Peran Politik Perempuan dalam Gerakan Kebangkitan Islam (Membandingkan Indonesia dan Iran)

Bagikan artikel ini

 Dina Y. Sulaeman, M.Si

Hari ini, kita, semua orang beragama, tentulah risau menyaksikan bagaimana dunia dipenuhi oleh imoralitas dan ketidakadilan. Dalam kehidupan sosial, kita melihat bagaimana pornografi, seks bebas, dan maraknya narkoba telah menjadi perpanjangan tangan-tangan setan untuk menghancurkan umat manusia. Dalam kehidupan ekonomi, sistem riba mendominasi perekonomian dunia, termasuk  dunia Islam. Lembaga-lembaga ekonomi dunia seperti IMF, Bank Dunia, atau Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) mendikte laju pertumbuhan ekonomi di dunia Islam. Akibatnya, dunia Islam tenggelam dalam krisis ekonomi dan keuangan. Yang kaya  semakin kaya, yang miskin makin miskin. Bahkan nyawa mereka  tidak dihargai lagi. Perang berkobar di berbagai belahan dunia, sebagian besar korbannya adalah kaum Muslim. Kehidupan umat manusia sekarang berada di bawah kaki para industrialis perang, pedagang senjata, dan perusahaan minyak global.

Selama 150 tahun terakhir, para pemikir Muslim menyatakan bahwa untuk keluar dari situasi ini, umat Islam harus kembali ke identitas Islam. Mereka terus berusaha membangkitkan kesadaran umat agar mampu menghadapi tantangan ini. Gerakan kebangkitan Islam didefinisikan sebagai sebuah gerakan untuk menolak segala macam penindasan ekonomi, politik, budaya, dan militer yang dilakukan oleh musuh- musuh Islam.[1] Tujuan yang hendak dicapai melalui gerakan kebangkitan Islam adalah kembalinya martabat umat Islam dan kebebasan dari hegemoni politik, budaya, dan militer dari musuh. Tujuan ini hanya dapat dicapai jika dunia Muslim bergandengan  tangan dan berjalan bersama dalam harmoni.[2]

Mengingat setengah dari umat muslim dan sumber daya manusia  adalah kaum perempuan, maka peran perempuan dalam gerakan kebangkitan Islam sangat dibutuhkan. Dalam paper ini,  penulis akan menjelaskan pentingnya peran politik perempuan  dalam konteks gerakan ini.

Perempuan dalam Politik: Membandingkan Indonesia dan Iran

Politik dapat didefinisikan sebagai upaya untuk resolusi konflik.[3]  Kehidupan manusia tidak pernah lepas dari konflik, karena setiap individu selalu memiliki keinginan dan tujuan masing-masing, yang sangat mungkin saling bertentangan dan berinterferensi. Pihak yang lebih kuat akan mampu mencapai keinginannya, sedangkan pihak yang lebih lemah akan cenderung dipinggirkan. Di sinilah politik memainkan peran, yaitu dengan melakukan negosiasi,  kompromi, dan arbitrase dengan harapan dapat menyelesaikan konflik tanpa kekerasan.[4]

Umumnya, setiap individu dalam masyarakat memiliki hasrat untuk meraih keadilan atau kesetaraan. Dalam bidang pendidikan, misalnya, setiap orang memiliki keinginan untuk mendapatkan kesempatan  pendidikan yang sama. Namun, terkadang dalam masyarakat  tertentu, pendidikan tidak dapat dinikmati oleh semua orang. Dalam situasi ini, politik memainkan peran dalam menegosiasikan keinginan masing-masing pihak. Hal ini sebagaimana pernyataan Minogue, “Politik adalah perdebatan publik yang tak ada ujungnya tentang apa yang dibutuhkan untuk menegakkan keadilan.”[5]

Dari perspektif ini, keterlibatan perempuan di parlemen dianggap  sangat penting. Di parlemen, undang-undang disusun, diubah, atau dibatalkan karena tuntutan masyarakat atas kesetaraan. Jadi,  adalah keniscayaan bagi perempuan untuk terlibat dalam pelbagai negosiasi politik dan undang-undang. Tanpa upaya perempuan untuk mengakses dan terlibat dalam negosiasi politik, keprihatinan mereka akan berlalu begitu saja, tidak terwakili, atau  disalahpahami. Inilah yang disebut dengan ‘politik konstitusional’,  politik yang berkaitan dengan penciptaan, pelaksanaan, dan  pemeliharaan kerangka kerja pemerintahan.[7]

