Pemilu Masih Mengandung Kerawanan, Tapi Tetap akan Sukses

Bagikan artikel ini

Toni Ervianto, alumnus Fisipol Universitas Jember dan alumnus pasca sarjana Universitas Indonesia (UI)

Menjelang H-78 ketika artikel ini dibuat, sejumlah kerawanan masih mewarnai persiapan pelaksanaan rangkaian Pemilu 2014 di beberapa daerah. Beberapa permasalahan yang dapat berkembang menjadi kerawanan antara lain, masih adanya DPT bermasalah, pelanggaran pemasangan alat peraga kampanye, distribusi logistik Pemilu, pelaporan dana kampanye yang belum dilaporkan oleh semua parpol dan caleg di pusat maupun di daerah, belum lengkapnya kelengkapan anggota KPU di beberapa daerah dan netralitas PNS tersebut perlu segera dituntaskan, agar tidak mengganggu pelaksanaan Pemilu 2014.

Dalam teori tentang kerawanan (vulnerability), diketahui setidaknya ada tiga jenis kerawanan yaitu low intensity vulnerability, middle intensity vulnerability dan high intensity vulnerability. Menjelang Pemilu legislatif 9 April 2014, yang terjadi masih dalam taraf low intensity vulnerability dan middle intensity vulnerability yang sebenarnya perlu segera diatasi di tingkat praksis.

Low intensity vulnerability menjelang Pemilu 2014 antara lain, masih adanya DPT bermasalah, pelanggaran pemasangan alat peraga kampanye, distribusi logistik Pemilu, pelaporan dana kampanye yang belum dilaporkan oleh semua parpol dan caleg di pusat maupun di daerah, belum lengkapnya kelengkapan anggota KPU di beberapa daerah, belum terbentuknya relawan demokrasi (Relasi) di beberapa daerah, dan netralitas PNS.

Sedangkan middle intensity vulnerability, seperti contohnya gugatan judicial review Yusril Ihza Mahendra yang sebaiknya ditunda Mahkamah Konstitusi (MK) dan disertai kebijaksanaan Yusril dalam menyikapinya. Contoh lainnya dari middle intensity vulnerability antara lain, langkah sejumlah kelompok kepentingan yang terus intensif mengikuti dan mengawal bahkan mengkritisi kinerja penyelenggara Pemilu, serta adanya indikasi upaya kelompok kepentingan untuk menggagalkan Pemilu 2014.

Jauh hari sebelumnya, berdasarkan informasi yang beredar, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) sudah pernah melakukan studi terkait pelaksanaan Pemilu serentak. Namun hasil studi LIPI tersebut menurut LIPI menganjurkan agar hasil penelitiannya digunakan pada Pemilu 2019, dan bukan pada Pemilu 2014 saat ini karena dianggap berpotensi mengganggu jalannya Pemilu 2014.

Dikategorikan sebagai middle intensity vulnerability, disebabkan karena masih dalam taraf penawaran wacana, masih menggunakan mekanisme hukum yang berlaku, namun diperkirakan kurang mendapatkan dukungan yang masif dari masyarakat karena sejatinya masyarakat menginginkan Pemilu 2014 yang lancar, aman dan jurdil dengan tingkat golput yang semakin menurun. Disamping itu, gerakan-gerakan untuk menggagalkan Pemilu 2014 juga masih bersifat utopia.

Sementara itu, high intensity vulnerability yang dapat mengancam pelaksanaan Pemilu 2014 seperti ancaman teror, ancaman kelompok separatis ataupun gerakan-gerakan radikal masih belum menunjukkan intensitas dan intention (niat) mereka untuk melakukan perlawanan atau setidaknya mengganggu pelaksanaan Pemilu 2014, walaupun Kapolri Jenderal Pol Sutarman sudah mewanti-wanti kemungkinan terjadinya sabotase politik dalam Pemilu 2014.

