Penembakan pesawat bomber Rusia oleh Angkatan udara Turki pada 24 November 2015 lalu telah membuka kotak pandora, betapa selama ini Turki memang mendukung secara aktif aksi-aksi teror yang dilakuken oleh kelompok yang menamakan dirinya Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS). Kenyataan bahwa ISIS mampu memiliki peralatan militer dan para teknisi luar negeri dalam mengontrol sektor energi dan migas, telah mengungkap adanya persekongkolan antara pemerintah Turki pimpinan Presiden Erdogan dengan pihak ISIS baik di dalam bidang kemiliteran maupun energi dan migas.
Maka dari itu menarik ketika Presiden Rusia Vladimir Putin mengungkap adanya pembelian minyak secara ilegal yang dilakukan oleh Pemerintah Turki pimpinan Presiden Recep Tayyip Erdogan. Hal itu semakin diperkuat dengan adanya fakta lapangan bahwa pihak pemerintah Turki telah memberikan bantuan tenaga ahli maupun peralatan untuk melakukan ekstraksi, perbaikan produksi, maupun transportasi aliran minyak.
Sehingga masuk akal jika pihak Rusia memandang penembakan terhadap pesawat bomber Rusia oleh angkatan udara Turki tersebut, sejatinya dimaksudkan untuk melindungi ekspor minyak ISIS yang merupakan sumber pendanaan penting bagi ISIS. Menurut berbagai informasi yang berhasil dihimpun tim riset Global Future Institute, 70 persen anggaran ISIS berasal dari perdagangan minyak ilegal dari Suriah. Dan kebanyakan minyak ilegal tersebut dibeli oleh Pemerintah Turki. Melalui fakta ini jelas adanya, bahwa ada hubungan erat yang terjalin secara solid sejak lama antara Pemerintah Turki dan ISIS.
Sehingga keputusan Pemerintah Turki untuk menembak jatuh pesawat tempur Rusia beberapa waktu lalu harus dibaca sebagai upaya untuk melindungi jalur suplai minyak ke Wilayah Turki, khususnya di pelabuhan-pelabuhan dimana minyak tersebut dimuatkan ke tanker-tanker.
“Kami menerima informasi tambahan yang sayangnya menguatkan bahwa minyak ini, yang dihasilkan di wilayah-wilayah yang dikuasai ISIS dan organisasi teroris lainnya, diangkut dalam skala industri ke Turki,” demikian menurut Presiden Putin seperti dikutip kantor berita Perancis AFP.
Sepertinya Turki tidak ingin kepentingannnya dalam jual-beli minyak ilegal dengan ISIS terganggu atau malah terancam. Masalah menjadi semakin krusial bagi Turki ketika terungkap keterlibatan keluarga Presiden Recep Tayyip Erdogan dalam praktek jual-beli minyak ilegal tersebut. Khususnya Putra Erdogan yang bernama Bilal Erdogan, dan Menteri Energi Turki yang menjabat sekarang, menantu dari Erdogan.
Dengan demikian, dalam menyikapi aksi teror bersenjata yang dilakukan ISIS di Suriah, Turki sejatinya mendukung sepenuhnya ISIS, meskipun selama ini mengklaim sebaliknya.
Maka itu, melalui serangkain kajian-kajiannya terkait kasus ini, Global Future Institute setuju sepenuhnya dengan analisis Pepe Escobar, bahwa meskipun secara resmi Turki mengklaim tergabung dalam negara-negara koalisi anti ISIS bersama Amerika Serikat dan Arab Saudi, namun dalam aksi-aksi mereka yang mengklaim telah menyerang wilayah-wilayah basis ISIS di Suriah, namun kenyataan sesungguhnya adalah bahwa Turki beserta AS dan Arab Saudi justru menggempur infrastruktur energi Suriah, bukan memerangi ISIS dan bukan menyasar daerah-daerah basis ISIS.