Ada banyak cara untuk meningkatkan jumlah keterwakilan  perempuan di parlemen. Sejak 1990-an, banyak negara  memperkenalkan kuota gender di parlemen. Sejak pemilu 2004, Indonesia mengalokasikan 30% kursi parlemen bagi perempuan duduk kursi parlemen. Saat ini sekitar 40 negara telah  memperkenalkan kuota gender untuk pemilu legislatif.[8]

Sayangnya, kenyataan menunjukkan bahwa di Indonesia, sistem  kuota gender dan peningkatan jumlah kursi perempuan di parlemen tidak berkorelasi dengan peningkatan kondisi perempuan pada  umumnya. Jika kita melihat pada Human Development Report yang diterbitkan oleh United Nations Development Programme (UNDP), seperti Indeks Pembangunan Manusia (HDI) atau Indeks Ketimpangan Gender (GII), kita dapat melihat situasi ini pada  umumnya.[9]

Penulis ingin membandingkan HDI dan GII antara Indonesia dan  Iran, karena kedua negara memiliki karakteristik yang sama sebagai negara mayoritas Muslim. Indonesia adalah negara muslim  terbesar di dunia, tetapi masih mengadopsi sistem pemerintahan sekuler. Sementara itu, mayoritas Muslim Iran sejak tahun 1979  telah menyetujui konstitusi teokratis.

Tabel of Statistic Comparison Indonesia-Iran [10]

Dari data singkat ini, setidaknya kita bisa menyimpulkan bahwa  tingginya persentase kursi perempuan di parlemen tidak selalu berhubungan dengan perbaikan kondisi perempuan dan  masyarakat. Ada satu hal penting untuk dipertimbangkan lebih dari  jumlah kursi, yaitu kualitas perempuan yang duduk di parlemen.

Sayangnya, akhir-akhir ini, politik di Indonesia dikejutkan oleh  kasus-kasus korupsi yang melibatkan politisi perempuan. Sebagian dari mereka sekarang berada di penjara dan kasus mereka menjadi  berita utama di media massa Indonesia. Menanggapi situasi ini, Direktur Eksekutif Pusat Studi Politik Universitas Indonesia, Sri  Budi Eko Wardhani, menganggap bahwa politisi perempuan di Indonesia belum memiliki kemampuan yang cukup dalam politik.[11]  Kenyataan menunjukkan bahwa banyak politisi perempuan di Indonesia adalah artis-artis film, penyanyi atau kelopmpk elit tanpa  latar belakang pendidikan politik.

Menurut undang-undang pemilu di Indonesia, kualitas utama yang  harus dimiliki oleh politisi adalah “orang-orang yang bertaqwa kepada Allah dan taat hukum”. Kualifikasi ini sangat relevan dengan cita-cita dari gerakan Kebangkitan Islam. Pengabdian akan menjadikan para politisi dapat melayani rakyatnya karena kesadaran pengabdian kepada Tuhan. Tapi sayangnya, situasi  politik di Indonesia masih berorientasi partai, alih-alih berorientasi pada Tuhan atau minimalnya negara. Dalam pelbagai negosiasi di parlemen, kepentingan partai dimunculkan, bukan kepentingan bangsa, apalagi kepentingan Islam. Dalam kondisi seperti ini, dengan  kualitas pengabdiannya yang rendah, tidak heran bahwa para  politisi perempuan di Indonesia masih menjadi “sekrup” dalam  sistem politik yang besar.

Oleh karena itulah, politisi perempuan muslim sangat perlu memiliki ideologi  ketuhanan, karena jika tidak, mereka akan terlibat dalam politik rasional. Seperti ditulis oleh Kheradmandi [12], ada tiga jenis politik. Pertama  adalah politik alamiah, yang terutama berfokus pada bagaimana menyelesaikan konflik dalam masyarakat, dan dua lainnya adalah  politik rasional dan politik ketuhanan. Politik yang rasional mendasarkan diri pada logika dan pragmatisme, sementara politik ketuhanan mengandalkan logika dan aturan-aturan Ilahi (syariat). Dalam politik ketuhanan, politisi menyusun, mengubah, atau membatalkan undang-undang di bawah aturan-aturan syariat dengan tujuan untuk membawa masyarakat lebih dekat kepada Allah dan mencegah mereka dari kejahatan.

