomi daerah dan lainnya tetapi tak sadar disusupkan anasir devide et impera (adu domba) di dalamnya. Akhirnya bentrok fisik dan debat publik menjadi tontonan menarik namun hasilnya NOL. Tidak memecahkan masalah. Seolah ada gegap dinamika tetapi NIHIL pada koridor tujuan negara.

Atau negara maupun aktor-aktor non negara dijejali kemudahan-kemudahan  untuk utang kepada lembaga-lembaga keuangan global (IMF, World Bank dll) namun dibalik itu ada skenario cabut subsidi, privatisasi aset-aset dan seterusnya dengan syarat-syarat yang sangat merugikan negara kreditor (baca: Membongkar Kejahatan Internasional, dan Confessions of an Economic Hit Man, John Perkins). Ingatkah atas krisis moneter di Indonesia 1998-an tempo doeloe juga disinyalir akibat modus potong babi?

Seri kedua ialah “utang dibayar bom”. Kasus ini terjadi di Libya sebagaimana isyarat Chaves dalam suratnya di muka tadi (baca: Perampok Internasional dan Kisah Utang dibayar Bom, www.global-review.com). Melihat gelagat Pemerintahan Obama memperbanyak pangkalan militer justru di tengah krisis, bukannya perombakan sistem ekonomi dan finansial — sepertinya modus ini bakalan menjadi methode baku untuk diterapkan terhadap negara-negara yang diincar oleh AS dan Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO) guna memulihkan sistem kapitalisme global.

Dugaan GFI, target berikut dalam penerapan modus utang dibayar bom adalah Cina. Indikasi terlihat dari banyaknya investasi Negeri Tirai Bambu di AS namun tidak jelas hasil. Konon rumor yang berkembang, bahwa utang Cina justru dijadikan modal perang oleh AS namun tak kembali, bahkan musnah ditelan medan perang di Iraq, Afghanistan, Libya dan lainnya. Inginnya untung malah buntung. Sementara di satu sisi, Taiwan sekutu dekat AS yang wilayahnya menyatu dengan teritori Cina (bahkan hingga kini, Beijing menganggap Taiwan merupakan provinsinya), tak lama lagi bakal di-supplay banyak peralatan tempur. Keputusan Kongres AS mengijinkan Obama untuk menjual pesawat tempur F-16 kepada Taiwan sejumlah 66 unit. Memang dalam tiga tahun terakhir, ia telah menjual senjata ke Taiwan senilai 6,4 milyar dolar. Senjata-senjata yang dijual termasuk berbagai rudal dan helikopter Apache. 300 unit rudal patriot mencapai 3 milyar dolar, dan 30 unit helikopter Apache AH-64D, senilai 2,5 milyar dolar (IRIB, 20/11/2011).  Ya, kemungkinan besar utangnya (investasi) Cina bakal dibayar bom oleh AS melalui negara proxy-nya Taiwan. Cermati bersama, bakal ada pemicu perang antara Taiwan versus Cina. Entah kapan. Wait and see!

Modus ketiga ialah “mengecoh langit menyeberangi lautan”. Ini cuma sebutan, meminjam istilah dalam Perang Cina Kuno ala Sun Tzu. Intinya penyesatan atau pengelabuan. Seolah-olah kesana padahal kesitu. Sepertinya menyerang utara  padahal ke selatan. Atau dalam bahasa lain, tujuan pokok (hidden agenda) ditutup oleh open agenda. Namun boleh juga “mengecoh langit” dimaknai sebagai PENGALIHAN PERHATIAN melalui peristiwa palsu, rekayasa skenario dan lainnya. Sebagai contoh video kematian Gaddafi, atau khabar Saif al Islam, putra Gaddafi tertangkap. Anehnya berita itu selalu muncul disaat tentara pembebasan Libya, para loyalis Gaddafi berada di atas angin sedang memburui “tikus-tikus” (julukan bagi para  pemberontak dan militer bayarannya) di medan tempur. Memang seperti onani bagi NATO —menyenangkan diri sendiri— sebab kenyataannya tidak demikian, tetapi siasat ini seringkali efektif mengelabuhi khalayak global mengingat media mainstream (utama) dalam kendali mereka. Lazimnya selalu diikuti berita-berita “janggal” lain sebagai sambungannya. Sebagai contoh perampokan aset-aset Libya di luar negeri oleh NATO ialah kelanjutan skenario kematian Gaddafi, atau pengumuman kabinet oleh Perdana Menteri sementara Libya Abdel Rahim al-Kib hari Selasa (22/11) merupakan sambungan rekayasa tertangkapnya Saif dan lainnya.

