Batara R. Hutagalung, Ketua Umum Komite Utang Kehormatan Belanda (KUKB)
Pengantar
Akhir Februari 2012 yang lalu berbagai media di Indonesia dan Australia memberitakan, bahwa sejumlah anggota parlemen Australia mendorong dilaksanakannya referendum di Papua Barat. Langkah ini sangat jelas bentuk intervensi terhadap masalah internal Indonesia. Dan tentu saja makin memperkeruh situasi yang sedang memanas lagi di bumi cendrawasih.
Sikap Australia seperti ini bukan yang pertama kali dilakukan terhadap Indonesia. Masih segar dalam ingatan kita, bagaimana Australia juga mendorong dilaksanakannya referendum di Timor Timur. Hasilnya kita ketahui bersama, yaitu berdirinya Negara Timor Leste sebagai buah referendum tahun 1999.
Demikian juga kita masih ingat, pemberian Temporary Protection Visa (TPV), atau Visa perlindungan Sementara oleh Pemerintah Australia kepada 42 orang warga Papua Barat, telah menimbulkan reaksi yang sangat kuat dari Indonesia.
Hubungan Indonesia dengan Australia sejak kemerdekaan Republik Indonesia 17 Agustus 1945, tidaklah pernah benar-benar baik. Bahkan di awal perjuangan mempertahankan kemerdekaan menghadapi agresi militer Belanda 1945 – 1949, semula pemerintah Australia mendukung Belanda. Akan tetapi serikat buruh Australia ternyata tidak mendukung kebijakan pemerintahnya. Para buruh pelabuhan menolak untuk memuat logistik yang akan dikirim untuk kepentingan tentara Belanda di Indonesia. Setelah menilai bahwa Republik Indonesia tidak dapat ditaklukkan oleh Belanda dengan kekuatan militer, maka sejak akhir tahun 1947 Australia kemudian berbalik haluan dan bersikap seolah-olah membantu Indonesia.
Bukanlah rahasia, bahwa invasi TNI ke Timor Timur tahun 1975 –sehari setelah Presiden AS Gerald Ford dan penasihatnya, Henry Kissinger meninggalkan Jakarta- adalah atas persetujuan AS dan Australia, yang mengkhawatirkan Timor Timur yang merdeka akan masuk ke kubu komunis.
Pada waktu itu, Indonesia sangat bergantung kepada kubu Amerika Serikat dan IGGI (Intergovernmental Group on Indonesia, 1967 – 1992). Blok Barat tidak pernah mempermasalahkan pelanggaran HAM yang terjadi di Indonesia, dan bahkan memompakan bantuan dana yang besar serta perlengkapan militer, yang digunakan untuk invasi ke Timor Timur. Dengan pengakuan dari John Perkins (Cofession of an economic hit man), ternyata semua “bantuan” tersebut merupakan jebakan untuk membuat Negara-negara berkembang seperti Indonesia, menjadi sangat tergantung kepada Negara donor.
Setelah runtuhnya imperium Uni-sovyet, maka negara-negara barat melihat tidak ada lagi kepentingan mempertahankan diktator-diktator boneka mereka yang anti komunis. Negara-negara barat mulai melancarkan isu pelanggaran HAM untuk memojokkan para diktator yang selama perang dingin melawan blok komunis, sangat berguna bagi kepentingan blok kapitalis. Singkatnya, pendukung setia Amerika Serikat, Marcos dan Suharto, berhasil digulingkan oleh rakyatnya. Namun kini, isu pelanggaran HAM masih terus digulirkan, dengan kepentingan berbeda: Amerika Serikat tetap memerlukan “common enemy”, musuh bersama untuk konsumsi politik dalam negeri mereka, Australia tidak menginginkan tetangganya yang kuat, dan Belanda masih menyimpan dendam sejarah atas “kehilangan“ koloni mereka yang kaya.
Yang hingga kini relatif paling sering melancarkan “serangan” terhadap Indonesia sehubungan dengan pelanggaran HAM selain Amerika Serikat adalah Australia, Belanda dan Jerman. Bahkan kini beberapa anggota Parlemen Amerika Serikat dan beberapa institusi gereja di Jerman telah menyatakan sikapnya secara terang-terangan dan sangat gamblang, bahwa mereka mendukung pemisahan Papua dari NKRI.
Pemerintah AS, Australia, Inggris dan Belanda selalu bermuka dua, di satu sisi, secara resmi mereka mengeluarkan pernyataan mendukung integritas RI atas wilayahnya, namun -baik langsung maupun tidak langsung- ikut mendanai kegiatan-kegiatan yang merongrong kedaulatan RI, termasuk dalam pembentukan opini negatif yang dilakukan oleh berbagai LSM dan Institusi di negara-negara tersebut.
Kasus Papua Barat menunjukkan Pemerintah Belanda bermuka dua dalam masalah kedaulatan wilayah NKRI, yaitu penugasan dan pendanaan kegiatan Prof. Dr. Pieter Drooglever, seorang pakar sejarah di Belanda, untuk membongkar kembali Penentuan Pendapat Rakyat (PEPERA) di Papua tahun 1969. Hal ini diungkapkan secara terus terang oleh mantan Menlu Belanda J. Van Aartsen, karena Menlu yang sekarang Ben Bot -dalam posisi terjepit- tidak mau mengakui, bahwa penelitian yang dilakukan oleh Drooglever adalah atas penugasan dan pendanaan Pemerintah Belanda.
Setelah melakukan penelitian lebih dari 5 tahun (!), termasuk mendatangkan orang Papua ke Belanda untuk diwawancarai, pada bulan November 2005 Drooglever meluncurkan buku setebal 740 halaman yang berisi hasil penelitiannya mengenai “Act of Free Choice.” Dengan satu kalimat Drooglever menyebut bahwa “Hasil Pepera adalah suatu kecurangan.” PEPERA tersebut telah berlangsung dengan persetujuan dan di bawah pengawasan PBB, dan kemudian hasilnya juga disahkan oleh PBB. Buku ini sekarang menjadi referensi bagi orang-orang Papua Barat yang ingin memisahkan diri dari RI.
Perlu diingat, bahwa dalam Konferensi Meja Bundar (KMB) di Belanda tahun 1949, Irian Barat tidak termasuk dalam Republik Indonesia Serikat, yang memperoleh “pelimpahan kedaulatan” (soevereiniteitsoverdracht) dari Belanda pada 27 Desember 1949. Oleh karena itu patut dicurigai, bahwa langkah Belanda yang menugaskan dan mendanai kegiatan Prof. Drooglever ini, sebagai suatu usaha untuk memisahkan Papua Barat dari NKRI. Dengan menugaskan dan mendanai kegiatan ini saja sudah dapat dikatakan sebagai tindakan yang sangat tidak bersahabat.
Juga menjadi pertanyaan besar, mengapa pemerintah Belanda, setelah 31 (!) tahun membuka kembali masalah PEPERA!
Juga perlu dicatat, bahwa hingga saat ini Pemerintah Belanda tetap tidak mau mengakui kemerdekaan Republik Indonesia adalah 17 Agustus 1945. Bagi Pemerintah Belanda, kemerdekaan RI adalah 27 Desember 1949, yaitu pada waktu “penyerahan kedaulatan” (soevereniteitsoverdracht) dari Pemerintah Belanda kepada Pemerintah Republik Indonesia Serikat (RIS), yang dianggap sebagai kelanjutan dari Pemerintah India Belanda (Nederlands Indië). Dan seperti disebut di atas, Papua tidak termasuk dalam RIS.
Di buku-buku sejarah di Indonesia ditulis, bahwa tentara Belanda di bawah komando Raymond Westerling antara Desember 1946 – akhir Februari 1947 telah membantai 40.000 orang rakyat Sulawesi Selatan. Juga ditulis, Letkol I Gusti Ngurah Rai tewas bersama anak buahnya dalam pertempuran yang dikenal sebagai Puputan Margarana pada bulan November 1946 melawan tentara Belanda.
Namun sampai sekarang, belum pernah dilakukan penelitian, mengapa hal-hal tersebut dapat terjadi. Bukankah pada 17 Agustus 1945 bangsa Indonesia telah menyatakan kemerdekaannya? Bukankah tentara Belanda di Eropa telah dihancurkan oleh tentara Jerman, dan Angkatan Perang Belanda di Nederlands Indië (India Belanda) telah dihancurkan oleh tentara Jepang awal tahun 1942? Bagaimana Belanda dalam waktu sigkat dapat memiliki kekuatan militer yang besar, yang dapat segera dikirim ke Indonesia untuk menumpas “pengacau keamanan” dan “ekstremis yang dipersenjatai Jepang”?
Juga selama ini bangsa Indonesia selalu berpendapat, bahwa yang bertanggungjawab sepenuhnya atas agresi militer Belanda hanya pemerintah Belanda, sebagai pemberi perintah untuk melaksanakan agresi militer di Indonesia.