Politik ketuhanan inilah yang dilaksanakan di Iran. Ketika kita  membaca data HDI dan GII di atas, perlu cermati bahwa  indikator yang digunakan didasarkan pada paradigma Barat yang mengukur  kemajuan perempuan antara lain dari partisipasi mereka di lapangan pekerjaan. Padahal, dalam paradigma Islam, seperti yang dianut oleh Republik Islam Iran, indikator keberhasilan perempuan adalah keberhasilannya dalam membangun keluarga yang sehat. Dalam paradigma yang diadopsi di Iran, perempuan dipersilahkan untuk mengaktualisasikan kemampuannya di luar rumah selama dia dapat menjaga tugas utamanya sebagai pembangun unit terkecil  (dan paling penting) dalam masyarakat, yaitu keluarga.

Dengan merangkul paradigma ini, kebijakan pemerintah Iran tidak  menciptakan lapangan kerja di kantor sebanyak mungkin sehingga perempuan dan anak perempuan pergi dari keluarga mereka, tetapi  memberdayakan perempuan untuk membangun industri rumah tangga. [13]

Politik Ketuhanan di Iran dan Peran Perempuan

Pada tahun 1979, Revolusi Islam yang dipimpin oleh Imam Khomeini berhasil menggulingkan rezim monarkhi Shah Reza Pahlevi dan membangun sebuah Republik Islam. Kedua pemimpin Iran, Ayatollah Khomeini dan pemimpin saat ini, Ayatullah Khamenei, punya pendapat yang sama bahwa perempuan adalah setengah  dari populasi dan karena itu, tidak ada revolusi atau gerakan sosial  apapun yang akan berhasil tanpa partisipasi perempuan. Dan  kedua pemimpin itu berpegang pada satu pendapat yang  merupakan kunci dari keberhasilan Revolusi tersebut, yaitu semangat Islam.

Seperti dikatakan Ayatollah Khomeini pada tahun 1979,

“Ini adalah sebuah transformasi yang di luar kemampuan manusia, ini adalah sebuah transformasi Ilahi. Dia-lah Sang Pembolak-balik Hati yang melakukan ini. Dia menghilangkan ketakutan rakyat terhadap rezim ini [Shah  Pahlevi], dan menumbuhkan dalam hati mereka tekad kuat dan keberanian. Karena itulah, perempuan, anak-anak, serta kaum laki-laki, semuanya bangkit untuk melawan. Apakah pernah ditemui sebelumnya situasi seperti ini, kaum perempuan bergegas ke medan seperti ini, berdiri teguh di hadapan (gempuran) tank dan meriam? “ [14]

Ketika politisi perempuan memiliki ideologi yang jelas dan tahu apa  yang harus diperjuangkan, peran politik mereka bisa membawa hasil yang signifikan. Shahidian menyebutnya sebagai harga diri  tinggi akan memberdayakan perempuan dan membebaskan  mereka dari pelbagai hambatan seperti ketakutan, kerapuhan, atau egoisme.[15]  Ketika kaum perempuan mampu  mengidentifikasi peran mereka dalam masyarakat, mereka akan memiliki kekuatan untuk  memperluas aktivitas dan tanggung jawab mereka. Mereka tidak hanya berpikir tentang rumah tangga mereka, tetapi jauh di luar itu.  Meminjam bahasa Rommelspacher, mereka akan “melepaskan diri dari batasan keluarga dan juga dari eksistensi diri” (ibid).

