Pemilu 2014 Terkendala atau Lancar?

Bagikan artikel ini

Steffi V Farrah, peneliti muda di Lembaga Analisa Politik dan Demokrasi (LAPD), Jakarta

Pertanyaan mendasar dari masyarakat saat ini adalah apakah Pemilu 2014 dapat berjalan dengan aman dan lancar ataukah terkendala ? Pertanyaan mendasar ini ada benarnya, karena setidaknya sampai H-20 (saat artikel ini ditulis) perkembangan situasi dan kondisi menjelang Pemilu 2014 masih ditandai dengan sejumlah fakta yang “mengerikan” dan “mengejutkan”.

Fakta yang “mengejutkan” adalah diakui atau tidak permasalahan-permasalahan administratif terkait pelaksanaan pemilu 2014 disejumlah daerah masih mengalami kendala seperti masalah daftar pemilih tetap (DPT) yang masih dapat ditemukan di beberapa daerah antara lain di Kabupaten Palangkaraya Kalteng, ditemukan DPT dengan nomor induk kependudukan (NIK) invalid sebanyak 8.005 pemilih pasca dilakukan perbaikan, di Kabupaten Mamasa, Sulawesi Barat Panwaslu setempat mensinyalir ada penggelembungan jumlah DPT Pileg 2014 di Desa Timoro Kecamatan Tabulahan dari 285 menjadi 485 pemilih, sedangkan di Kabupaten Mamuju Utara, Sulawesi Barat, jumlah NIK invalid yang belum diperbaiki sebanyak 59 pemilih, di Kabupaten Parimo Sulawesi Tengah, diperkirakan jumlah DPT invalid mencapai 1.039 pemilih, karena belum terdaftar dalam perekaman program E-KTP. Di Kecamatan Kibin, Kabupaten Serang, Banten, masih ditemukan pemilih fiktif sebanyak 5.065 pemilih, sedangkan di Kabupaten Lamongan, Jawa Timur ditemukan NIK invalid sebanyak 1.176 pemilih.

Sebelumnya, permasalahan terkait DPT juga terjadi di beberapa provinsi seperti Sulawesi Tengah (Kabupaten Sigi), Kepri (Kota Batam).

Fakta “mengejutkan” berikutnya adalah kekurangan dan kerusakan logistik Pemilu hasil penyortiran juga masih ditemukan di beberapa daerah antara lain, di Kabupaten Jember, Jawa Timur kekurangan 59 ribu surat suara, di Kota Langsa Aceh ditemukan 880 surat suara rusak, di Kabupaten Dharmasraya, Sumatera Barat ditemukan 137 surat suara rusak karena terkena tinta, tergores atau sobek, di Kota Pariaman, Sumatera Barat ditemukan sebanyak 1.098 surat suara yang rusak, di Kabupaten Pangkep, Sulawesi Selatan, ditemukan 343 lembar surat suara yang rusak dari 1.269 surat suara yang sudah disortir. Kerusakan akibat robek atau kertasnya yang sudah buram.

Selanjutnya, di Kota Bontang ditemukan 144 surat suara rusak, 24  lembar surat suara untuk DPD RI juga rusak, 1.657 lembar surat suara untuk DPRD Provinsi juga rusak, 45 lembar surat suara DPRD juga rusak dan 498 lembar salah kirim. Kerusakan surat suara juga terjadi untuk pemilihan DPRD Kota Bontang Dapil 2 dan Dapil 3. Di Kupang, NTT sebanyak 43.058 surat suara rusak setelah diadakan penyortiran surat suara di 11 kabupaten/kota di provinsi tersebut, di Maluku Barat Daya sebanyak 25 surat suara ditemukan sudah rusak.

Sebelumnya, permasalahan kekurangan dan kerusakan logistik juga terjadi di beberapa provinsi seperti DKI Jakarta (Jakarta Barat), Jawa Barat (Purwakarta, Bogor, Depok, Cimahi, dan Garut), Banten (Serang), DI Yogyakarta (Sleman), NTT (Kupang), Kepri (Kabupaten Bintan), Kalimantan Timur (Kabupaten Kutai Barat, Kabupaten Kutai Kertanegara), Sulsel (Kabupaten Wajo), NTB (Kabupaten Lombok Barat), Sulawesi Tengah (Kabupaten Parigi Moutong), Sulawesi Utara (Kabupaten Minahasa), Kalimantan Tengah (Kabupaten Kotawaringin Barat), Kalimantan Utara (Kota Tarakan), Riau (Pekanbaru), Sumatera Barat (Kabupaten Payakumbuh dan Kabupaten Agam), Papua (Kabupaten Merauke dan Kabupaten Waropen), Papua Barat (Kabupaten Manokwari), Maluku Utara (Kabupaten Pulau Morotai), Lampung (Kabupaten Lampung Barat) dan Jawa Tengah (Kota Sragen).