Namun apabila menelusuri rangkaian peristiwa yang mendahului agresi militer Belanda tersebut, untuk mencari kaitan satu dengan lainnya berdasarkan kaidah kausalitas, hukum sebab-akibat (Bahasa Jerman: Ursache und Wirkung), dengan menelusuri latar belakang sejarah, akan terlihat Negara-negara yang bertanggungjawab atas terjadinya berbagai peristiwa pembantaian massal, kejahatan atas kemanusiaan, kejahatan perang serta berbagai pelanggaran HAM berat lainnya. Akan terlihat, bahwa Inggris dan Australia ikut bertanggungjawab atas jatuhnya korban yang sangat besar di kalangan penduduk sipil di Indonesia, yang jumlahnya mencapai ratusan ribu jiwa.
Memang pemerintah Indonesia sendiri sampai sekarang belum pernah melakukan penelitian mengenai berapa jumlah korban yang sesungguhnya antara tahun 1945 – 1950.
Tahun 1969, atas desakan partai oposisi di parlemen Belanda, pemerintah Belanda melakukan penelitian di arsip-arsip, mengenai “ekses-ekses” yang terjadi di Indonesia atara tahun 1945 – 1950. Pemerintah Belanda menyampaikan hasil pemeriksaan tersebut dalam laporan dengan judul: De Excessennota, Nota betreffende het archievenonderzoek naar gegevens omtrent excessen in Indonesië begaan door Nederlandse militairen in de periode 1945-1950. Yang disingkat sebagai De Exessennota, artinya “Catatan Ekses.” Pakar-pakar hukum di Belanda sendiri menyatakan, bahwa yang oleh pemerintah Belanda disebut sebagai “ekses”, tak lain adalah Oorlogsmisdaden (kejahatan perang).
Laporan ini tahun 1995 diterbitkan oleh Jan Bank (Editor). Di dalamnya terdapat sekitar 120 peristiwa yang disebut sebagai “ekses”, termasuk peristiwa pembantaian di Rawagede, di mana penduduk sipil yang dibunuh hanya 20 orang. Pembantaian etnis Mandar di desa Galung Lombok pada 1Februari 1947 diyatakan oleh pemerintah Belanda antara 350 – 400 jiwa. Sedangkan pembantaian di seluruh Sulawesi Selatan (dan Sulawesi Barat) menurut laporan resmi, “hanya” sekitar 3.000 jiwa. Data di Rawagede menyebut, bahwa penduduk desa yang dibunuh pada 9 Desember 1947 berjumlah 431 jiwa. Lembaga Advokasi Korban 40.000 Jiwa (LAK) Sulawesi barattelah mendata lebih dari 500 nama korban, di mana di antaranya terdapat wanita dan anak-anak. Bahkan seorang saksi mata melihat, ada seorang wanita hamil juga ikut terbunuh. Lebih dari 100 sedang dicari identitasnya.
Latar Belakang Sejarah
Untuk dapat melihat Negara mana saja yang ikut bertaggungjawab atas jatuhnya ratusan ribu korban dalam perang mempertahankan kewmerdekaan Republik Indonesia antara tahun 1945 – 1950, perlu diteliti latar belakang sejarahnya.
Dalam perang di Eropa, pada bulan Mei 1941 Belanda “digilas” oleh tentara Jerman hanya dalam tiga hari. Di Asia, invasi Balatentara Dai Nippon ke Asia Timur dan Tenggara, yang diawali dengan penyerangan terhadap pangkalan militer Amerika Serikat di Pearl Harbor yang terletak di Samudra Pasifik, pada 7 Desember 1941 berjalan dengan lancar, sesuai dengan rencana pimpinan tertinggi militer Jepang.
Pada 27 februari 1942 armada ABDACOM (American, British, Dutch, Australian Command) dihancurkan dalam pertempuran di Laut Jawa. Kemudian tentara ABDACOM di Jawa juga dihancurkan hanya.dalam waktu satu minggu oleh tentara Jepang di bawah komando Letjen Hitoshi Imamura, Panglima Tentara Jepang ke 16,.
Pada 9 Maret 1942 di Lanud Kalijati, Panglima Tertinggi tentara Belanda, Letjen Hein ter Poorten, mewakili Gubernur Jenderal Tjarda van Starckenborgh-Stachouwer, menandatangani dokumen Menyerah-Tanpa-Syarat kepada tentara Jepang, dan menyerahkan seluruh jajahannya kepada Jepang. Dengan demikian, tanggal tersebut menandai berakhirnya penjajahan Belanda di Bumi Nusantara, dan Belanda telah kehilangan hak sejarahnya, yang diperoleh dengan kekerasan. (Mengenai Akhir Penjajahan Belanda di Bumi Nusantara, silakan klik: http://batarahutagalung.blogspot.com/2006/02/9-maret-1942-akhir-penjajahan-belanda.html)
Lebih dari 300.000 mantan tentara ABDACOM dan warga sipil Eropa, terutama Belanda, serta Amerika, Inggris dan Australia yang merupakan sekutu Belanda, mendekam di kamp-kamp interniran Jepang di seluruh Indonesia sampai berakhirnya Perang Pasifik pada 15 Agustus 1945.
Di masa pendudukan Jepang, untuk kepentingan mendukung kekuatan militernya dan untuk membantu menjaga keamanan serta ketertiban, Jepang melatih pribumi untuk menjadi tentara dan polisi. Tentara gemblengan Jepang ini kemudian sangat berguna dalam perang melawan agresi militer Belanda –dibantu tentara Inggris dan Australia- yang berusaha menjajah kembali Indonesia.
Pada 6 Agustus 1945, Amerika menjatuhkan bom atom di atas kota Hiroshima, dan kemudian pada 9 Agustus di atas kota Nagasaki. Amerika mengancam, apabila Jepang tidak mau menyerah tanpa syarat, bom berikutnya akan dijatuhkan di atas Ibukota Jepang, Tokyo. Pada 15 Agustus 1945, Jepang menyatakan menyerah tanpa syarat. Namun dokumen Menyerah–Tanpa-Syarat baru ditandatangani pada 2 September 1945 di atas Kapal Perang AS Missouri, di Tokyo Bay. Dengan demikian, antara tanggal 15 Agustus dan 2 September 1945 terdapat kekosongan kekuasaan pemerintahan (vacuum of power) di seluruh wilayah yang diduduki oleh Jepang, termasuk Netherlands-Indië (India Belanda).
Di masa kekosongan kekuasaan (vacuum of power), pemimpin bangsa Indonesia menyatakan kemerdekaan bangsa Indonesia. Pernyataan kemerdekaan ini kemudian diikuti dengan pengangkatan Presiden dan Wakil Presiden serta pembentukan pemerintahan, sehingga ketiga persyaratan mengenai berdirinya suatu Negara, yaitu:
Adanya penduduk yang permanen,
Adanya wilayah, dan
Adanya pemerintahan,
telah terpenuhi, sebagaimana disyaratkan dalam Konvensi Montevideo, Uruguay, yang ditandatangani pada 26 Desember 1933. (Mengenai Keabsahan Proklamasi 17.8.1945, klik: http://batarahutagalung.blogspot.com/2009/12/keabsahan-proklamasi-17-agustus-1945.html)
Pemerintah Republik Indonesia yang baru dibentuk menyatakan, bahwa wilayah Republik Indonesia adalah seluruh wilayah bekas Netherlands Indië (India Belanda). Pernyataan batas wilayah Negara ini berdasarkan azas Uti possidetis Juris (iuris), yaitu penentuan batas-batas Negara bekas jajahan Negara lain. Hukum ini diadopsi dari hukum Romawi.
Dengan demikian, proklamasi kemerdekaan bangsa Indonesia yang dicetuskan pada 17.8.1945, dicetuskan, bukan merupakan pemberontakan terhadap negara manapun, baik terhadap Jepang maupun Belanda, karena Jepang telah menyatakan menyerah kepda tentara Sekutu, dan pemerintahan Netherlands Indië-pun tidak ada sejak tanggal 9 Maret 1942. Juga bukan revolusi, karena tidak ada pemerintahan yang digulingkan. Mengenai periode antara tahun 1945 – 1950 bukan merupakan perang kemerdekaan, melainkan perang mempertahankan kemerdekaan.
Tanggal 10 Juni 1947, Mesir merupakan Negara pertama yang mengakui kemerdekaan Republik Indonesia, kemudian disusul oleh Liga Arab dan India, setelah merdeka dari penjajahan Inggris. Dengan demikian, syarat keempat Konvensi Montyevideo telah terpenuhi, yaitu kesanggupan untuk melakukan hubungan internasional. Walaupun Konvensi Montevideo telah memberi catatan, bahwa tanpa adanya pengakuan dari Negara lain, Negara tersebut berhak mempertahankan kedaulatannya, sebagaimana dilakukan oleh bangsa Indonesia mempertahankan kemerdekaan terhadap agresi militer Belanda.