Ini adalah faktor yang mendorong perempuan Iran untuk turun ke  jalan melawan Shah. Mereka mengintegrasikan prinsip-prinsip Islam, seruan kebebasan Islam, dan semangat ‘jihad’ (melayani  Islam). Dengan keberanian yang luar biasa, mereka berunjuk rasa  di jalan-jalan untuk memprotes Syah. Itu sebabnya Ayatollah Khomeini mengatakan,

“Revolusi kita berhutang banyak pada kaum perempuan. Laki-laki mencontoh perempuan untuk turun ke jalan. Perempuan mendorong kaum laki-laki untuk bergabung dalam perjuangan, dan  terkadang bahkan memimpin perjuangan itu. Perempuan adalah makhluk yang indah. Dia memiliki kemampuan yang kuat [dan]menakjubkan. “[16]

Sistem politik Islam mendorong keterlibatan aktif perempuan dalam  berbagai sektor. Ayatollah Khamenei pernah mengatakan,

“Dalam masyarakat Islam, laki-laki dan perempuan menikmati  kebebasan yang cukup. Teks-teks [syariat]Islam yang ada terkait hal ini dan tugas-tugas sosial yang selama ini telah diberikan Islam kepada laki- laki dan perempuan secara setara, merupakan bukti dari pernyataan ini. Nabi Muhammad (saw) bersabda, “Orang yang menghabiskan malam tanpa peduli urusan umat Islam bukanlah seorang Muslim.” Apa yang Nabi Muhammad saw) katakan ini tidak terbatas pada laki-laki saja. Wanita juga harus merasa bertanggung jawab terhadap urusan umat Islam, masyarakat Islam, dunia Islam, dan segala sesuatu yang terjadi di dunia. Ini adalah kewajiban Islam. “

Dalam pandangan Islam, perempuan dan laki-laki memiliki  kesetaraan, tetapi tidak kesamaan dan keseragaman. Oleh karena  itu, Islam menentang pandangan Barat tentang feminisme, yang menyamakan identitas jenis kelamin. Muthahari menyatakan, “Islam mengakui kesetaraan hak antara laki-laki dan perempuan, tetapi Islam tidak setuju pada kesamaan hak antara keduanya. Pada saat yang sama, Islam pun tidak memberikan kesamaan tanggung jawab dan sanksi pada laki-laki dan perempuan.” [17]

Dengan premis inilah Republik Islam Iran mendefinisikan dan mengatur peran laki-laki dan perempuan dalam masyarakat. Keterlibatan perempuan dalam politik bukan semata-mata dalam politik konstitusional saja, tetapi dalam kerangka holistik. Perjuangan perempuan dalam Islam bukan untuk mencapai  kesetaraan gender, tapi keadilan gender. Imam Ali menyatakan bahwa keadilan adalah menempatkan sesuatu pada posisi yang  tepat. Lalu, di mana posisi yang benar bagi perempuan?

Dalam pandangan para pemimpin Iran, ada dua hal penting terkait  posisi perempuan. Satu, posisi perempuan dalam kehidupan dan masyarakat. Kedua, posisi perempuan dalam keluarga mereka. [18]

a. Posisi Perempuan dalam Kehidupan dan Masyarakat

Tentang posisi perempuan dalam masyarakat, Ayatullah Khamenei mengkritik masyarakat Barat yang menempatkan perempuan dalam posisi sebagai makhluk yang dapat boleh dieksploitasi oleh laki- laki. Dalam budaya Barat, jika seorang wanita ingin mendapatkan posisi yang baik di masyarakat, dia harus menunjukkan daya tarik seksualnya. Dia harus datang dengan pakaian yang menarik perhatian mata publik. “Menurut pendapat saya, ini adalah  kerugian terbesar yang terjadi atas seorang wanita. Dalam lingkungan seperti ini, perempuan adalah pihak yang dieksploitasi,” kata  Ayatollah Khamenei.[19]

Ayatollah Khamenei mengecam Barat yang melarang penggunaan jilbab atas nama ‘pluralisme’. Menurutnya, jilbab bukanlah simbol agama belaka, melainkan sebuah ideologi yang menempatkan  perempuan sebagai makhluk mulia. Dengan jilbab, perempuan akan diakui sebagai dirinya sendiri, bukan sebagai makhluk yang bisa dimanfaatkan untuk kepentingan laki-laki. Ideologi anti-jilbab adalah sebuah ideologi yang ingin mengeksploitasi perempuan. “Itulah sebabnya saat ini kita melihat nasib perempuan di dunia sangat  buruk. Perdagangan perempuan merajalela dan menjadi bisnis yang  paling cepat berkembang saat ini,” kata Ayatollah Khamenei.