Penulis menilai kemungkinan high intensity vulnerability masih cukup berpotensi untuk terjadi terutama dari ancaman teror, terutama dari kelompok teror atau sel-sel teror seperti “lone wolf”. Lone wolf alias srigala tunggal merupakan istilah dalam kajian terorisme untuk menyebut pelaku teror tunggal yang tidak terikat dengan sebuah kelompok. Peter Bergen (pemerhati keamanan AS) mencatat otoritas AS telah mendakwa 380 orang terkait dengan teror bom sejak 1 September 2001. Dari jumlah tersebut, 48 orang merupakan ekstrimis sayap kanan AS dan 23 orang pendukung Al Qaeda. Pelaku bom Boston Marathon mempelajari cara pembuatan bom dari panci presto melalui artikel di majalah Inspire edisi Juni 2010. Intelijen AS menyatakan, majalah Inspire berkaitan dengan orang nomor dua Al Qaeda, Ayman al Zawahiri. Lone wolf kemungkinan dapat mengganggu Pemilu 2014, apalagi saat ini banyak beredar buku bacaan, informasi melalui sosial media ataupun VCD-VCD yang bernuansa provokatif.

Ancaman lainnya adalah gerakan-gerakan radikal yang diejawantahkan melalui kasus-kasus sengketa lahan yang terjadi di beberapa daerah ataupun aksi unjuk rasa yang “sopan” namun mengganggu kepentingan orang banyak. Baik gerakan radikal kiri ataupun radikal kanan, sekarang ini sama-sama menggunakan taktik “sel phantom”.

Menurut Ulius Louis Amoss (1960) sebagai intelijen AS menghadapi ancaman komunisme di negaranya menemukan struktur sel phantom yaitu sistem organisasi berbasis sel, tapi tidak mempunyai jalur kontrol atau perintah yang terpusat. Struktur sel phantom terus bermutasi dalam jaringan terorisme terjadi karena faktor eksternal dan internal. Faktor internal karena sifat gerakan ini adalah klandestin dan tandzim sirri (organisasi rahasia). Rasa curiga antar anggota dan ketakutan adanya penyusupan menjadi dinamika tidak terpisahkan dari gerakan terorisme.

Perkembangan gerakan radikal di Indonesia, sama-sama mengalami disorientasi ideologi dan dismilitansi anggotanya, terutama radikal kiri. Saat ini, tidak ada satupun kelompok di Indonesia yang dapat mengklaim sebagai “organisasi kiri” karena faktanya mereka hidup secara borjuis dan banyak memiliki ATM, sebuah model hidup yang tidak sesuai dengan ajaran kiri, sedangkan di radikal kanan juga mengalami disorientasi kepemimpinan, sehingga wajar jika kemudian muncul sel-sel phantom ataupun lone wolf dalam gerakan radikal kanan di negara manapun juga. Oleh karena itu, walaupun ada kerawanan dari ancaman radikal kanan dan radikal kiri, penulis tetap yakin mayoritas masyarakat Indonesia akan menggunakan hak pilihnya dalam Pemilu 2014 mendatang dalam rangka mengubah nasib hidup rakyat ini untuk semakin sejahtera ke depan.

Demokrasi Pancasila

Disamping itu, mayoritas masyarakat Indonesia juga masih percaya ideologi Pancasila adalah ideologi paling tepat bagi bangsa ini, bahkan negara-negara Timur Tengah yang sering mengalami konflik sektarian sering berkunjung ke Indonesia untuk mempertanyakan apakah demokrasi Pancasila dapat diterapkan untuk menyelesaikan konflik di negaranya, dan karena intisari demokrasi Pancasila adalah menghormati hak dan kewajiban serta saling tenggang rasa dan mengutamakan musyawarah bukan konflik dalam menyelesaikan masalah, maka demokrasi model ini dapat diterapkan di negara manapun, sepanjang warga bangsanya masih waras atau tidak gila.

Oleh karena itu, penulis sangat yakin dengan semangat demokrasi Pancasila dan mengedepankan pencapaian tujuan dan kepentingan nasional ke depan, maka apapun kerawanan, ancaman, hambatan, gangguan ataupun tantangan dalam pelaksanaan Pemilu 2014 akan dapat diatasi dan harus dapat diatasi, sehingga Pemilu akan berjalan dengan sukses. “Rawe-rawe rantas, malang-malang putung” arti kasarnya adalah siapapun yang mencoba menggagalkan Pemilu 2014 harus menjadi musuh bersama.

Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com