Belanda Ingin Berkuasa Kembali Di Indonesia
Pernyataan kemerdekaan bangsa Indonesia tidak mau diakui oleh pemerintah Belanda, yang menganggap bahwa ini sebagai pemberontakan terhadap Kerajaan Belanda. Untuk sebagian orang Belanda, apabila Nederlands Indië tidak lagi di bawah kekuasaan Belanda, maka kekayaan orang-orang Belanda yang ada di bekas jajahannya akan hilang. Selain itu, penghasilan dari India Belanda menyumbang hampir 10 % budget Negara (Anggaran Pendapatan dan Belanda Negara) Belanda. Slogan yang waktu itu sangat popular di Belanda adalah: “Indië verloren, rampspoed geboren”, yang artinya Indië (maksudnya Indonesia, jajahannya) hilang, timbul malapetaka.
Namun setelah usai Perang Dunia II, Belanda tidak mempunyai angkatan perang yang kuat. Tentaranya di Belanda telah digilas oleh tentara Jerman tahun 1941, dan tentaranya di India Belanda, ditaklukkan oleh balatentara Dai Nippon tahun 1942. Tentara Belanda yang ada di India Belanda, dimasukkan ke kamp-kamp interniran. Setelah mereka dibebaskan dengan menyerahnya Jepang kepada sekutu, kondisi fisik para prajurit Belanda sangat menyedihkan. Kekurangan makan dan berbagai penyakit mengakibatkan fisik mereka sangat lemah dan tidak dapat dikerahkan untuk perang.
Oleh karena itu, selain melakukan wajib militer di Belanda, Belanda melakukan perundingan untuk meminta bantuan militer. Semula mantan Wakil Gubernur Jenderal Dr. Hubertus van Mook mengadakan perundingan dengan Letnan Jenderal Douglas MacArthur, Panglima Tertinggi Tentara Sekutu untuk Wilayah Pasifik Barat Daya (South West Pacific Area Command).
Namun untuk mempercepat penguasaan Sekutu atas Jepang, maka pada bulan Juli 1945 di Potsdam, Jerman, dicapai kesepakatan antara Amerika Serikat dan Inggris, bahwa MacArthur harus secepatnya mengerahkan pasukannya menuju Jepang dan menyerahkan komando atas kepulauan Hindia Belanda kepada Komando Asia Tenggara (South East Asia Command) di bawah Vice Admiral Lord Louis Mountbatten.
Pemerintah Belanda kemudian melakukan perundingan dengan pemerintah Inggris di Chequers, tempat peristirahatan Perdana Menteri Inggris yang letaknya sekitar 100 km dari London. Pada 24 Agustus 1945 ditandatangani perjanjian yang dinamakan Civil Affairs Agreement, di mana Inggris bersedia membantu Belanda untuk memperoleh kembali jajahannya, India Belanda, dengan kekuatan militer. Daerah-daerah yang telah “dibersihkan” dari kekuatan bersenjata Republik Indonesia, akan diserahkan kepada Netherlands Indies Civil Administration (NICA).
Untuk melaksanakan tugas ini, ditunjuk Vice Admiral Lord Louis Mountbatten, Panglima Tertinggi Tentara Sekutu di Asia Tenggara, yang telah diberi perintah oleh Tentara Sekutu untuk melucuti tentara Jepang dan membebaskan para interniran. Tugas pokok yang diberikan oleh pimpinan Allied Forces kepada Mountbatten adalah:
Melucuti tentara Jepang serta mengatur pemulangan kembali ke negaranya (The disarmament and removal of the Japanese Imperial Forces),
Membebaskan para tawanan serta interniran Sekutu yang ditahan oleh Jepang di Asia Tenggara (RAPWI – Rehabilitation of Allied Prisoners of War and Internees), termasuk di Indonesia, serta
Menciptakan keamanan dan ketertiban (Establishment of law and order).
Namun sejarah mencatat, bahwa ternyata ada agenda rahasia (hidden agenda) yang dibebankan kepada Mountbatten,sebagai hasil perundingan antara pemerintah Inggris dengan pemerintah Belanda. Untuk melaksanakan tugas Tentara Sekutu dan tugas tambahannya dia memperkirakan diperlukan enam divisi. Untuk tugas-tugas tersebut, dia hanya dapat mengerahkan tiga divisi tentara Inggris-India (British-Indian Divisions). Untuk memenuhi permintaannya, Mountbatten mendapat tambahan dua divisi tentara Australia di bawah komando Letnan Jenderal Leslie “Ming the merciless” Morsehead, yang sebelumnya berada di bawah komando MacArthur di South West Pacific Area Command.
Pada tanggal 15 Agustus 1945, wewenang atas Bali, Lombok, Kalimantan dan Sulawesi diserahkan oleh MacArthur kepada Mountbatten. Banyak orang berpendapat, bahwa nasib Indonesia akan berbeda apabila yang masuk ke Indonesia adalah tentara Amerika, bukan tentara Inggris. Tentara Australia yang memang telah berada di wilayah bekas jajahan Belanda bagian timur, dapat dengan segera melaksanakan tugas mereka melucuti tentara Jepang dan menguasai wilayah yang sebelumnya dikuasai Jepang.
Pada waktu itu, para pemimpin Indonesia belum mengetahui adanya hasil keputusan konferensi Yalta yang sehubungan dengan Asia, yaitu mengembalikan situasi kepada status quo, seperti sebelum invasi Jepang tahun 1941; dan juga belum diketahui ada perjanjian bilateral antara Belanda dan Inggris di Chequers, mengenai komitmen bantuan Inggris kepada Belanda. Mungkin jalan sejarah akan lain, apabila waktu itu telah diketahui isi surat Mountbatten kepada komandan-komandan pasukan, terutama apabila pimpinan Republik Indonesia telah mengetahui adanya kesepakatan Inggris dengan Belanda di Chequers tanggal 24 Agustus 1945. Apabila hal-hal tersebut telah diketahui pada waktu itu, dapat dipastikan bahwa para pimpinan Republik –terutama dari garis keras- tidak akan menerima perdaratan tentara Sekutu, yang di banyak tempat ternyata membawa tentara Belanda dengan berkedok RAPWI.
Untuk pelaksanaan tugasnya, Mountbatten membentuk Allied Forces in the Netherlands East Indies (AFNEI) –Tentara Sekutu di India Belanda. Jabatan Komandan AFNEI, semula dipegang oleh Rear Admiral Sir Wilfred Patterson, yang kemudian digantikan oleh Letnan Jenderal Sir Philip Christison. Christison sendiri baru tiba di Jakarta tanggal 30 September 1945.
Tiga divisi tentara Inggris di bawah komando Letjen Phillip Christison untuk Sumatera dan Jawa serta 2 divisi tentara Australia di bawah komando Letjen Leslie “Ming the merciless” Morsehead di Indonesia Timur, “membersihkan” kekuatan bersenjata pendukung Republik Indonesia, sebelum adanya Tentara Republik Indonesia (TRI),dan kemudian Tentara Nasional Indonesia (TNI). Pasukan Australia di Indonesia Timur berhasil menghancurkan sebagian besar perlawanan bersenjata pendukung Republik Indonesia.
Pasukan Inggris yang akan ditugaskan adalah British-Indian Divisions, yaitu Divisi ke 26 di bawah Mayor Jenderal H.M. Chambers untuk Sumatera, Divisi 23 di bawah Mayor Jenderal Douglas Cyril Hawthorn untuk Jawa Barat dan Tengah dan khusus untuk JawaTimur dikerahkan satu divisi, yaitu Divisi 5 di bawah Mayor Jenderal Robert C. Mansergh, yang memenangkan pertempuran di El Alamein, Afrika Utara melawan pasukan Jerman di bawah komando Marsekal Erwin Rommel yang legendaris.
Tanggal 1 September 1945, Dr. H.J. van Mook bersama Dr. Charles van der Plas menemui Lord Mountbatten di Markas Besar Komando Tentara Sekutu di Kandy, Ceylon (Sri Lanka), untuk menindak-lanjuti hasil perundingan antara Belanda dan Inggris, Civil Affairs Agreement, serta hasil keputusan konferensi Yalta dan Deklarasi Potsdam. Nampaknya, setelah pertemuan tersebut, Mountbatten mengeluarkan perintah tertanggal 2 September 1945, kepada komandan Divisi 5, dengan kalimat yang kemudian berakibat fatal bagi rakyat Indonesia, terutama di Surabaya. Perintah tersebut berbunyi:
Headquarters, S.E.Asia Command
2 Sept. 1945.
From : Supreme Commander S.E.Asia
To : G.O.C.Imperial Forces.
Re. Directive ASD4743S.
You are instructed to proceed with all speed to the island of Java in the East Indies to accept the surrender of Japanese Imperial Forces on that island, and to release Allied prisoners of war and civilian internees.
In keeping with the provisions of the Yalta Conference you will re-establish civilians rule and return the colony to the Dutch Administration, when it is in a position to maintain services.
The main landing will be by the British Indian Army 5th Division, who have shown themselves to be most reliable since the battle of El Alamein.
Intelligence reports indicate that the landing should be at Surabaya, a location which affords a deep anchorage and repair facilities.
As you are no doubt aware, the local natives have declared a Republic, but we are bound to maintain the status quo which existed before the Japanese Invasion.
I wish you God speed and a sucessful campaign.
(signed)
Mountbatten
____________________
Vice Admiral.
Supreme Commander S.E.Asia.
