Pasar Sekolah Bagi Borjuis Menjadi Nasionalis

Bagikan artikel ini

Pokok-pokok Pikiran Giat Wahyudi (disampaikan pada Seminar Kebangsaan “Pendidikan dan Indonesia Masa Depan: Menuju Masyarakat Asia Global”)

Eine grosse Epoche hat das jahrhundret geboren
Aber der grosse moment  findet ein kleines geschlecht
(Schilller)

Bagi kita yang hidup di abad XX – XXI ini, pasti menyaksikan peralihan abad dengan pelbagai gejala dan perubahan dahsyat, artinya: Kita ditakdirkan hidup di alam transisi (pancaroba) penuh gejolak, seyogianya kita pun berpikir secara pancaroba. Tapi sayang, seperti kata pujangga Schiller, “Suatu masa besar dilahirkan abad. Tetapi masa besar itu menemui manusia kecil”.

Akan halnya ketika dihadapkan pada realita Masyarakat Ekonomi Asean (MEA) 2015 yang dikaitkan dengan pasar global, kita melihatnya secara kerdil.

Setidaknya ada dua pendapat dalam menghadapi realitas pasar bebas, yaitu:
1.    Sikap optimisme sebagaimana dinyatakan pemerintah;
2.    Sikap pesimisme seperti dilontarkan sebagaian masyarakat dan kelompok kritis.

Terlepas pro dan kontra, dalam perspektif Pancasila, pasar global merupakan desain ekonomi neo-liberal untuk meraup keuntungan sebesar-besarnya di tengah transaksi  pasar bebas di kawasan Asia Tenggara.

Jika ada pertanyaan bagaimana sistem pendidikan nasional menghadapi gejolak pasar global? Maka sejak pemerintahan Soeharto, secara perlahan dan terpadu, pendidikan kita telah disiapkan menyongsong stelsel ekonomi kapitalis, ujungnya era reformasi dewasa ini.

Alhasil setiap rezim koalisi presidential dengan stelsel multi partai yang dipilih qua pemilihan presiden secara langsung, tak berdaya dan harus “meneruskan” Latter of intent (LOI) yang telah disepakati Presiden Soeharto dengan International Monetary Fund (IMF) 15 Januari 1998.

Tak urung sekali pun pemerintahan koalisi presidential Jokowi-JK mencanangkan NAWACITA dalam spirit TRISAKTI, namun bila kita cermati  telah terjadi penyimpangan dari cita tersebut. Untuk menghujah hal itu, sebut saja salah satu cita dalam NAWACITA dibidang pendidikan, yakni: Menghapus ketaksadaran sejarah. Kenyataannya Menteri Anis Baswedan mengambil kebijakan kembali ke kurikulum 2006. Menurut sejarawan Piter Kasenda dan JJ. Rizal, “di kurikulum ini mata pelajaran sejarah hanya dua jam. Berbeda dengan kurikulum 2013 mata pelajaran sejarah diberikan selama enam jam”.

Pertanyaannya, mampukah ketaksadaran sejarah diubah menjadi kesadaran sejarah dalam tempo dua jam selama sepekan? Sudah perahu bahtera pula, sudah pun tahu bertanya pula. Memang perkara pendidikan sejarah tidak sekadar urusan waktu, tapi bertalian dengan materi kurikulum yang berpokok pada otentisitas, otoritas dan integritas –layaknya karya historiografi yang bersifat didaktik, maka harus merangsang dan memberi inspirasi dalam proses belajar ajar.

Akan tetapi menempatkan pelajaran sejarah sebatas dua jam dalam sepekan, berarti ada penggal waktu dan peristiwa yang tidak bisa (tertutup) untuk dipelajari di bangku sekolah. Apalagi jika dalam tempo singkat itu, buku pelajaran sejarah yang ada tidak memenuhi syarat sebagai karya historiografi. Niscaya kementerian pendidikan sedang mencetak generasi penipu. Dalil bahwa kita bisa memberi pelajaran sejarah di luar sekolah agar anak-anak kita memiliki kesadaran sejarah, hanya segelintir orang yang mampu melakukan hal itu. Bukankah pemerintah memiliki kewajiban konstitusional memberikan pelajaran sejarah yang memadahi? Tanggungjawab ini tidak bisa dilempar ke-tengah keluarga! Kecuali bila pemerintah sudah jompo, tak mampu melakukan kewajibannya.

Kesadaran sejarah mutlak diperlukan dalam perikehidupan berbangsa dan berperintahan sebagai sendi kehidupan bernegara. Memang sejarah oleh kaum pandir dinisbatkan sebagai nostalgia-romantik non ekonomis. Sementara kaum borjuis congkak, para intelektual salon, menempatkan sejarah masa lalu belaka, tanpa iktibar. Sedang bagi manusia beradab dari mana pun asal-usulnya telah mafhum, bahwa:  Biji yang ditanam kemarin dipetik harini, sedang biji yang disemai sekarang akan dituai esok –itulah sejarah. Galibnya sejarah manusia merupakan proyek  kebudayaan dan perdaban masyarakat dalam memenuhi kebutuhan hidup lahir dan batin, secara dinamis dan dialektis.

