Para kandidat presiden AS dari partai demokrat belum mengajukan sebuah konsepsi kebijakan luar negeri alternative, di luar pakem yang dianut Presiden Donald Trump maupun mantan Presiden Barrack Obama. Bahkan para kandidat presiden cenderung menghindari wacana kebijakan luar negeri.
Mereka lebih cenderung mewacanakan isu jaminan kesehatan (health cares), pengawasan senjata, perdagangan, dan imigrasi. Artinya, tersirat para kandidat presiden dari Demokrat seperti Joe Biden dan Pete Buttegieg cenderung ingin kembali melaksanakan kebijakan luar negeri di era Barrack Obama.
Para calon presiden Demokrat yang jauh lebih progresif seperti Elizabeth Warren dan Bernie Sanders, mengecam keras kebijakan ekonomi yang semakin meningkatkan ketimpangan sosial, termasuk kebijakan mendorong pelarangan imigrasi, dan semakin menguatnya politik otoriter di pelbagai belahan dunia, termasuk di dalam negeri AS sendiri.
Biden dan Buttegieg mengecam kebijakan luar negeri AS yang bertumpu pada pragramtisme atau dalam istilah deal maker. Sehingga merusak norma-norma internasional yang selama ini berlaku. Gaya politik luar negeri Trump yang seringkali menyerang sekutu-sekutu lama AS seperti NATO untuk mengondisikan tata ulang kesepakatan baru melalui perundingan sebagai langkah taktis, pada perkembangannya telah memperburuk persekutuan tradisional antara AS dan negara-negara NATO.
Singkat cerita, dengan merujuk pada skema kebijakan luar negeri AS kembali ke era Obama, Biden dan Buttegieg menegaskan kembali pentingnya AS kembali memegang kepemimpinan Global. Dan berkomitmen untuk mengambil sikap tegas dalam isu Climate Change dan kemananan internasional.
Namun seperti artikel yang ditulis oleh Bilal Zenab Ahmed berjudul:
Democrats Are Shifting on Foreign Policy – But Not Far Enough to End War ,
para kandidat umumnya mendukung statusquo. Dalam kasus Afghanistan dan Irak, yang mana AS pada 2001 dan 2003 melancarkan invasi militer terhadap kedua negara tersebut, para kandidat hanya mengagendakan perlunya pengurangan jumlah pasukan, dan berapa pasukan yang harus dipulangkan kembali ke AS. Dan bagaimana caranya agar para personil militer beradaptasi kembali ke kehidupan sipil.
Namun pada kandidat presiden Demokrat tidak memberikan skenario rinci bagaimana mengakhiri skema perang AS di Afghanistan maupun Irak. Biden hanya sebatas menyesasli keputusannya sewaktu masih anggota kongres mengapa mendukung invasi AS ke Irak pada 2003 lalu. Dan menyerukan berakhirnya operasi militer gabungan AS-Arab Saudi terhadap Yaman.
Namun segaimana analisis Bilal Zenab Ahmed, publik AS dan dunia internasional salah besar kalau mengartikan retorika Biden tersebut sebagai komitmen untuk mengakhiri perang di Afghanistan, Irak dan Yaman.
Artinya, baik Biden maupun Buttegieg masih tetap pada kerangka pemikiran lama Obama, serangan militer dibenarkan jika sudah terdesak, dan tidak ada alternatif lain. Dengan demikian, kedua kandidat Demokrat itu masih memandang AS tetap sebagai polisi Dunia.
Dengan demikian tidak ada yang berbeda secara fundamental. Biden dan Buttgieg hanya mengecam Presiden Donald Trump pada kebijakan luar negerinya yang lebih menitikberatkan pada keuntungan dan kerugian dari segi kepentingan finansial dari korporasi-korporasi AS. Kalaupun Trump menyerang negara-negara lawannya, sekadar untuk memperkuat posisinya dalam perundingan diplomatik. Misalnya saja Trump tiba-tiba menyerang negara-negara sekutu tradisional AS seperti NATO dengan menyebut mereka tidak tahu terimakasih, dan tidak berkontribusi di bidang keuangan. Dan tidak mendukung sikap AS dalam perundingan senjata nuklir dengan Iran maupun Paris Accord.
Para calon presiden berhaluan tradisionalis seperti Biden, kebijakan strategisnya masih tetap bertumpu pada kapitalisme liberal dan Washington Consensus. Karenanya AS berkewajiban tetap mendukung dan menciptakan atmosfer yang mendukung tetap berlangsungnya skema kapitalisme liberal.
Antara lain dengan mendukung peningkatan armada angkatan laut AS untuk mengamankan jalur lalu-lintas laut untuk perdagangan (global sea trade). Dengan begitu, Biden termasuk yang memandang prioritas utama untuk memulihkan kembali persekutuan solid dengan sekutu-sekutunya seperti NATO. Untuk mempertahankan hegemoni global AS.
Sementara itu para kandidat Demokrat berhaluan progresif seperti Elizabeth Warren dan Bernie Sanders, lebih menitikberatkan pada upaya memerangi ketimpangan sosial yang dikhwatirkan memicu konflik global. Maka itu, selain mengecam keras gaya kepemimpinan Trump, mereka memandangnya dalam konteks yang lebih luas daripada sekadar di lingkup AS. Sehingga Sanders dan Warren menitiberatkan pentingnya melawan negara-negara yang menganut sistem politik otoriter. Seraya melawan kepentingan-kepentingan politik dan ekonomi kelompok-kelompok ultra kaya di AS sendiri.
Namun hal itu masih sebatas retorika. Buktinya, Sanders maupun Warren sama sekali tidak mengeritik statusquo organisasi-organisasi internasional seperti Perserikatan Bangsa-Bangsa.
Adapun agenda-agenda ekonominya yang terkesan progresif masih harus diuji apakah hanya retorika, atau memang akan dilaksanakan melalui keluarnya kebijakan. Misalnya tekadnya untuk mereformasi kehidupan ekonomi global, termasuk berperang terhadap kepentingan korporasi baik di dalam AS maupun luar negeri.
Khusus mengenai Elizabeth Warren, yang mengaku tetap seorang kapitalis, diragukan komitmen pembaharuannya sebagai calon presiden. Pandangannya terhadap sistem perbankan dan sistem keuangan global, sepertinya tetap sejalan dan tidak bermaksud mengajukan kontra skema.
Satu hal lagi, Warren tetap pendukung setia Israel dalam memerangi perjuangan rakyat Palestina untuk merdeka. Pada 2016 lalu, Warren ikut serta menghadiri pertemuan yang diselenggarakan oleh organisasi lobi Yahudi American Israel Public Affairs Committee functions. Dan termasuk yang mendesak pemerintahan Obama kala itu agar menggunakan hak vetonya, menggagalkan sebuah resolusi yang merugikan Israel, dalam Sidang Dewan Keamanan PBB.
Warren juga mendukung sanksi ekononomi terhadap Venezuela, dan kebijakan yang lebih keras terhadap Korea Utara. Sanders memang lebih progresif seperti berani lebih keras menentang sepak-terjang Israel di Palestina. Sanders lebih progresif dalam mendukung hak rakyat Palestina untuk merdeka. Dalam perang Irak 2003 pun, Sanders termasuk yang menentang keras.
Namun anehnya pada 1998, Sanders termasuk yang mendukung aksi pembebasan Irak yang berarti mendukung aksi penggulingan Saddam Hussein dari kursi kepresidenan. Sanders juga pernah mendukung serangan NATO terhadap Kosovo pada 1999, dan Libya pada 2011.
Hendrajit, Pengkaji Geopolitik, Global Future Institute.