Kalimat:
“In keeping with the provisions of the Yalta Conference you will re-establish civilians rule and return the colony to the Dutch Administration, when it is in a position to maintain services.”
dan kalimat berikutnya:
“……the local natives have declared a Republic, but we are bound to maintain the status quo which existed before the Japanese Invasion.”
menyatakan secara jelas dan gamblang maksud Inggris untuk
“…..mengembalikan koloni (Indonesia) kepada Administrasi Belanda…”
dan
“………mempertahankan status quo yang ada sebelum invasi Jepang.”
Reid, Anthony J.S., Revolusi Nasional Indonesia, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 1996.
Dua Divisi tentara Australia ditugaskan untuk menduduki kota-kota penting di Kalimantan, Sulawesi dan Indonesia Timur lainnya. Anthony Reid, sejarawan Australia dalam bukunya yang berjudul Revolusi Nasional Indonesia, mencatat:
“Tentara Australia ini sebelumnya termasuk Komando Wilayah Pasifik Baratdaya yang kemudian dibubarkan, dengan tugas baru yang diberikan kepada Letnan Jenderal MacArthur. Kini mereka diberi wewenang atas Kalimantan, Sulawesi, dan semua pulau di bagian Timur, kecuali Bali dan Lombok. Mereka mempunyai kekuatan pasukan yang besar di Borneo Inggris, Kalimantan, Irian dan markas besar mereka di Morotai. Dengan demikian, mereka dapat bergerak lebih cepat daripada tentara Inggris. Pendaratan tentara Australia,
– di Kupang tanggal 11 September 1945,
– di Banjarmasin tanggal 17 September,
– di Makasar tanggal 21 September,
– di Ambon tanggal 22 September,
– di Manado tanggal 2 Oktober,
– di Pontianak tanggal 16 Oktober.
Pasukan Australia datang bersama kesatuan-kesatuan NICA (Netherlands Indies Civil Administration) di sebagian besar kota-kota itu sebelum adanya suatu gerakan Republik yang terorganisasi dengan baik. Oleh karena itu, mereka relatif tidak banyak menghadapi kesulitan untuk melaksanakan rencana semula guna mempersiapkan pengambilalihan pemerintahan oleh pihak Belanda.”
Kemudian, atas desakan pihak Belanda, Inggris menyerahkan wewenang atas Kalimantan serta kepulauan di bagian timur, kecuali Bali dan Lombok, kepada tentara Australia. Namun kemudian, Inggris juga “menyerahkan” kewenangan atas Bali dan Lombok kepada tentara Australia, sehingga yang di bawah kewenangan tentara Inggris hanya Sumatera, Jawa dan Madura. Dengan demikian, Australia sangat berjasa kepada Belanda dalam membantu Belanda menduduki wilayah-wilayah di seluruh Indonesia Timur, karena Belanda sendiri pada tahun 1945 belum dapat membentuk satuan bersenjata yang terorganisir. Yang ada hayalah bekas tawanan Jepang yang kondisi fisiknya tidak memungkinkan untuk bertempur.
15 Juli 1946, Awal Malapetaka Di Sulawesi Dan Bali
Setelah menilai, bahwa seluruh wilayah Indonesia Timur “bersih” dari kekuatan bersenjata pendukung Republik Indonesia, pada 15 Juli 1946 tentara Australia menyerahkan seluruh wilayah Indonesia Timur kepada Netherlands Indies Civil Administration (NICA), sesuai dengan perjanjian Chequers. Pada 16 Juli 1946, Wakil Gubernur Jenderal van Mook menggelar Konferensi Malino, yang meletakkan dasar pembentukan Negara Indonesia Timur. Dalam Konferensi di Denpasar bulan Desember 1946, Negara Indonesia Timur disahkan.
Sementara di Linggajati tengah dilakukan perundingan perdamaian yang difasilitasi oleh Inggris, di daerah-daerah di luar Jawa dan Sumatera, setelah menghadapi perlawanan sengit dari rakyat setempat, tentara Belanda melancarkan teror serta pembantaian masal terhadap penduduk di daerah-daerah yang mendukung Republik.
Walau pun banyak pemimpin mereka ditangkap, dibuang dan bahkan dibunuh, perlawanan rakyat di Sulawesi Selatan dan di Bali tidak kunjung padam. Hampir setiap malam terjadi serangan dan penembakan terhadap pos-pos pertahanan tentara Belanda. Para pejabat Belanda sudah sangat kewalahan, karena tentara KNIL yang sejak bulan Juli menggantikan tentara Australia di Sulawesi Selatan tidak sanggup mengatasi gencarnya serangan-serangan pendukung Republik. Mereka menyampaikan kepada pimpinan militer Belanda di Jakarta, bahwa apabila perlawanan bersenjata pendukung Republik tidak dapat diatasi, mereka harus melepaskan Sulawesi Selatan.
Maka pada 9 November 1946, Letnan Jenderal Spoor dan Kepala Stafnya, Mayor Jenderal Buurman van Vreeden memanggil seluruh pimpinan pemerintahan Belanda di Sulawesi Selatan ke markas besar tentara di Batavia. Diputuskan untuk mengirim pasukan khusus yaitu Depot Speciaale Troepen (DST) pimpinan Westerling untuk menghancurkan kekuatan bersenjata Republik serta mematahkan semangat rakyat yang mendukung Republik Indonesia. Westerling diberi kekuasaan penuh untuk melaksanakan tugasnya dan mengambil langkah-langkah yang dipandang perlu.
Pada 15 November 1946, Letnan I Vermeulen ditugaskan memimpin rombongan yang terdiri dari 20 orang pasukan dari Unit Pasukan Khusus (DST) menuju Makassar. Sebelumnya, NEFIS telah mendirikan markasnya di Makassar. Pasukan khusus tersebut diperbantukan ke garnisun pasukan KNIL yang telah terbentuk sejak Oktober 1945. Anggota DST segera memulai tugas intelnya untuk melacak keberadaan pimpinan perjuangan Republik serta para pendukung mereka.
Westerling sendiri baru tiba di Makassar pada 5 Desember 1946, memimpin 120 orang Pasukan Khusus DST. Dia mendirikan markasnya di desa Matoangin. Di sini dia menyusun strategi untuk Counter Insurgency (penumpasan pemberontakan) dengan caranya sendiri, dan tidak berpegang pada Voorschrift voor de uitoefening van de Politiek-Politionele Taak van het Leger – VPTL (Pedoman Pelaksanaan bagi Tentara untuk Tugas di bidang Politik dan Polisional), di mana telah ada ketentuan mengenai tugas intelijen serta perlakuan terhadap penduduk dan tahanan. Suatu buku Pedoman untuk Counter Insurgency yang dikatakannya untuk membasmi pemberontakan.
Aksi pertama operasi Pasukan Khusus DST dimulai pada malam tanggal 11 menjelang 12 Desember. Sasarannya adalah desa Batua serta beberapa desa kecil di sebelah timur Makassar dan Westerling sendiri yang memimpin operasi itu. Pasukan pertama berkekuatan 58 orang dipimpin oleh Sersan Mayor H. Dolkens menyerbu desa Borong dan pasukan kedua dipimpin oleh Sersan Mayor Instruktur J. Wolff beroperasi di desa Batua dan Patunorang. Westerling sendiri bersama Sersan Mayor Instruktur W. Uittenbogaard dibantu oleh dua ordonan, satu operator radio serta 10 orang staf menunggu di desa Batua.
Pada fase pertama, pukul 4 pagi wilayah itu dikepung dan seiring dengan sinyal lampu pukul 5.45 dimulai penggeledahan di rumah-rumah penduduk. Semua rakyat digiring ke desa Batua. Pada fase ini, 9 orang yang berusaha melarikan diri langsung ditembak mati. Setelah berjalan kaki beberapa kilometer, sekitar pukul 8.45 seluruh rakyat dari desa-desa yang digeledah telah terkumpul di desa Batua. Tidak diketahui berapa jumlahnya secara tepat. Westerling melaporkan bahwa jumlahnya antara 3.000 sampai 4.000 orang yang kemudian perempuan dan anak-anak dipisahkan dari pria.
Fase kedua dimulai, yaitu mencari “kaum ekstremis”, “perampok”, “penjahat” dan “pembunuh.” Westerling sendiri yang memimpin aksi ini dan berbicara kepada rakyat, yang diterjemahkan ke bahasa Bugis. Dia memiliki daftar nama “teroris” yang telah disusun oleh Vermeulen. Kepala Adat dan Kepala Desa harus membantunya mengidentifikasi para “teroris” tersebut. Hasilnya adalah 35 orang yang dituduh langsung dieksekusi di tempat. Metode Westerling ini dikenal dengan nama Standrechtelijke executie (eksekusi di tempat). Dalam laporannya Westerling menyebutkan bahwa yang telah dihukum adalah 11 “ekstremis”, 23 “perampok” dan seorang “pembunuh.”
Fase ketiga adalah ancaman kepada rakyat untuk tindakan di masa depa, penggantian Kepala desa serta pembentukan polisi desa yang harus “melindungi” desa dari anasir-anasir “teroris dan perampok.” Setelah itu rakyat disuruh pulang ke desa masing-masing. Operasi yang berlangsung dari pukul 4 hingga pukul 12.30 telah mengakibatkan tewasnya 44 rakyat desa.
