Pemilih Jangan Tertipu Dalam Pemilu 2014

Bagikan artikel ini

M. Mubdi K, peneliti muda di Lembaga Analisa Politik dan Demokrasi (LAPD), Jakarta

Pemilu legislatif 2014 baru akan dilaksanakan pada 9 April 2014, namun “libido politik” mereka yang ingin menjadi anggota legislatif pada 2014 sangatlah tinggi bahkan mengarah ke “maniak politik”. Mereka mempromosikan diri dan memantaskan dirinya untuk dipilih dan dipercaya kepada masyarakat. Dengan berbagai cara mereka saat ini “merayu” rakyat, namun yang penting rakyat atau pemilih jangan sampai tertipu, karena kita dalam Pemilu 2014 jangan bersikap seperti “memilih kucing dalam karung”, karena jika itu yang terjadi sikap anti golput kita akan percuma, karena tidak akan memberikan pengaruh pada perbaikan nasib generasi muda dan anak cucu kita ke depan, karena yang terpilih hanyalah mereka yang selama ini sudah duduk atau dipercaya rakyat, namun nyatanya dan sejatinya mereka tidak dapat dipercaya, bahkan sebenarnya kita sudah bosan dengan mereka yang sering diplesetkan dengan “4 L (Lo Lagi, Lo Lagi).

Sebenarnya, atensi masyarakat untuk memperhatikan permasalahan terkait dengan persiapan Pemilu Legislatif 2014 masih rendah, padahal disisi yang lain permasalahan Pemilu 2014 sangat banyak dan beragam, antara lain keberadaan lembaga-lembaga survey yang diakui atau tidak turut dalam mempromosikan ataupun mendegradasikan caleg, parpol ataupun capres, adanya lembaga  quick count yang sudah berani mengumumkan hasil Pemilu seolah-olah sudah sah atau resmi sebelum hasil resmi dikeluarkan oleh KPU, permasalahan DPT yang dihadapkan pada proses validasi dan verifikasi pemilih setelah  Pemilu dilakukan KPU/KPUD, dimana luas wilayah Indonesia yang sangat luas ini membutuhkan minimal 550.000 TPS. Pertanyaan besarnya adalah bagaimana kita menangani logistik Pemilu dan validasinya.

Rendahnya atensi atau partisipasi masyarakat untuk menjadi “watch dog” dalam persiapan, pelaksanaan dan penghitungan suara harus menjadi perhatian tersendiri, karena risiko yang dihadapi oleh bangsa ini jika atensi atau partisipasi masyarakat untuk memantau persiapan Pemilu 2014 rendah akan menyebabkan berbagai permasalahan saat pelaksanaan dan setelah pelaksanaan Pemilu 2014. Kondisi akan terkait erat dengan mutu anggota legislatif yang terpilih yang tidak jauh bedanya dengan anggota legislatif seperti sekarang ini yang diakui atau tidak kualitas dan kompetensinya setaraf “pengamat ataupun komentator” belum mampu melakukan tupoksinya sebagai legislator sejati.

Hal ini terjadi karena masyarakat atau publik terpana atau percaya dengan janji-janji manis caleg-caleg ini yang disuarakan oleh mulut caleg itu sendiri, padahal seseorang yang bermutu “tidak akan pernah mempromosikan kualitasnya melalui mulutnya sendiri, melainkan melalui mulut orang lain atau pengakuan dari orang lain”. Banyak caleg sejauh ini yang mempromosikan diri atau mengklaim diri layak dipercaya, walaupun sejatinya tidak layak dipercaya dan tidak layak dipilih. Pokoknya pemilih ketika di TPS nanti harus ingat apa yang dikemukakan C Wright Mills dalam The Power Elite bahwa pengaruh konglomerat, pemimpin politik dan pemimpin militer terhadap keputusan penting nasional.

Thomas Fergusson dalam Investment Theory of Party Competition (1995) menyatakan, dalam sistem politik yang digerakkan oleh uang (money driven political system), kebijakan-kebijakan politik tidak lebih merupakan perpanjangan kepentingan elit bisnis dan investor. Pelan tapi pasti, pusat kekuasaan bergeser kearah plutarchy (penguasaan negara oleh oligarki kaya). Oleh karena itu, jangan sampai salah pilih.

Etalase Capres

Yang lebih seru adalah ketika kita mencermati masalah Pemilihan Presiden (Pilpres) 2014, karena banyak strategi, tema, skema, manuver politik ataupun intrik politik terkait dengan Pilpres 2014 ini.

Hampir sama dengan Pemilu Legislatif, saat ini wacana politik di Indonesia sangat dibanjiri dengan pemberitaan dan pembicaraan baik di dunia nyata ataupun di dunia maya (sosial media) mengenai capres-capres. Sudah banyak parpol ataupun kelompok kepentingan yang mempertontonkan capres-capres yang menurut mereka layak dipilih. Figur-figur capres itu juga secara tidak malu mempromosikan diri melalui beragam manuver politik, menggalang semua kalangan, termasuk melakukan cipta opini khususnya melalui media massa (elektronik) untuk memperbaiki performancenya. Kondisi ini selaras dengan pendapat Michael Bauman (2007).