Kedua pemimpin Iran ini memiliki pandangan yang  sama, yaitu bahwa perempuan harus kembali ke nilai-nilai Islam dalam rangka untuk mencapai kemerdekaan dan kebebasan dari eksploitasi kaum laki- laki, serta menjalankan peran utama dalam membangun peradaban yang mulia. “Seorang wanita bukanlah benda, tetapi manusia agung  yang ada dan peduli bagi masyarakat. Dalam dekapannya, lahirlah laki-laki. Dialah adalah umat manusia, sekaligus sumber kasih  sayang dan kebahagiaan manusia,” kata Ayatollah Khomeini.

b. Posisi Perempuan dalam Keluarga

Ayatollah Khamenei mengakui bahwa masih banyak  perempuan muslim yang menghadapi perilaku tidak adil dari  suami mereka. Namun, hal ini bukan disebabkan oleh aturan Islam.  Sebaliknya, Islam sangat mendorong sikap mulia dan kasih sayang terhadap perempuan. Ayatollah Khamenei mengutip beberapa hadis  yang berkaitan dengan posisi perempuan dalam keluarga. Nabi Muhammad (saw) bersabda, “Al mar’atu sayyidatu baytiha” (wanita  adalah ratu dalam keluarganya). Imam Ali berkata, “Al mar’atu rayhaanah laysat wa bi qahrimaanah” (wanita adalah  wewangian di rumah, bukan pekerja). Nabi Muhammad (saw) bersabda, “Yang terbaik di antara kamu adalah yg terbaik  sikapnyaterhadap perempuan (istri).”

Ayatollah Khamenei mengatakan, “Kata-kata seperti ini sangat  banyak tersebar dalam hadis Nabi dan para Imam. Namun  sayangnya, tidak banyak dipraktekkan. Oleh karena itu,  pelaksanaannya harus didukung oleh undang-undang, hukum dan eksekusi. Hal inilah yang sayangnya belum banyak dilakukan oleh umat Islam.”

Pernyataan ini adalah penegasan atas pentingnya perempuan untuk  terlibat dalam aktivitas politik, dalam rangka mendorong pembentukan dan pelaksanaan undang-undang yang berkaitan dengan hak perempuan. Seperti disebutkan di atas, dalam politik ketuhanan, undang-undang disusun dengan tujuan untuk  membawa manusia lebih dekat kepada Allah dan mencegah mereka  dari kejahatan. Tanpa undang-undang yang menjamin perlindungan terhadap hak-hak perempuan, maka aturan-aturan Islam atau seruan-seruan dari Nabi (hadis) hanya akan tinggal di dalam lembaran teks. Sebaliknya, bila hadis-hadis Nabi terkait hak-hak perempuan itu berhasil diwujudkan dalam undang-undang positif dan dijamin pelaksanaannya oleh negara, kaum perempuan akan menempati posisinya yang seharusnya, yaitu dimuliakan dalam masyarakat.

Seperti diingatkan oleh Ayatollah Khamenei, kekurangan dalam masyarakat Muslim tidak seharusnya ditangani dengan mencari model dari Barat, tetapi dengan menggali kembali  nilai-nilai Islam dan menerapkannya dengan benar. Apa yang  kurang dalam komunitas muslim tidak seharusnya menunjukkan  kelebihan dari masyarakat Barat. Apalagi, data menunjukkan bahwa banyak perempuan di Barat diperlakukan buruk, mengalami kekerasan dalam rumah tangga, dan menjadi korban perdagangan perempuan dan pengabaian.

Legislasi Iran Terkait dengan Perempuan

Bagi penulis, ini adalah fakta yang cukup menarik: meskipun hanya satu  perempuan yang terlibat dalam penyusunan konstitusi Iran pada tahun 1979 (yaitu Munireh Gurji, seorang cendekiawan/akademisi), tetapi  ternyata konstitusi Iran mampu memberikan konsesi yang besar bagi perempuan. Bahkan dalam  Pembukaan Konstitusi, ada dua paragraf yang ditujukan khusus kepada perempuan:

Melalui pembentukan infrastruktur sosial yang Islami, semua elemen kemanusiaan yang (selama ini) berkhidmat kepada eksploitasi asing, harus meraih kembali identitas asli dan hak asasi mereka. Sebagai bagian dari proses ini, sudah selayaknya perempuan harus menerima penambahan (proporsi) yang besar atas (penunaian) hak-hak mereka karena pada rezim lama, mereka juga menderita opresi yang lebih besar.

