Penulis : Dina Y. Sulaeman, Research associate di Global Future Institute, mahasiswa S3 Hubungan Internasional Unpad
Mereka yang intens mengikuti konflik Suriah dan Timteng pada umumnya semestinya merasakan adanya alarm yang berbunyi, saat membaca tulisan koran Republika edisi cetak halaman 25 (10/3) berjudul “Tanda X di Pintu Rumah Muslim Crimea”. Track record Republika yang ikut bergabung dalam koor media mainstream soal Suriah, menyebarluaskan ilusi bahwa konflik di Suriah adalah kekejian kaum Syiah pro-Assad terhadap kaum Sunni (salah satunya bisa dibaca di artikel ini: Syria di Republika), membuat saya melihat tulisan itu dengan cara berbeda.
Dalam artikel yang ditulis oleh Ferry Kisihandi (dan bersumber dari Reuters, jaringan berita yang milik keluarga Rothschild) diceritakan tragedi 1944, ketika diktator Soviet, Josef Stalin, memerintahkan polisi membuat tanda X pada pintu-pintu rumah Muslim Tatar. Dalam beberapa hari, 200 ribu Muslim diusir dari rumahnya dan dikirim ke wilayah Uzbekistan. Ribuan orang kehilangan nyawa dalam perjalanan itu. Pada 1960-an, Uni Soviet mulai mengizinkan Muslim Tatar yang masih hidup di pengasingan untuk kembali ke Krimea.
Menurut Republika, pengusiran tahun 1944 itu berpotensi berulang pada tahun ini, menyusul masuknya tentara Rusia ke Krimea dan menghendaki Krimea memisahkan diri dari Ukraina. Pasalnya, Muslim Tatar warga Krimea lebih memilih untuk bergabung dengan Ukraina. Dan pilihan itu melahirkan konsekuensi, karena akhir-akhir ini muncul goresan tanda X di pintu-pintu rumah beberapa muslim Krimea, tulis Republika.
Mengingat mayoritas kaum muslim kelihatannya sedemikian mudah diprovokasi tanpa mau sejenak merenung dan mencari ‘berita di balik berita’, isu penindasan Muslim Tatar saya perkirakan akan dipakai untuk menggalang jihad melawan Rusia. Masih belum luput dari ingatan, betapa mudahnya kaum Muslim di Indonesia diprovokasi dengan berbagai foto dan video palsu. Mereka pun rela merogoh kocek dalam-dalam, sehingga terkumpul ratusan juta rupiah tanpa audit yang jelas, demi ‘menolong kaum Sunni yang ditindas Assad’. Jihadis dari berbagai penjuru dunia, termasuk dari Indonesia berbondong-bondong datang ke Suriah demi menggulingkan Assad. Dan ironisnya, akhir-akhir ini di antara mereka (para jihadis) malah saling bunuh dengan cara-cara barbar, karena perebutan wilayah, jarahan, dan legitimasi (mana yang ‘khilafah asli’).
Umat muslim dunia kebanyakan menerima saja apa yang dicekoki media kepada mereka. Dan ironisnya, sejak kasus Suriah, banyak media berlabel Islam yang bergotong royong dengan media mainstream tanpa mau mengaitkan konflik lokal dengan konstelasi politik global. Dalam artikel saya berjudul L’Ukraine est une autre Syrie (Ukraina adalah Suriah yang lain), saya sudah menulis berbagai persamaan antara konflik Suriah dan Ukraina. Berbeda dengan Suriah yang perlu dua tahun sebelum (sebagian) publik menyadari konspirasi Barat, di Ukraina, kecurangan Barat terungkap dengan sangat cepat.
Belum lagi pemerintahan interim berjalan stabil dan menerima pengakuan internasional, mereka sudah mau menerima bantuan utang dari IMF. Orang-orang Ukraina pro-Uni Eropa yang lugu dan percaya saja pada provokasi Barat, kini mulai merasakan akibatnya: uang pensiun dipotong 50%, berbagai subsidi dicabut (ini adalah kewajiban semua negara yang mau berutang pada IMF, termasuk Indonesia), dan privatisasi. Ukraina adalah lumbung pangan Eropa, dan kini lahan-lahan pertanian mereka akan segera pindah tangan ke korporat-korporat agribisnis milik Amerika.
Analisis ini tidak bermaksud pro-Rusia (atau membela komunisme, misalnya). Poinnya adalah: ini bukan sekedar Rusia versus Barat. Ada kekuatan besar lain yang sedang bermain, kekuatan yang sangat rakus, tanpa pernah bisa dikenyangkan. Kekuatan itu menginginkan uang di seluruh dunia masuk ke kantorng mereka dan untuk itu mereka mau melakukan segala cara. Kudeta adalah salah satu cara yang dipakai; perang pun sudah biasa. John Perkins menyebutnya ‘imperium’. Terlalu panjang bila dijelaskan di sini. Saya hanya mengajak kita semua untuk melihat konflik secara global, tidak hitam putih. Tidak lugu atau membebek saja.
Menghadapi perlawanan Rusia yang marah karena sekutu terdekatnya direbut, Eropa dan AS kemungkinan besar tak akan mau ambil resiko dengan menerjunkan pasukan NATO. Taruhannya terlalu besar, baik uang, nyawa, maupun nama baik. Karena, pengiriman pasukan Rusia ke Krimea (kawasan otonom di bawah pemerintahan Ukraina) adalah legal dari sisi hukum internasional. Sebelumnya ada perjanjian antara Rusia-Ukraina bahwa Rusia berhak mengirim hingga 25.000 tentaranya ke Krimea. Bahkan Presiden Yanukovich yang dikudeta oleh gerombolan preman neo-Nazi juga sudah melayangkan permohonan resmi, minta bantuan ke Rusia.
Maka, harus ada yang maju ke medan perang dengan semangat tinggi, bersedia mempertaruhkan nyawa demi sebuah nilai transenden. Tak lain: para jihadis. Lagi-lagi, seperti Suriah, kartu yang dipakai Barat adalah kaum Muslim. Tak heran bila ‘pagi-pagi’ sudah ada seruan dari kelompok neo-Nazi pro-Uni Eropa kepada Doku Umarov, agar bergabung dalam perang melawan Rusia. Umarov yang dijuluki “Bin Laden of Russia” ini adalah jihadis Chechen yang selama ini mengaku bertanggung jawab atas berbagai aksi bom bunuh diri di Rusia.
Melalui Reuters (sekedar info, Reuters pada tahun 2008 bergabung dengan Associated Press), sentimen Muslim anti-Rusia sedang disebarluaskan, antara lain dengan bantuan koran Republika (dan sebentar lagi, saya perkirakan media-media takfiri akan menyusul). Akankah jihad Suriah segera beralih ke Ukraina? Kita tunggu saja perkembangannya.[IRIB Indonesia/Liputan Islam]