Kenyataan yang sesungguhnya terjadi justru sebaliknya. Bahwa dengan berkedok melakukan aksi militer menumpas ISIS, Turki bersama-sama dengan Arab Saudi dan AS sebenarnya malah membantu ISIS untuk menjual minyak mentah ke penyelundup dan pasar gelap dengan harga 10 dolar AS per barrel.
Satu lagi bukti adanya dukungan diam-diam pihak AS dan NATO terhadap Turki adalah kenyataan bahwa Turki menembak jatuh pesawat SU-24 Rusia dengan menggunakan F-16 buatan Amerika Serikat.
Beberapa indikasi yang mengarah pada pembuktian adanya jual-beli minyak ilegal antara ISIS dan Turki terkait keputusan Turki untuk menembak jatuh pesawat tempur Rusia, jadi masuk akal adanya.
- Adanya tiga rute ilegal pembelian minyak Turki yang membentang dari Suriah ke Turki.
- Rute Barat disinyalir dari Kota Raqqa kemudian ke barat laut Suriah, dan diantarkan ke Turki lewat Azaz dan Reyhanli.
- Sementara untuk rute utara, menurut informasi kilang minyak Turki ada di sebelah kanan Sungai Efrat. Area tersebut merupakan satu tempat produksi dan kontrol minyak terbesar milik kelompok teror Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS).
- Sementara untuk wilayah timur yang juga merupakan jalur ketiga, disebutkan minyak diperoleh dari barat laut Suriah, dan Irak. Minyak itu dikirim lewat perbatasan di kara-Chokh dan Cham-Khanik di Suriah, serta Tavan dan Zakho di Irak.
Dengan pemaparan beberapa bukti tersebut di atas, karenanya sangat tidak masuk akal ketika pemerintah Turki berdalih bahwa mereka menembak jatuh pesawat Su-24 Rusia karena dianggap membahayakan. Motif sesungguhnya adalah untuk melindungi jalur suplai minyak ke Wilayah Turki yang berasal dari Suriah.
ISIS dan “Strategi Sarang Lebah”Amerika Serikat-Inggris dan Israel
ISIS sejatinya harus dipandang sebagai isu pengganti dari skenario Al Qaeda yang sudah tutup buku di Irak sejak 2012. Beberapa kajian menginformasikan bahwa al-Qaeda dan afiliasinya hadir di berbagai negara dengan sebutan berbeda.
Di Afghanistan namanya “Taliban”, Di Yaman dijuluki “al-Qaeda in Arabian Peninsula”, di Libya bernama “Ansar al-Sharia”, di Nigeria stigmanya “Boko Haram”, di Aljazair bernama “al-Qaeda in Islamic Maghreb”, di Syria disebut “Jabhat al-Nusra”, di Somalia istilahnya “al-Shabab”, sementara di Indonesia? Mereka menyebut diri sebagai Mujahidin Indonesia Timur (MIT). Belakangan yang sekarang populer dengan sebutan ISIS. Dan agaknya, mereka juga tengah membidani ‘kelompok radikal’ di India dan Cina. Entah apa namanya.
Mereka itu, entah Boko Haram, atau MIT, al Shabab, Jabhat al Nusra, Ansar al Sharia, bahkan ISIS itu sendiri, sejatinya merupakan ranting atau anak-anak yang lahir dari “rahim” al Qaeda. Dan kini, afiliasi terpopuler adalah ISIS (Islamic State in Iraq and al Syam).
Berarti, kemunculan ISIS ditujukan untuk menciptakan kesan bahwa umat Islam itu pada umumnya fanatik, radikal, tidak berprikemanusiaan, tidak toleran, dan suka berperang maupun membenarkan tindak kekerasan terhadap warga masyarakat yang berkeyakinan lain.
