Terkait isu perlombaan senjata nuklir ini, saya teringat dengan apa yang terjadi pada dekade 70-an. Saat itu, ada suatu operasi khusus intelijen Mossad yang punya misi mengganti bahan reaktor nuklir Mesir menjadi bahan yang tidak berbahaya (Caramel), yang tidak punya potensi menghancurkan layaknya tenaga nuklir sebagai senjata.
Beralih ke realitas Perang Dingin lainnya, saat dualisme antara Uni Soviet dan AS. Kedua negara itu paham betul bagaimana manfaat nuklir sebagai penunjang kekuatan pertahanan berupa senjata, juga sebagai penunjang ekonomi. Misal AS, tenaga nuklir dijadikan komoditas bisnis, sehingga tak heran anggaran begitu besar digelontorkan demi pengembangan dan penelitian tenaga nuklir. Dalam kaitannya dengan perang dingin, jika senjata nuklir USA bersifat kualitatif; yaitu menghancurkan sasaran-sasaran vital di Rusia, sementara senjata nuklir ‘USSR’ bersifat kuantitatif; yaitu menghancurkan lebih banyak korban penduduk USA.
Lalu ada Korea Utara dan Tiongkok. Kedua negara Asia itu juga konsen dengan pembangunan kekuatan senjata nuklir. Terlebih Korut, yang punya departemen dalam mengatur industri pertahanan sejak medio 90-an.
Lalu bagaimana dengan Indoenesia? Kita harus akui, kita masih gamang dalam mengembangkan tenaga nuklir. Industri pertahanan kita belum subsistem untuk pengembangan tenaga tersebut. Saya kira, kita harus mulai berbenah sedini mungkin, dengan memulai memperhatikan industri pertahanan demi memenuhi kepentingan nasional sekaligus jadi kekuatan diplomasi pertahanan kita.
Rudiwan, Ketua Umum Aksi Bela Negara (ABN RI)