Tak pelak para pendiri negara bangsa seperti Ki Hadjar Dewantara, menempatkan pendidikan, bukan pengajaran –sebagai usaha memajukan kebudayaan. Ada pun salah satu unsur untuk memajukan kebudayaan via pendidikan, adalah: Menempatkan pelajaran sejarah sebagai media didaktika menumbuhkan kesadaran nasional. Dengan dan melalui kesadaran nasional rakyat Indonesia berbekal ilmu, keahlian dan dedikasi –mampu memelihara serta memanfaatkan sumberdaya alam dan sumber daya manusia sebagai postulat ekonomi kesejahteraan, bagi kemakmuran bersama.

Hata seluruh mata pelajaran yang diberikan kepada peserta didik dalam proses belajar-ajar dengan paradigma pendidikan, bersifat didaktik. Galibnya dalam pendidikan termaktub budi pekerti, ilmu pengetahuan, dan keahlian. Proses pendidikan yang demikian sejak pemerintahan Soeharto perlahan ditinggalkan dengan meminimalisir unsur didaktika (pendidikan) dan memperbesar unsur paedagogig (pengajaran). Hasilnya kita  memiliki orang-orang pandai miskin dedikasi, kecuali untuk kepentingan diri dan kelompoknya. Mengingat posisi yang mereka raih bertalian dengan jaringan nepotisme, kolusi, dan korupsi.

Maka siapakah yang akan menghadapi MEA dan pasar global harini? Dari sudut pendidikan, niscaya mereka yang telah menerima pengajaran dalam sistem pendidikan nasional sejak pemerintahan Soeharto dan rezim reformasi dewasa ini.

Seperti telah dikemukakan, hasilnya: Sumber daya manusia yang pandai, namun rendah dari sisi emosional dan spiritual. Maka sulit menemukan manusia bertulang belakang lurus, berdarah patriot, berpikir kreatif-imajinatif, berlidah lugas dan santun, bernafas pelopor –sebagai suatu dedikasi. Berbanding lurus dengan hal itu, masyarakat Indonesia tingkat produktifitasnya masih rendah, sebaliknya sangat konsumtif. Tak ayal kesejahteraan dalam arti kemakmuran bersama sekadar cita, kejayaan individu yang diraih di medan pasar bebas akan mengemuka.

Namun tak perlu khawatir, pasalnya dalam perkembangan sejarah masyarakat acapkali muncul faktor X, yaitu suatu gejala unik yang tumbuh dalam merespon pancaroba zaman. Seperti judul di atas, ditukil dari pendapat Bung Karno dalam SARINAH yang sepakat dengan Karl Marx, bahwa:  Pasar merupakan sekolah bagi kaum borjuis menjadi nasionalis.

Apa urusannya? Bilamana nanti saudagar-saudagar kita terdesak dan kalah digdaya dengan saudagar-saudagar asing dalam transaksi  pasar bebas yang diselenggarakan di rumah dan pekarangan kita, saban hari mereka akan teriak: Negara dalam keadaan bahaya, sentimen nasionalisme menguat. Hal ini bisa menjadi gerbang kebangikitan nasional II –tentunya jika sentimen nasionalisme ini bertemu dengan  marwah Marhaenis sebagai kekuatan mayoritas tersembunyi, dalam konsolidasi massa aksi.

Pikiran ini menjadi logis bila kita menempatkan sekolah tidak sebatas dinding kelas, selembar ijazah dan serentet strata. Melainkan seluas alam terkembang,  ujar Ki Hadjar Dewantara, “setiap orang guru dan setiap tempat sekolah”. Tak urung ijazah bukan satu-satunya syarat untuk rekruitmen sumber daya manusia bagi kemajuan bangsa, sebab ada hal lain yang mesti dijadikan pertimbangan substansial (semoga  rezim harini memberi perhatian), yaitu: Karya. Seperti pesan Bung Karno, “Esensi manusia terletak pada karyanya”. Maka jadilah manusia adhikarya! Walau tanpa selembar ijazah, magnum opus yang engkau tatah menjadi penanda kemajuan zaman! Tak pelak kita pun terbebas dari kutuk pujangga Schiller, bahwa kita bukan orang kerdil di tengah perubahan besar. **

Ciputat, 2 Mei 2015
Hari Pendidikan Nasional
Selamat Konferensi Cabang III GMNI Kota Tangerang Selatan
Merdeka …!

Penulis: Giat Wahyudi

Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com