Maka itu, bisalah ditarik kesimpulan keberadaan ISIS merupakan false flag operation alias operasi bendera palsu. Seolah-olah bekerja sama (Islam) sebagai kawan, padahal bekerja untuk kepentingan musuh. Semacam deception atau taktik pengelabuan. Biar kelompok Islam tertentu beranggapan, seakan-akan tengah melakukan misi suci agama menghadapi para adidaya anti Islam, tetapi prakteknya, justru gerakan mereka dalam kendali dan pengawasan agen intelijen seperti CIA, MI-6, Mossad, dan lainnya.
Ada beberapa indikasi yang menunjukkan bahwa gejala kemunculan ISIS dan organ-organ sejenisnya seperti kami uraikan di awal tulisan ini, secara skematik memang dirancang oleh para penyusun kebijakan strategis keamanan nasional di Washington.
Pernah dengar yang namanya Strategi Sarang Lebah? Mari kita telisik fakta-fakta berikut ini, dan setelah itu silahkan bapak-bapak dan ibu-ibu sekalian menyimpulkan sendiri. Adalah mantan karyawan National Security Agency (NSA) milik Amerika Serikat, Edward Snowdeen mengungkapkan bahwa intelijen Inggris (MI6), Amerika Serikat (CIA) dan Israel (Mossad) bekerjasama membentuk gerilyawan Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS) atau Islamic State (IS).
Mengutip berita yang dilansir situs globalresearch.ca, Jumat 1 Agustus 2014, Snowdeen mengatakan badan intelijen dari ketiga negara ini menciptakan sebuah organisasi teroris yang mampu menarik semua ekstrimis dunia ke satu tempat. Mereka menggunakan strategi yang disebut Sarang Lebah.
Dokumen NSA menunjukan implementasi strategi Sarang Lebah untuk melindungi entitas Zionis dengan menciptakan slogan-slogan agama dan Islam. Data tersebut juga mengungkapkan bahwa pemimpin ISIS Abu Bakar Al Baghdadi pernah mengikuti pelatihan militer intensif selama satu tahun di tangan Mossad, selain program dalam theologi dan seni berbicara.
Maka tak salah lagi, bergulirnya isu keberadaan ISIS (IS) sejatinya merupakan reinkarnasi dari keberadaan kelompok teroris jadi-jadian kreasi CIA semacam Al-Qaeda seperti di era kepresidenan Bush 2000-2008.
Amerika Serikat, Inggris dan Israel berkeinginan penerapan strategi Sarang Lebah bisa menjaring kelompok-kelompok Islam radikal agar berkumpul di satu tempat yang sama. Sehingga mudah dikendalikan dan dijinakkan melalui kerangka operasi intelijen yang dilancarkan ketiga negara tersebut yang kerap dikenal dengan sebutan False Flag Operation(Operasi Bendera Palsu).
Dalam False Flag Operation ini, kelompok-kelompok Islam beranggapan bahwa mereka sedang menjalankan misi suci keagamaannya secara independen dan bertujuan untuk menghadapi negara-negara adidaya yang mereka pandang anti Islam.
Namun pada prakteknya, gerakan mereka sepenuhnya berada dalam kendali dan pengawasan dari agen-agen intelijen MI6-CIA-Mossad; sehingga gerakan kelompok-kelompok Islam radikal tersebut justru kontra produktif bagi citra dan kredibilitas kelompok-kelompok Islam yang bersangkutan, bahkan membawa citra buruk bagi umat Islam pada umumnya.
Jadi, Turki selama ini memang merupakan sekutu AS dan NATO bahkan sejak era Perang Dingin antara 1950 hingga akhir 1980-an, rasanya masuk akal jika Turki pada kenyataannya sejak awal memang mendukung sepenuhnya ISIS. Jadi tidak benar jika Turki bersama-sama dengan AS, Arab Saudi dan NATO mengklaim dirinya tergabung dalam negara-negara koalisi anti ISIS.
Penulis: Hendrajit, Pengkaji Geopolitik Global Future Institute (GFI)
Facebook Comments