Michael Bauman dalam fenomena telepolitics, mengatakan bergesernya peran partai dan munculnya dominasi media, terutama TV dalam memersuasi pemilih. TV mampu menyelinap ke ruang domestik keluarga dan memerantarai hubungan yang lebih bersifat impersonal. Interaksi melalui TV lebih bersifat one way traffic communication, lebih praktis dan tidak merepotkan pemilih. Melalui apa yang disebut the illusion of presence, kamera berpretensi memermak wajah asli partai dan politisi. Menguatnya iklan-iklan politik juga dapat mendorong parpol untuk lebih mengedepankan “serangan udara” daripada kerja-kerja konkret di lapangan. Di AS, ada adagium lama “the camera never lies”, namun sekarang sudah sebaliknya.

Tidak hanya itu saja, ada kemungkinan capres juga melakukan propaganda untuk membohongi rakyat, seperti mereka layak dipercaya walaupun sejatinya tidak layak dipercaya. Politisi dengan libido politik yang maniak sangat mempercayai pendapat Jozef Goebbels, Menteri Propaganda pada masa Adolf Hitler pernah berkata “kebohongan yang diulang berkali-kali akan menjadi kebenaran dan dipercaya masyarakat”.

“Banyak jalan menuju Roma” saat ini diartikan sebagai “banyak jalan menjadi Presiden”. Hal ini tidak salah karena etalase politik yang dapat membawa seseorang menjadi capres banyak disediakan berbagai kelompok kepentingan ataupun parpol. Partai Demokrat menggunakan mekanisme konvensi nasional untuk menyaring capres idealnya, ada kelompok yang memperkenalnya Konvensi Rakyat Capres 2014 yang sudah menggelar acara di Surabaya dan akan dilanjutkan ke Medan, Samarinda, Makasar, Bandung dan Jakarta. Capres yang memanfaatkan jalur ini antara lain, Yusril Ihza Mahendra, Anni Iwasaki, Isran Noor, Ricky Sutanto, Rizal Ramli, Sofjan Siregar dan Tony Ardie.

PKS menjaring capres idealnya melalui kegiatan internalnya dan menurut pemberitaan media massa sudah terjaring sejumlah nama seperti Hidayat Nurwahid, Anis Matta, Ahmad Heryawan, Tifatul Sembiring dan Nur Mahmudi Ismail. Namun menurut Azizah Aziz, dosen Fisip Universitas Indonesia seperti dikutip dalam www.metrotvnews.com (7/1/2014)mengatakan, petinggi PKS diminta untuk tidak berpoligami dan suara PKS akan menurun pada Pemilu 2014, karena masalah yang menerpa mantan Presiden PKS.

Sedangkan tokoh lintas partai yang tergabung dalam Komunitas Lintas Etnis Nusantara mendeklarasikan dukungannya untuk bakal capres PKB yaitu Mahfud MD (www.kompas.com tanggal 29 Desember 2013), namun disisi yang lain PKB juga mempunyai capres dalam diri Rhoma Irama.

Sementara itu, figur Jokowi menurut hasil riset di sosial media yang dilakukan Prapancha Research periode 1 Januari s/d 27 Desember 2013, Jokowi adalah tokoh terpopuler pilihan publik, mengalahkan Prabowo Subianto, Megawati Soekarnoputri, Aburizal Bakrie alias ARB alias Ical, dan Wiranto.

Bahkan, karena Jokowi selalu menang dalam semua survei yang dilakukan berbagai lembaga survei, menggelitik Laboratorium Psikologi Politik UI untuk mengumumkan hasil surveinya. Menurut lembaga yang dipimpin Prof. Hamdi Muluk ini, ada beberapa nama baru yang berpotensi menjadi kandidat lawan tanding Jokowi  sebagai capres 2014 antara lain, Ahmad Heryawan, Ganjar Pranowo, Tri Rismaharini,  Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok, Djarot Saiful Hidayat (mantan Walikota Blitar),  La Tinro La Tunrung,  Herry Zudyanto (mantan Walikota Yogyakarta), Rustriningsih (mantan Wagub Jawa Tengah), Anies Baswedan, Emirsyah Satar dan lain-lain.

Bagi rakyat Indonesia, yang penting bagaimana pelaksanaan Pemilu 2014 berjalan dengan aman dan lancar dengan tingkat partisipasi politik yang tinggi. Soal capres, masyarakat Indonesia sudah semakin pintar memilih. Mereka tidak akan memilih pemimpin yang “rai gedek” atau tidak tahu malu. Mereka juga tidak akan memilih pemimpin yang otoriter, karena rakyat tahu pendapat Harold J Cross dalam “The People’s Rights to Know, Legal Access to Public Record and Procedings, New York, Colombia University Press, 1953” mengatakan, langkah pertama yang diciptakan oleh pemerintahan diktatorial adalah membungkam kebebasan informasi dan memberangus kebebasan pers.

Rakyat akan memilih Presiden seperti petuah yang dikemukakan Napoleon Bonaparte. Napoleon Bonaparte mengatakan, kalau komandannya berhati singa, maka singalah tentara itu ; dan kalau komandannya berhati kambing, maka kambinglah semua tentara mereka. Oleh karena itu, tidak ada prajurit yang salah, yang salah adalah komandannya”. Rakyat akan memilih Presiden yang dapat memulihkan citra bangsanya, sekaligus kesejahteraan rakyat tercintanya.

Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com