Masih adanya fakta “mengejutkan” dari berbagai permasalahan terkait persiapan Pemilu 2014 diatas, menunjukkan bagaimana responsitas instansi pemerintahan di daerah dan stakeholder Pemilu di daerah sangat lamban, karena ternyata permasalahan DPT dan NIK invalid, kekurangan dan kerusakan surat suara dll selama ini ditangani secara lamban atau mungkin “jalan ditempat”.

Fakta Mengerikan

Setidaknya ada dua indikator dalam mengklasifikasikan adanya fakta “mengerikan” terkait pelaksanaan Pemilu 2014 yaitu ajakan golput yang suaranya masih juga intens dilakukan oleh kelompok post power syndrom, aktivis yang mulai “tidak dapat bagian dalam Pemilu 2014’ ataupun kelompok radikal serta teror politik yang semakin mengganas dan intens terjadi, khususnya di Aceh.

Sebagai contohnya saja adalah adanya ancaman boikot atau seruan untuk golput yang juga terdengar di daerah rawan konflik seperti Papua dan Aceh. Di Papua misalnya, konon masyarakat Kampung Dibera, Distrik Sururey, Kabupaten Pegunungan Arfak, mengancam tidak akan menggunakan hak suaranya pada Pemilu Legislatif 9 April 2014, sebagai bentuk protes atas bergabungnya Kampung Dibera dengan Kabupaten pemekaran Pegunungan Arfak yang sebelumnya masuk dalam Kabupaten Pemekaran Manokwari Selatan.

Masih di Papua, juga telah beredar seruan boikot Pemilu 2014 yang dikeluarkan Terianus Sato yang mengaku sebagai Kepala Staf Umum Komando Nasional TPN-OPM yang menyerukan kepada seluruh rakyat Papua untuk tidak memberikan hak suaranya dalam Pemilu 2014, meminta PBB untuk mengadakan pemilihan bebas yang demokratis di Papua untuk menentukan nasib rakyat Papua, rakyat Papua yang ikut memilih dalam Pemilu 2014 merupakan pengkhianat perjuangan bangsa Papua, dan meminta dunia internasional datang untuk melihat pelaksanaan Pemilu 2014 di Papua guna melihat militer Indonesia memaksa rakyat Papua memilih.
Sebelumnya di Kota Jayapura, beredar seruan boikot Pemilu 2014 dari salah seorang tokoh OPM yang tinggal di Inggris yang intinya, meminta Pemerintah Indonesia segera meninggalkan tanah Papua, meminta PBB untuk mengirim pasukan penjaga perdamaian untuk menggantikan militer Indonesia di Papua, meminta masyarakat internasional khususnya Amerika Serikat dan Belanda bertanggung jawab atas pelanggaran HAM di Papua, meminta PBB mengadakan referendum di Papua.

Sedangkan, di Aceh, konon Acheh Sumatera National Liberation Front-Aceh Merdeka atau ASNLF-AM wilayah Pasee telah mengeluarkan siaran pers mengimbau kepada rakyat Aceh agar tidak memberikan suara pada Pemilu Legislatif, karena pemilu dan partai politik dinilai merupakan alat pemecah kesatuan bangsa, dan Pemilu Indonesia di Aceh harus digagalkan. Untuk itu, jika rakyat Aceh ingin lepas dari penjajahan asing dan berdaulat di atas tanah indatu, maka boikot pemilu indonesia di Aceh, karena hanya dengan memboikot pemilu jalan menuju merdeka bisa tercapai.

Tidak hanya itu saja, fakta “mengerikan” lainnya di Aceh adalah merebaknya teror politik seperti penembakan terhadap caleg, pertikaian atau perkelahian antar massa partai politik lokal yang sebenarnya dulu “bersaudara”, pembakaran posko-posko caleg, pencabutan atribut kampanye parpol dan caleg, kerusuhan antar pendukung ormas vs pendukung parlok di Kabupaten Aceh Tengah pada 18 dan 19 Maret 2014 sampai kepada intimidasi terhadap para jurnalis juga marak terjadi akhir-akhir ini di Aceh, sehingga tidak mengherankan menimbulkan pertanyaan dan kekhawatiran di kalangan masyarakat Aceh yaitu serentetan teror politik yang terjadi apakah sebagai indikasi darurat militer hendak diterapkan kembali di Aceh ?

Kita berharap pelaksanaan Pemilu 2014 tetap dapat berjalan dengan lancar dan sukses, dan kita juga berharap mereka yang terpilih tidak lagi menipu terhadap rakyat, tidak korupsi dan bersedia berkorban untuk kepentingan rakyat dan kepentingan nasional, karena sejujurnya harus diakui kepercayaan rakyat terhadap caleg dan parpol sudah berada di titik nadir terendah, walaupun demikian kita semua harus tetap berusaha agar Pemilu kali ini berjalan aman, lancar dan sukses. Semoga.

Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com