Demikianlah “sweeping a la Westerling.” Dengan pola yang sama, operasi pembantaian rakyat di Sulawesi Selatan berjalan terus. Westerling juga memimpin sendiri operasi di desa Tanjung Bunga pada malam tanggal 12 menjelang 13 Desember 1946. 61 orang ditembak mati. Selain itu beberapa kampung kecil di sekitar desa Tanjung Bunga dibakar, sehingga korban tewas seluruhnya mencapai 81 orang.
Berikutnya pada malam tanggal 14 menjelang 15 Desember, tiba giliran desa Kalungkuang yang terletak di pinggiran kota Makassar. “Hasil”: 23 orang rakyat ditembak mati. Menurut laporan intelijen mereka, Wolter Robert Mongisidi dan Ali Malakka yang diburu oleh tentara Belanda berada di wilayah ini, namun mereka tidak dapat ditemukan. Pada malam tanggal 16 menjelang tanggal 17 desember, desa Jongaya yang terletak di sebelah tenggara Makassar menjadi sasaran. Di sini 33 orang “teroris” dieksekusi.
Setelah daerah sekitar Makassar “dibersihkan”, aksi tahap kedua dimulai tanggal 19 Desember 1946. Sasarannya adalah Polombangkeng yang terletak di selatan Makassar di mana menurut laporan intelijen Belanda, terdapat sekitar 150 orang pasukan TNI serta sekitar 100 orang anggota laskar berenjata. Dalam penyerangan ini, Pasukan DST menyerbu bersama 11 peleton tentara KNIL dari Pasukan Infanteri XVII. Penyerbuan ini dipimpin oleh Letkol KNIL Veenendaal. Satu pasukan DST di bawah pimpinan Vermeulen menyerbu desa Renaja dan desa Komara. Pasukan lain mengurung Polombangkeng. Selanjutnya pola yang sama seperti pada gelombang pertama diterapkan oleh Westerling. Dalam operasi ini 330 orang rakyat tewas dibunuh.
Aksi tahap ketiga mulai dilancarkan pada 26 Desember 1946 terhadap Goa dan dilakukan dalam tiga gelombang, yaitu tanggal 26 dan 29 desember serta 3 Januari 1947. Di sini juga dilakukan kerjasama antara Pasukan Khusus DST dengan pasukan KNIL. Korban tewas di kalangan penduduk berjumlah 257 orang.
Untuk lebih memberikan keleluasaan bagi Westerling, pada 6 Januari 1946 Jenderal Spoor memberlakukan noodtoestand (keadaan darurat) untuk wilayah Sulawesi Selatan. Pembantaian rakyat dengan pola seperti yang telah dipraktekkan oleh pasukan khusus ini berjalan terus. Pertengahan Januari 1947 sasarannya adalah pasar di Pare-Pare dan dilanjutkan di Madello (15.1.), Abokangeng (16.1.), Padakalawa (17.1.), satu desa tak dikenal (18.1.) Enrekang (18.1.) Talanbangi (19.1.), Soppeng (22.1), Barru (25.1.) Malimpung (27.1) dan Suppa (28.1.).
Pada hari Sabtu tanggal 1 Februari 1947, seperti yang biasa dilakukan oleh pasukan Westerling dalam menebar terror di masyarakat di Sulawesi Selatan (sekarang sebagian termasuk Sulawesi Barat). Pasukan DST dipimpin oleh Letnan Vermeulen. Fase pertama adalah, orang-orang dari desa-desa di sekitar desa Galung Lombok, dekat Majene, dikumpulkan dan digiring ke desa Galung Lombok. Hari Sabtu di daerah itu adalah hari pasar, dan semua orang yang sedang berada di pasar-pasar di desa-desa di sekitar Galung Lombok digiring ke desa Galung Lombok. Jumlahnya mencapai ribuan orang. Juga ada yang diangkut dengan truk karena jaraknya jauh, seperti dari Soreang, yang berjarak 38 km dari Galung Lombok, namun sebagian terbesar berjalan kaki sekitar 5 – 10 km. Pasukan Depot Speciale Troepen (DST) yang ke Majene dipimpin oleh Letnan Vermeulen.
Ribuan rakyat itu dipaksa menyaksikan eksekusi terhadap orang-orang yang oleh Belanda dituduh sebagai ekstremis, perampok atau pembunuh. Semua tahanan dari penjara-penjara dibawa ke Galung Lombok untuk kemudian langsung ditembak mati tanpa proses pengadilan.
Sebenarnya pola yang akan dilakukan di desa Galung Lombok juga sama, yaitu fase pertama, seluruh masyarakat digiring ke satu lapangan besar yang terbuka, kemudian perempuan dan anak-anak dipisahkan. Fase kedua, dilakukan seleksi terhadap orang-orang yang dipandang sebagai ekstremis, perampok dan pembunuh. Berdasarkan daftar yang mereka peroleh dari intel Belanda yang kebanyakan dibantu oleh pribumi, komandan tentara Belanda memanggil nama-nama yang ada di daftar, dan langsung ditembak mati. Yang diambil dari penjara juga langsung ditembak mati, karena dianggap sebagai perampok atau pembunuh.
Namun di tengah-tengah berlangsungya eksekusi, masuk laporan bahwa di satu desa, sekitar 3 kilometer dari Galung Lombokterjadi penghadangan terhadap patrol Belanda, yang mengakibatkan tewasnya tiga orang tentara Belanda. Vermeulen kemudian meninjau langsung lokasi penghadangan tersebut.Melihat kondisi mayat ketiga tentara Belanda, Vermeulen sangat marah.
Sekembalinya ke desa Galung Lombok, dia langsung memerintahkan untuk melakukan penembakan secara membabi buta. Akibatnya,diperkirakan lebih dari 600 rakyat Mandar tewas dalam pembantaian etnis tersebut.
Pada 7 dan 14 Februari di pesisir Tanette; pada 16 dan 17 Februari desa Taraweang dan Bornong-Bornong.
Seorang saksi mata yang mengalami sendiri pembantaian yang dilakukan tentara Belanda di bawah Westerling adalah Sitti Hasanah Nu’mang. Berikut adalah cuplikan penuturannya:[1]
“… Dengan tidak diduga-duga, serdadu NICA mulai mendatangi rumah, dan membawa ayah pergi. Tidak lama kemudian, mereka datang lagi untuk mengambil paman saya, Puang Side. Datang yang ketiga kalinya, tibalah giliran saya dibawa ke kantor MP (Polisi Militer). Di sini saya bertemu ayah, Puang Side dan banyak lagi teman-teman seperjuangan yang lain.
Dua minggu di sel MP bersama ayah dan Puang Side, kami lalu dibawa ke penjara besar Pare-Pare. Kami bertemu lagi dengan teman-teman seperjuangan. Kira-kira sebulan lebih menjadi penghuni rumah tahanan.
Pagi itu tanggal 4 Januari 1947, kira-kira pukul 08.00, sebuah jeep MP berhenti di depan penjara besar Pare-Pare. Seorang sersan mayor turun dari jeep itu diikuti beberapa militer yang lain. Mereka berseragam loreng, bertopi baja, lengkap bersenjata sangkur terhunus, bahkan ada yang menyandang stengun. Mereka masuk penjara, kemudian memanggil satu presatu nama tahanan Merah-Putih yang belum diadili. Lalu kami disuruhnya berbaris dua-dua keluar penjara menuju kantor. Sampai di depan kantor, kami disuruh jongkok di tanah. Tidak lama kemudian, kami diperintahkan lagi keluar menuju lapangan tenis. Begitu kami berhenti, kami dibentak disuruh berangkat menuju ke barat. Di lapangan tenis, para serdadu tersebut berdiri melingkari barisan kami. Ketika semua sudah jongkok, saya tetap berdiri di tengah, dekat ayah. Saya pikir, jongkok atau berdiri toh akan sama-sama ditembak juga.
Tak lama kemudian, datanglah sebuah jeep, di atasnya duduk dua orang Belanda, seorang berbaret merah, sedangkan yang lain orangnya gemuk becelana pendek dan pakai topi helm. Salah seorangnya ternyata adalah Westerling itu mendekati ayah, dan berteriak, “inilah balasannya! Ekstremis! Perampok! Pemberontak! Saya akan selesaikan satu persatu!!” Kemudian terdengar suara tembakan yang memberondong, yang tidak akan saya lupakan seumur hidup. Ayah gugur ….. Satu per satu saudara saya roboh ke tanah. Selesai menembak, Westerling melangkah di depan saya lalu menggertak kasar, “Ini perempuan juga mau melawan Belanda ya!?’
