Peran Inggris dan Australia Bantu Belanda Berkuasa Kembali di Indonesia Harus Masuk Lembaran Sejarah

Bagikan artikel ini

Batara R. Hutagalung, Ketua Umum Komite Utang Kehormatan Belanda (KUKB)

Selama lebih dari 50 tahun -tepatnya sampai 10 November 1999, yaitu ketika Komite Pembela Hak Asasi Rakyat Surabaya Korban Pemboman November 1945 (KPHARS) menuntut pemerintah Inggris atas pemboman Surabaya November 1945- tidak ada satupun, baik perorangan maupun lembaga di Republik Indonesia yang mempertanyakan, apalagi mempermasalahkan berbagai kejahatan perang, kejahatan atas kemanusiaan dan peristiwa-peristiwa pembantaian terhadap penduduk sipil yang terjadi di wilayah pendudukan Jepang antara tahun 1942 – 1945, dan yang terjadi di wilayah Republik Indonesia antara tahun 1945 – 1950, yaitu ketika Belanda melancarkan agresi militer.

Tidak ada yang pernah meneliti, mengapa peristiwa-peristiwa tersebut dapat terjadi. Apa penyebab yang sebenarnya? Mengapa ketika Belanda menyerahkan kedaulatan kepada pemerintah Republik Indonesia Serikat (RIS), justru Republik Indonesia Serikat (kenudian setelah RIS dibubarkan, cicilan pembayaran terus dilakukan oleh pemerintah Republik Indonesia) yang harus membayar kepada pemerintah Belanda sebesar 4 ½ milyar gulden (waktu itu setara dengan 1,1 milyar US $)? Di dalamnya termasuk biaya untuk dua agresi militer yang dilancarkan oleh Belanda terhadap Republik Indonesia.

Juga tidak ada yang mempertanyakan status tentara sekutu –dalam hal ini adalah tentara Inggris dan tentara Australia- yang datang ke Republik Indonesia, usai Perang Dunia II dan setelah bangsa Indonesia menyatakan kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945. Sebenarnya tugas pokok yang diberikan oleh pimpinan Allied Forces kepada pasukan yang dikirim ke bekas-bekas wilayah pendudukan Jepang, termasuk Indonesia, adalah:

Melucuti tentara Jepang serta mengatur pemulangan mereka kembali ke negaranya,
Membebaskan para tawanan serta interniran Sekutu yang ditahan oleh Jepang di Asia Tenggara serta
Menciptakan keamanan dan ketertiban.
Namun ternyata ada agenda rahasia yang dilakukan oleh tentara sekutu, yaitu membantu Belanda dengan kekuatan militer, untuk memperoleh kembali jajahannya yang telah diserahkan kepada Jepang, ketika tentara Belanda menyerah kepada Jepang tahun 1942.

Hal ini diakui secara terus terang oleh Duta Besar Kerajaan Inggris, Richard Gozney, dalam seminar internasional yang diselenggarakan di LEMHANNAS RI pada 27 Oktober 2000, tang berjudul “The Battle of Surabaya November 1945. Back Ground and Consequences.”

Bangsa Indonesia telah menyatakan kemerdekaannya pada 17 Agustus 1945, namun Belanda tidak mau mengakui kemerdekaan Republik Indonesia. Dalam upaya Belanda untuk kembali berkuasa di Bumi Nusantara –dibantu tiga divisi tentara Inggris dan dua divisi tentara Australia- tentara Belanda, Inggris dan Australia banyak melakukan kejahatan perang, kejahatan atas kemanusiaan, perkosaan terhadap perempuan Indonesia, pembantaian massal dan berbagai pelanggaran HAM berat lainnya.

Mengenai peran tentara Inggris membantu Belanda, hanya sedikit yang dapat dibaca di buku-buku sejarah di Indonesia, seperti pemboman Inggris atas Surabaya pada November 1945. Sedangkan mengenai peran tentara Australia dalam membantu Belanda menguasai seluruh wilayah Indonesia Timur, tidak ada samasekali dalam buku-buku sejarah di Indonesia.

Bahkan banyak yang tidak mengetahui, bahwa pemerintah Belanda –sampai detik ini, 2013- tetap tidak mau mengakui de jure proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia 17 Agustus 1945. Untuk pemerintah Belanda, de jure kemerdekaan Republik Indonesia adalah 27 Desember 1949, yaitu ketika penyerahan kewenangan (sovereniteitsoverdracht) dari pemerintah Belanda kepada pemerintah Republik Indonesia Serikat (RIS), yang dipandang sebagai “hadiah” dari Belanda.

Mereka yang mengetahui bahwa pemerintah Belanda tidak mau mengakui de jure kemerdekaan Republik Indonesia adalah 17 Agustus 1945 –terutama Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia- membiarkan pemerintah Belanda dengan sikapnya ini, dan mencari-cari pembenaran untuk pembiaran ini.

Saat ini Indonesia sedang dilanda oleh pragmatisme dan neo-liberalisme yang hanya mementingkan keuntungan materi dan mengorbankan martabat bangsa. Beberapa waktu yang lalu, dunia dipertontonkan dalam suatu pertandingan sepakbola, antara tim nasional Indonesia melawan tim nasional Belanda, bagaimana bangsa Indonesia telah kehilangan martabatnya, demi uang.

Mereka yang tidak megetahui permasalahan antara Indonesia dan Belanda berkomentar, bahwa itu hanyalah sekadar kostum tim sepakbola, namun apabila diteliti lebih dalam, itu bukan hanya sekadar masalah kostum, melainkan masalah martabat bangsa, karena Belanda sampai detik ini Belanda tetap tidak mau mengakui secara yuridis kemerdekaan Republik Indonesia, yang bendera nasionalnya adalah Merah-Putih, seperti warna kostum tim nasional. Bahkan di lapangan sepakbola pun Belanda tidak mau melihat Merah-Putih!

Kelihatannya para pemimpin bangsa dan peyelenggara Negara ini selain tidak lagi mempedulikan martabat bangsa, juga sudah tidak peduli lagi akan nasib rakyatnya yang menjadi korban tindak kekerasan di masa pendudukan tentara Jepang, dan menjadi korban kejahatan perang dan pembantaian yang dilakukan oleh tentara Belanda selama agresi militer Belanda antara tahun 1945 – 1950. Diperkirakan, korban di kalangan rakyat Indonesia pada waktu itu mencapai satu juta jiwa.

Sejak tahun 1999 segelintir anak bangsa yang masih peduli terhadap martabat bangsa, membuka lembaran sejarah untuk menuntut Negara-negara yang telah melakukan agresi militer terhadap Republik Indonesia yang merdeka dan berdaulat, serta memperjuangkan keadilan utuk seluruh korban agresi militer di Republik Indonesia antara tahun 1945 – 1950.

 

Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com