Selanjutnya berkait dengan isue aktual terkini di Asia Pasifik, bila merujuk statement Obama bahwa penempatan 2500 marinir AS di Darwin dan (Singapura) ialah dalam rangka membantu Indonesia bila terjadi bencana, atau jika berkiblat Project for The New American Century, seakan-akan terkesan hanya mengepung serta menghambat gerak laju Cina di Asia Pasifik. Akan tetapi ketika kita sudah memahami modus ketiga di atas, maka sesungguhnya ada negeri lain yang tengah diincar sebagai tujuan utama. Hey, negeri mana itu?

AS dan sekutu kini terlihat “babak belur”. Krisis ekonomi tak jua selesai bahkan semakin keruh merambah bidang-bidang lainnya. Termasuk bencana alam/badai yang tak kunjung usai. Alasan pokok kenapa ia “membabi-buta”, salah satunya mungkin dipicu oleh laporan Lembaga Perminyakan Amerika bahwa cadangan minyak negara ini tiba-tiba menurun. Penurunan itu akibat berkurangnya impor. Kantor berita Reuters New York melaporkan, laporan lembaga minyak minggu kemarin (Selasa, 4/10) menyatakan bahwa cadangan minyak mentah Amerika di akhir pekan (30/9) turun 3,1 juta barrel dibanding sepekan sebelumnya. Padahal sebelumnya, para pengamat memperkirakan bahwa cadangan minyak meningkat perhari kira-kira 1,9 juta barrel.

Sinyalir Menteri Perminyakan dan Energi Venezuela, Rafael Ramirez, di Press TV (IRIB, 12/10/2011) menarik dicermati: “untuk menyuplai kebutuhan energinya, Amerika berusaha MENYERANG negara-negara pemilik energi”. Ia menambahkan, “Kemungkinan Amerika akan menggunakan pengadilan internasional (ICC) yang menguntungkannya guna mengurangi pendapatan Venezuela dan menguras kekayaan negara ini”.

Ya, sebagai negara kaya tambang dan sumberdaya alam lain tetapi masih “miskin”, apaboleh buat, Indonesia  —selaku tetangga Darwin, Australia dan juga Singapura— harus waspada baik dari sisi internal maupun eksternal. Biasanya ekspansi militer AS dan sekutu di berbagai negara selalu diawali dari aspek internal dahulu, via operasi intelijen. Sering smart power mendahului semodel revolusi “warna” bunga, seperti ketika sukses menghancurkan Pakta Warsawa di Eropa Timur doeloe dan kini tengah bergulir “musim semi” di Jalur Sutra (Afrika Utara dan Timur Tengah).

LSM dan Ormas “Komprador”

Pola-polanya mungkin tak jauh beda, menggunakan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) lokal ataupun Organisasi Massa (ormas) setempat berkolaborasi dengan LSM asing. Di Jalur Sutra, LSM asing yang bergerak adalah National Endowment for Democracy (NED) dan lain-lainnya dimana budget berasal dari Konges AS. Tengok saja. Apabila di Indonesia ada gelontoran dana dari luar baik kepada ormas maupun LSM lokal, lalu terdapat misi yang hendak di-goal-kan terkait isue-isue aktual. Bisa dipastikan bahwa operasi intelijen asing tengah bermain di Ibu Pertiwi. Tak ada makan siang gratis. Entah smart power, entah revolusi bunga, entah provincial reconstruction team. Apapun bentuknya.  Ujungnya selalu membenturkan rakyat dengan pemerintah, atau mengadu domba antar aparat negara, menciptakan kerusuhan sosial, lalu terbit resolusi PBB berdasar laporan-laporan LSM dan ormas “komprador” agar mengizinkan intervensi internasional dan menghadirkan pasukan asing.

Agaknya kegagalan ekspansi (minyak) di Iraq, Afghanistan dan Libya menjadikan AS kelabakan dengan berbagai cara dan methode penjajahannya selama ini. Selain tuntutan watak ideologi yakni akumulasi modal dengan cara mengurai pasar seluas-luasnya serta mencari bahan baku semurah-murahnya, sepertinya tak ada teori ataupun asumsi yang mampu menjelaskan tentang gelagat Paman Sam akhir-akhir ini. Ekonomi hancur justru militernya disebar kemana-mana. Tiba-tiba saya teringat teori Bung Karno, sosok founding father republik ini yang kini banyak dirindu berbagai elemen masyarakat: “Kapitalisme yang terjebak krisis akhirnya membuahkan fasisme, sedang fasisme ialah perjuangan penghabisan para monopolis kapitalis yang terancam bangkrut”. Itulah yang kini tengah terjadi, sehingga akhirnya melahirkan tiga modus baru dalam skema kolonialisme di dunia.

Silahkan saudaraku sebangsa dan setanah air mencermatinya!

 

Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com