‘Heh, Tuan, kami bukan perampok! Tuan-tuanlah yang merampok! Ini adalah negeri kami sendiri!!!’, teriak saya geram…
…Saya diam termanggu-manggu, heran mengapa saya disisakan, tidak dibunuh bersama yang lain? Tiba-tiba seorang serdadu mendorong saya, saya disuruh naik jeep, kembali ke markas MP. Ketika mesin mulai menderu, saya masih sempat menoleh, melihat jenazah ayah dan saudara-saudara seperjuangan bergelimpangan di tanah …
Hari itu saya bermalam di MP. Besoknya, saya dibawa lagi ke penjara besar Pare-Pare. setelah semalam di kamar sel, keesokan harinya saya dipindahkan, dicampur dengan perempuan nakal. Di sini saya tinggal lima malam. Malam itu, kira-kira pukul 21.00 malam, kamar saya dibuka penjaga, seorang MP. “Bangun! Dipanggil Tuan Besar!” bentaknya memerintah. Saya tergopoh-gopoh bangun, lalu mengikuti orang yang memanggil, menuju ke kamar Mayor de Bruin. Di situ ada dua orang tamunya, yang kemudian saya kenal sebagai van der Velaan dan seorang KNIL yang saya tidak tahu namanya. Mereka bertiga sedang ngobrol sambil menghadapi minuman keras di meja, membelakangi saya sambil menuang minuman di gelas. Entah minuman keras apa yang dituang, saya tidak lihat. Kemudian minuman itu disodorkannya kepada saya sambil berkata, “Ini limun, bukan apa-apa!” saya dipaksa minum sambil pistolnya dipegang-pegang. Belum seberapa saya meminumnya, kepala saya langsung pusing. Saya melihat dua orang Belanda tadi cepat-cepat ke luar ruang dan … saya pun tidak sadarkan diri.
Kira-kira pukul 05.00 subuh, saya baru sadar. Saya langsung marah-marah mencaci maki Mayor de Bruin, “Kenapa saya disiksa begini? Kenapa tidak dibunuh saja? Kurang ajar, tidak berperikemanusiaan! Apa ini hukuman yang dijatuhkan kepada saya?!” Subuh itu juga saya tinggalkan kamar itu dan pindah ke kamar saya semula. Dalam kesendirian saya meratapi nasib. Ayah ditembak, saya tercemar dan tidak berdaya … Hanya Tuhanlah Yang Maha Tahu …
Saksi mata lain yang mengalami kekejaman tentara Belanda adalah Hj. Oemi Hani A. Salam. Ia menuturkan:[2]
… Setelah itu, saya dibawa dan dijebloskan ke dalam tahanan di tangsi KNIL Majene. Jumlah tahanan yang ada bertambah menjadi delapan puluh orang, termasuk Ibu Depu, Siti Ruaidah, Muhamad Djud Pance, dan A.R. Tamma, yang kesemuanya merupakan aktivis PRI, aktivis KRIS muda, atau kedua-duanya.
Saya masih meringkuk dalam kamar tahanan, yang hanya berukuran 3 x 3 m, ketika terjadi peristiwa maut Galung Lombok yang teramat mengerikan pada tanggal 2 Februari 1947. Peristiwa pembantaian yang didalangi anjing-anjing Westerling, yang telah menelan korban jiwa terbesar di antara semua korban yang jatuh di lain-lain daerah. Pada peristiwa yang memilukan hati itu, pahlawan M. Yusuf Pabicara Baru, anggota Dewan Penasihat PRI, bersama dengan H. Ma’ruf Imam Baruga, Sulaiman Kapala Baruga, Daaming Kapala Segeri, H. Nuhung Imam Segeri, H. Sanoesi, H. Dunda, H. Hadang, Muhamad Saleh, Sofyan, dan lain-lain, direbahkan di ujung bayonet dan menjadi sasaran peluru. Setelah itu, barulah menyusul adanya pembantaian serentak terhadap orang-orang yang tak berdosa yang turut digiring ke tempat tersebut. Semua itu belum termasuk korban yang dibantai habis di tempat lain, seperti Abdul Jalil Daenan Salahuddin (Qadhi Sendana), Tambaru Pabicara Banggae, Atjo Benya Pabicara Pangali-ali, ketiganya anggota Dewan Penasihat PRI, Baharuddin Kapala Bianga (Ketua Majelis Pertahanan PRI), Dahlan Tjadang (Ketua Majelis Urusan Rumah Tangga PRI), dan masih banyak lagi yang tidak mungkin disebutkan namanya satu persatu. Ada pula yang diambil dari tangsi Majene waktu itu dan dibawa ke Galung Lombok lalu diakhiri hidupnya.
Sepuluh hari setelah terjadinya peristiwa yang lazim disebut “Peristiwa Galung Lombok” itu, menyusul penyergapan terhadap delapan orang pria dan wanita, yaitu Andi Tonra (Ketua Umum PRI), A. Zawawi Yahya (Ketua Majelis Pendidikan PRI), Abdul Wahab Anas (Ketua Majelis Politik PRI), Abdul Rasyid Sulaiman (pegawai kejaksaan pro RI), Anas (ayah kandung Abdul Wahab), Nur Daeng Pabeta (kepala Jawatan Perdagangan Dalam Negeri), Soeradi (anggota Dewan Pimpinan Pusat PRI), dan tujuh hari kemudian ditahan pula Ibu Siti Djohrah Halim (pimpinan Aisyah dan Muhammdyah Cabang Mandar), yang pada masa PRI menjadi Ketua Majelis Kewanitaan.
Dua di antara mereka yang disiksa luar biasa beratnya ialah Andi Tonran7 dan Abdul Wahab Anas. Wahab Anas dalam keadaan terjungkir di tiang gantungan, dipukul bertubi-tubi. Darahnya bercucuran keluar dari hidung, mulut dan telinganya. Sedangkan Soeradi tidak digiring ke tiang gantungan, melainkan disiksa secara bergantian oleh lima orang bajingan NICA, sampai menghebuskan nafas terakhir di bawah saksi mata Andi Tonra dan Abdul Wahab Anas.
…Kami bersyukur bahwa kami luput dari pembunuhan kejam tersebut karena nama kami, yakni Ibu Depu, Rusidah, saya dan lain-lain tidak terdapat dalam daftar ‘perampok’. …
Setelah itu, masih ada beberapa desa dan wilayah yang menjadi sasaran Pasukan Khusus DST tersebut, yaitu pada 7 dan 14 Februari di pesisir Tanette; pada 16 dan 17 Februari desa Taraweang dan Bornong-Bornong. Kemudian juga di Mandar, di mana 364 orang penduduk tewas dibunuh. Pembantaian rakyat Sulawesi Selatan bereskalasi di desa Kulo, Amperita dan Maruanging di mana 171 penduduk dibunuh tanpa sedikit pun dikemukakan bukti kesalahan mereka atau alasan pembunuhan. Selain itu, di aksi-aksi terakhir, tidak seluruhnya “teroris, perampok dan pembunuh” yang dibantai berdasarkan daftar yang mereka peroleh dari dinas intel, melainkan secara sembarangan orang-orang yang sebelumnya ada di tahanan atau penjara karena berbagai sebab, dibawa ke luar dan dikumpulkan bersama terdakwa lain untuk kemudian dibunuh.
Di banyak tempat, Westerling tidak hanya memimpin operasi melainkan ikut menembak mati rakyat yang dituduh sebagai teroris, perampok atau pembunuh. H.C. Kavelaar, seorang wajib militer di KNIL adalah saksi mata pembantaian di alun-alun di Tanette, di mana sekitar 10 atau 15 penduduk dibunuh. Dia menyaksikan bagaimana Westerling sendiri menembak mati beberapa orang dengan pistolnya, sedangkan lainnya diberondong oleh peleton DST dengan sten gun.
Di semua tempat, pengumpulan data mengenai orang-orang yang mendukung Republik, intel Belanda selalu dibantu oleh pribumi yang rela demi uang dan kedudukan, menghianati bangsanya sendiri, dan bahkan sampai dibunuh oleh penjajah. Pada aksi di Goa, Belanda dibantu oleh seorang kepala desa, Hamzah, yang selama Perang Dunia II tetap setia kepada Belanda.
Berdasarkan laporan yang diterimanya, Jenderal Spoor menilai bahwa keadaan darurat di Sulawesi Selatan telah dapat diatasi, maka dia menyatakan mulai 21 Februari 1947 diberlakukan kembali Voorschrift voor de uitoefening van de Politiek-Politionele Taak van het Leger – VPTL (Pedoman Pelaksanaan bagi Tentara untuk Tugas di bidang Politik dan Polisional), dan Pasukan DST ditarik kembali ke Jawa.
Dengan keberhasilan menumpas para “teroris”, tentu saja di kalangan Belanda –baik militer mau pun sipil- reputasi Pasukan Khusus DST dan komandannya, Kapten Westerling melambung tinggi. Media massa Belanda memberitakan secara superlatif. Ketika pasukan DST tiba kembali ke Markas DST pada 23 Maret 1947, mingguan militer Het Militair Weekblad menyanjung dengan berita: “Pasukan si Turki kembali.” Berita pers Belanda sendiri yang kritis mengenai pembantaian di Sulawesi Selatan baru muncul untuk pertama kali bulan Juli 1947.
Kamp DST kemudian dipindahkan ke Kalibata, dan setelah itu, karena dianggap sudah terlalu sempit, selanjutnya dipindahkan ke Batujajar dekat Cimahi. Bulan Oktober 1947 dilakukan reorganisasi di tubuh DST dan komposisi Pasukan Khusus tersebut kemudian terdiri dari 2 perwira dari KNIL, 3 perwira dari KL (Koninklijke Leger), 24 bintara KNIL, 13 bintara KL, 245 serdadu KNIL dan 59 serdadu KL. Tanggal 5 Januari 1948, nama DST dirubah menjadi Korps Speciale Troepen – KST (Korps Pasukan Khusus) dan kemudian juga memiliki unit parasutis. Westerling kini memegang komando pasukan yang lebih besar dan lebih hebat dan pangkatnya naik menjadi Kapten.
Berapa ribu rakyat Sulawesi Selatan yang menjadi korban keganasan tentara Belanda hingga kini tidak jelas. Tahun 1947, delegasi Republik Indonesia menyampaikan kepada Dewan Keamanan PBB, korban pembantaian terhadap penduduk, yang dilakukan oleh Kapten Raymond “Turki” Westerling sejak bulan Desember 1946 di Sulawesi Selatan berkisar 20.000 – 40.000 jiwa.
Pada bulan Januari 1969 Prof. Joop Hueting, seorang veteran tentara Belanda yang ikut dalam agresi militer Belanda di Indonesia pertama kali memecah kebisuan di Belanda. Dalam suatu wawancara di televisi Belanda dia mengungkapkan berbagai kejahatan perang yang dilakukan oleh tentara Belanda di Indonesia. Partai oposisi di Parlemen Belanda mendesak pemerintah untuk melakukan penelitian mengenai kebenaran hal-hal yang disampaikan oleh Hueting.
Pemerintah Belanda membentuk tim antar departemen yang meneliti arsip arsip laporan resmi yang berhubungan dengan agresi militer Belanda di Indonesia antara tahun 1945 – 1950.
Dalam laporan resmi Pemerintah Belanda di De Excessennota, disebutkan bahwa sekitar 3.000 rakyat Sulawesi tewas dibantai oleh anak buah Westerling. Westerling sendiri menyatakan, bahwa korban akibat aksi yang dilakukan oleh pasukannya “hanya” 600 (!) orang. Perbuatan Westerling beserta pasukan khususnya dapat lolos dari tuntutan pelanggaran HAM karena sebenarnya aksi terornya yang dinamakan “contra-guerilla”, memperoleh “licence to kill” (lisensi untuk membunuh) dari Letnan Jenderal Spoor dan Wakil Gubernur Jenderal Dr. van Mook.
Setelah selesai perundingan di Linggajati bulan November 1946, di samping terus memperkuat angkatan perangnya di seluruh Indonesia terutama di Jawa dan Sumatera, untuk mengukuhkan kekuasaan mereka di wilayah Indonesia Timur, sebagai kelanjutan “Konferensi Malino” diselenggarakan pertemuan lanjutan di Pangkal Pinang tanggal 1 Oktober 1946 dan kemudian Belanda menggelar “Konferensi Besar” di Denpasar tanggal 18 – 24 Desember 1946.
Puputan Margarana, Bali
Pulau Bali ternyata belum sepenuhnya dikuasai oleh Belanda. Menjelang persiapan “Konferensi Besar” di Denpasar bulan Desember 1946, pasukan Ciungwanara di bawah pimpinan Kolonel I Gusti Ngurah Rai terus melakukan penyerangan terhadap pos pertahanan Belanda. Tanggal 19 November 1946, Pasukan Ciungwanara menyerang Tabanan. Belanda melakukan serangan balasan. Tanggal 20 November 1946 pukul 06.00, pasukan Belanda memulai penyerangan. Pasukan Ciungwanara terkepung di suatu dataran tinggi di Kelaci, dekat desa Marga. Belanda menyerang dari semua arah, serta menjatuhkan bom dari udara. Setelah melihat mereka terkepung dan teman-temannya tewas, Ngurah Rai menyerukan: “Puputan! Puputan!” seruan tersebut diikuti oleh anak buahnya, dan mereka bertempur sampai titik darah terakhir. Jam 17.00 pertempuran berakhir. Kolonel I Gusti Ngurah Rai gugur sebagai bunga bangsa, bersama 95 anak buahnya pada pertempuran tanggal 20 November 1946, yang kemudian terkenal dengan nama Perang Puputan Margarana. Ini adalah suatu bukti lagi kebohongan Belanda, yang menyatakan bahwa di daerah yang mereka kuasai, rakyat setempat mendukung mereka.
Pecahnya “Kebisuan Kolektif” di Belanda
Selama 20 tahun sampai tahun 1969, di Belanda seolah-olah ada “gerakan tutup mulut kolektif”, dan samasekali tidak pernah diberitakan mengenai kekejaman yang telah dilakukan oleh tentara Belanda selama agresi militer Belanda tersebut.
Kebisuan ini “dipecahkan” oleh Prof. Joop Hueting, Guru Besar Psikologi, yang mengritisi berbagai kecaman di Belanda atas pembantaian yang dilakukan oleh tentara Amerika di My Lai, Vietnam pada bulan April 1968, yang baru terungkap akhir 1968. Prof. Hueting, yang adalah mantan wajib militer yang ditugaskan untuk perang di Indonesia mengatakan, bahwa yang dilakukan oleh tentara Belanda di Indonesia antara tahun 1946 – 1949 lebih kejam daripada yang dilakukan oleh tentara Amerika tersebut. Pernyataan ini tentu sangat mengejutkan masyarakat di Belanda. Prof. Hueting diwawancarai oleh berbagai media, di mana dia juga mengungkapkan apa yang telah dilakukan olehnya dan pasukannya.
Pada bulan Januari 1969 parlemen Belanda mendesak pemerintah Belanda melakukan penelitian terhadap hal-hal yang telah disampaikan oleh Prof. Hueting. Pemerintah Belanda membentuk tim antar departemen, yang pada bulan Juni menyampaikan laporannya, yang diberi judul “De Excessennota, Nota betreffende het archievenonderzoek naar gegevens omtrent excessen in Indonesië begaan door Nederlandse militairen in de periode 1945-1950.” Di dalamnya terdapat laporan sekitar 140 “ekses” yang telah dilakukan oleh tentara Belanda. Namun pakar-pakar hukum di Belanda menyebut, bahwa yang dinamakan “ekses” oleh pemerintah Belanda, tak lain adalah Oorlogsmisdaden, kejahatan perang.
Dalam sambutannya di Jakarta pada 16 Agustus 2005 di Jakarta, Menlu Belanda Ben Bot mengakui, bahwa pengerahan militer secara besar-besaran telah menempatkan Belanda pada sisi sejarah yang salah, di mana jatuh korban di kedua belah pihak. Namun kalau dilakukan perbandingan jumlah yang tewas, akan terlihat, bahwa ucapan ini tidak sesuai dengan fakta di lapangan. Di pihak Belanda sekitar 6.000 orang tewas, semuanya tentara. Namun tidak semuanya mati dalam pertempuran, melainkan juga banyak yang mati karena sakit atau bunuh diri, seperti kabarnya yang dilakukan oleh Letjen Simon Spoor, Panglima Tertinggi Tentara Belanda di Indonesia, yang menembak kepalanya sendiri karena kecewa atas disetujuinya perundingan perdamaian antara Belanda dan Republik Indonesia.
Di Rawagede (sekarang bernama Balongsari) pada 9 Desember 1947 terjadi pembantaian atas 431 penduduk desa. Mereka juga tewas dibantai tanpa proses,. Demikian juga yang terjadi di Kranggan, dekat Temanggung, Jembatan Ratapan Ibu di Payakumbuh, dll. Juga terjadi tragedi kemanusiaan dalam peristiwa yang dikenal sebagai Gerbong Maut Bondowoso-Surabaya.
Korban di pihak Indonesia, menurut catatan Belanda, sekitar 150.000 orang. Sangat disayangkan, pihak Republik Indonesia sendiri tidak pernah melakukan penelitian, berapa sebenarnya jumlah korban jiwa di kalangan rakyat Indonesia, demikian juga kehancuran perumahan, bangunan dan perekonomian rakyat. Sebagian besar korban tewas adalah penduduk sipil, non combatant. Apabila membandingkan jumlah korban di beberapa daerah dengan angka resmi yang dilaporkan oleh pemerintah Belanda tahun 1969 di De Exessennota terlihat perbedaan yang cukup besar mengenai jumlah yang tewas. Sebagai contoh, peristiwa pembantaian di desa Rawagede. Dalam laporannya pemerintah Belanda menyebut jumlah penduduk yang dibunuh 20 orang, sedangkan menurut data setempat, jumlah penduduk yang dibantai tanpa proses pada 9 Desember 1947 sebanyak 431 orang. Demikian juga di daerah-daerah lain, jumlah korban ternyata jauh lebih banyak dibandingkan data dalam laporan pemerintah Belanda. Selain itu, sangat banyak peristiwa pembantaian yang tidak ada dalam laporan resmi pemerintah Belanda tersebut. Oleh karena itu jumlah korban tewas di seluruh Indonesia diperkirakan lebih dari 800.000 jiwa, dan mungkin dapat mencapai 1 juta jiwa.
Hubungan “Diplomatik” Republik Indonesia – Belanda Yang Janggal
Latar belakang lembaran hitam sejarah Belanda selama agresi militernya ini yang menempatkan pemerintah Belanda dalam posisi yang sangat dilematis, (memakai kata-kata dari Menlu Ben Bot, yang diucapkannya pada 16 Agustus 2005: “pengerahan kekuatan militer secara besar-besaran telah menempatkan Belanda pada sisi sejarah yang salah”), dan tidak dapat melakukan hubungan diplomatik yang “normal” dengan pemerintah Republik Indonesia.
Hal ini juga yang diungkapkan a.l. oleh Angelien Eijsink, anggota parlemen Belanda dari Fraksi Partai Buruh (Partij van de Arbeid – PvdA), yang membidangi masalah veteran Belanda di Tweede Kamer, sebagaimana diungkapkannya dalam pertemuan dengan pimpinan KUKB di parlemen Belanda pada 15 Desember 2005.
Senada dengan pernyataan Angelien Eijsink juga dikatakan oleh Ad van Liempt, jurnalis senior Belanda dari Media Tv Belanda Andere Tijden, dalam pertemuan dengan pimpinan KUKB di Hilversum pada 18 Desember 2005.
Kesulitan besar yang dihadapi pemerintah Belanda apabila mengakui de jure kemerdekaan Republik Indonesia 17 Agustus 1945 adalah, bahwa dengan demikian pemerintah Belanda mengakui, yang mereka namakan “aksi polisional I dan II” adalah agresi militer terhadap suatu Negara yang merdeka dan berdaulat. Akibatnya adalah, tentara Belanda menjadi penjahat perang. Hal inilah yang paling dikuatirkan oleh para veteran Belanda. Selain itu, pemerintah Indonesia dapat menuntut pampasan perang, seperti yang dilakukan oleh Negara-negara yang pernah diduduki oleh tentara Jepang selama Perang Pasifik. Pengakuan ini juga membuka peluang bagi Indonesia untuk menuntut pemerintah Belanda ke Mahkamah Kejahatan Internasional (International Criminal Court – ICC) yang berkedudukan di Den Haag, Belanda.
Di International Criminal Court, ada empat kejahatan yang tidak mengenal azas kadaluarsa, yaitu:
Genocide (Pembersihan/pembantaian etnis)
Crime against humanity (kejahatan atas kemanusiaan),
War crime (kejahatan perang) dan
Crime of aggression (kejahatan agresi).
Yang selama 60 tahun dikuatirkan oleh pemerintah Belanda kini telah terbukti. Pada 15 Desember 2005, pimpinan KUKB membawa masalah penolakan Belanda untuk mengakui de jure kemerdekaan RI 17.8.1945 dan peristiwa pembantaian di desa Rawagede pada 9 Desember 1947. (Mengenai perjuagan KNPMBI dan KUKB, lihat: http://batarahutagalung.blogspot.com/2011/11/rawagede-perjuangan-knpmbi-dan-kukb.html)
Seluruh Indonesia dapat melihat, mendengar dan membaca putusan pengadilan sipil di Den Haag pada 14 September 2011, yang menyatakan pemerintah Belanda harus bertanggungjawab atas pembantaian tersebut, dan memberi kompensasi kepada para janda dan satu korban selamat terakhir. Putusan pengadilan ini dapat menjadi juris prudensi untuk kasus-kasus serupa, yaitu peristiwa-peristiwa pembantaian yang dilakuakn oleh tentara Belanda di seluruh Indonesia, di masa agresi militer Belanda.
Pembantaian di Sulawesi Selatan dan Sulawesi Barat serta pertempuran Puputan Margarana, adalah dua peristiwa besar yang tercatat dalam buku sejarah, yang apabila ditinjau dari sudut Sebab-Akibat, maka dapat dikatakan, bahwa Australia dan jugaInggrisiktu bertanggungjawab bahwa peristiwa-peristiwa tersebut dapat terjadi.
Dalam seminar Internasional yang diselenggarakan di LEMHANNAS RI pada 27 Oktober 2000, Duta Besar Inggris, Richard Gozney, telah mengakui terus terang, bahwa memang politik Inggris pada waktu itu membantu Belanda untuk memperoleh kembali jajahannya. (Mengenai kegiatan menuntut pemerintah Inggris atas pemboman Surabaya… dan telah berhasil, lihat: http://10november1945.blogspot.com/2012/05/menuntut-pemerintah-inggris-atas.html
Pernyataan Dubes Inggris Richard Gozney pada 27.10.2000:
http://batarahutagalung.blogspot.com/2006/12/pernyataan-duta-besar-kerajaan-inggris.html)
Australia sampai detik ini masih bungkam mengenai peranan tentara Australia dalam upaya Belanda berkuasa kembali di Indonesia.Juga merasa tidak ikut bertanggungjawab atas ribuan korban yang tewas di pihak Indonesia.
Dan pemerintah Belanda…? Ketika Menlu Ben Bot di Jakarta pada 16.8.2005 hanya menyampaikan rasa penyesalan –bukan meminta maaf- atas jatuhnya banyak korban jiwa di Indonesia. Pernyataan penyesalan ini menuai kritik tajam di kalangan konservatif di Belanda, yang tetap bersikukuh bahwa “aksi polisional” mereka benar.
Referensi
Bank, Jan, (Editor), De Excessennota, Nota betreffende het archievenonderzoek naar gegevens omtrent excessen in Indonesië begaan door Nederlandse militairen in de periode 1945-1950, Sdu Uitgeverij Koninginnengracht, Den Haag, 1995.
Dr. H. Roeslan Abdulgani, Seratus Hari di Surabaya,Yang Menggemparkan Indonesia, Kisah singkat tentang Kejadian-kejadian di kota Surabaya antara tanggal 17 Agustus s/d akhir November 1945, PT Jayakara Agung Offset, Jakarta, Cetakan ke VI, 1995.
Profesor Benedict Anderson, Revolusi Pemoeda, Pendudukan Jepang dan Perlawanan di Jawa 1944 – 1946, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 1988.
Hutagalung, Batara R. 10 November 1945. mengapa Inggris Membom Surabaya? Millenium Publisher. Jakarta 2001.
Hutagalung, Batara R. Serangan Umum 1 Maret 1949. Dalam Kaleidoskop Sejarah Mempertahankan Kemerdekaan Indonesia. LKiS, Yogyakarta 2010.
Letnan Kolonel TNI (Purn.) dr. Wiliater Hutagalung, Anak Bangsa Dari Tiga Episode Perang Kemerdekaan, (Naskah).
Prof. Ahmad Subarjo Joyoadisuryo, SH., Kesadaran Nasional, Otobiografi, Gunung Agung, Jakarta, 1978.
Joyce C. Lebra, Tentara Gemblengan Jepang, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 1988.
Willy Meelhuijsen, Revolutie in Soerabaja, 17 Augustus – 1 December 1945, Walburg Pers, Zutphen, 2000.
Jenderal TNI DR. A.H. Nasution, Sejarah Perjuangan Nasional di Bidang Bersenjata, Mega Bookstore, Jakarta, 1966.
Dr. A. H. Nasution, Sekitar Perang Kemerdekaan Indonesia, Diplomasi atau bertempur, jilid 2. Penerbit Angkasa, Bandung, 1977
DR. A.H. Nasution, Sekitar Perang Kemerdekaan Indonesia, Periode KMB, jilid 11, Penerbit Angkasa, Bandung, 1979.
Laurens van der Post, The Admiral’s Baby, John Murray, London, 1996.
Anthony J.S.Reid, Revolusi Nasional Indonesia, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 1996.
Prof. Iwa Kusuma Sumantri, SH., Sejarah Revolusi Indonesia, jilid 1 – 3, Jakarta 1963.
Charles Wolf, Jr., The Indonesian Story. The Birth, Growth and Structure of the Indonesian Republic, The John Day Company, New York, 1948.
Yong Mun Cheong, H.J.van Mook and Indonesian Independence. A study of his role in Dutch – Indonesian Relations, 1945 – 1948, Marinus Nijhoff, Den Haag, 1982.
*******
Kumpulan tulisan saya dapat dibaca di weblogs:
http://batarahutagalung.blogspot.com,
http://10november1945.blogspot.com,
http://indonesiadutch.blogspot.com
[1] Nu’mang, Siti Hasanah, dalam: Seribu Wajah Wanita Pejuang Dalam Kancah Revolusi ’45, Grasindo, Jakarta 1995, hlm. 258 – 263.
[2] Salam, Hj. Oemi Hanni A., dalam: Seribu Wajah Wanita Pejuang Dalam Kancah Revolusi ’45, Grasindo, Jakarta 1995, hlm. 174 – 178. Penulis bertemu dengan beliau pada bulan Agustus 2005 di kediaman Sdr. Andi Tenri Gappa di Makassar. Ketika itu telah berusia 83 tahun dan kondisi kesehataannya sangat baik.