Keluarga adalah unit dasar dalam masyarakat serta menjadi pusat pertumbuhan dan pembangunan manusia. Penggabungan antara kepercayaan dan idealisme, yang merupakan dasar dari pertumbuhan dan perkembangan manusia, adalah hal yang paling utama dalam pembentukan keluarga. Adalah kewajiban pemerintah Islam untuk menyediakan fasilitas yang diperlukan untuk mencapai tujuan ini. Konsep keluarga ini, akan menghindarkan perempuan dari anggapan sebagai objek atau instrumen dalam mempromosikan suatu produk, atau objek eksploitasi. (Konsep keluarga) akan mengembalikan fungsi mulia perempuan sebagai ibu. Hal ini merupakan penegakan ideologi kemanusiaan, serta menempatkan perempuan sebagai pemegang peran utama dalam masyarakat sekaligus menjadi mitra perjuangan bagi laki-laki dalam berbagai area penting kehidupan. Pemberian tanggung jawab yang berat kepada perempuan ini merupakan pengejawantahan nilai Islam yang agung dan mulia. [20]

Dalam Konstitusi Iran, ada dua bab yang khusus berkaitan dengan wanita:

Pasal 20 [Kesetaraan di Hadapan Hukum]

Semua warga negara, baik laik-laki maupun perempuan, secara setara menerima perlindungan hukum dan memiliki semua hak kemanusiaan, politik, ekonomi, sosial, dan budaya, yang sesuai dengan kriteria Islam.

Pasal 21 [Hak-Hak Perempuan]

Pemerintah harus menjamin hak perempuan, yang sesuai dengan kriteria Islam, dan mewujudkan tujuan-tujuan di bawah ini:

1) menciptakan lingkungan yang kondusif untuk perkembangan kepribadian perempuan dan pengembalian hak-hak mereka, baik material maupun intelektual;

2) perlindungan terhadap para ibu, terutama pada masa kehamilan dan pengasuhan anak, dan perlindungan terhadap anak-anak yatim;

3) membentuk pengadilan yang berkompeten untuk melindungi keluarga;

4) menyediakan asuransi khusus untuk janda, perempuan tua, dan perempuan tanpa pelindung;

5) memberikan hak pengasuhan kepada ibu angkat untuk melindungi kepentingan anak ketika tidak ada pelindung legal.

Dengan paradigma seperti ini, Iran telah menetapkan undang-undang yang sesuai. Misalnya, pasal 39 dan 75 dari UU Ketenagakerjaan Iran menyatakan bahwa:

1. Pasal 39: untuk pelaksanaan kerja yang sama dalam kondisi yang sama, dan dalam satu tempat kerja yang sama, laki-laki dan perempuan harus memperoleh gaji yang sama.

2. Pasal 75: pekerjaan yang berbahaya dan berat tidak boleh diserahkan kepada pegawai perempuan.

Undang-Undang Perlindungan Pekerja menyebutkan bahwa peran  dan pekerjaan utama wanita adalah dalam keluarga. Berdasarkan asumsi ini, sejumlah artikel dalam UU tentang Perlindungan Pekerja Perempuan memberikan dukungan besar kepada pekerja perempuan sehingga mereka masih dapat melakukan fungsinya sebagai ibu. Antara lain, pasal 76 dan 78 menyatakan bahwa:

• Pekerja perempuan berhak atas cuti hamil dan melahirkan, serta berhak mendapatkan fasilitas pengasuhan anak selama jam kerja.

• Hak cuti hamil dan melahirkan adalah 90 hari, dan bila pekerja perempuan melahirkan tidak secara normal, hak cuti ditambah 14 hari.

• Tempat kerja yang memiliki pekerja perempuan, harus memberikan setengah jam dalam setiap tiga jam, kepada perempuan untuk menyusui anaknya, sampai si anak berusia dua tahun dan setengah jam cuti itu harus dihitung sebagai jam kerja.

• Tempat kerja harus menyediakan tempat pengasuhan/penitipan anak sesuai dengan kelompok umur anak-anak tersebut.

• Setelah melalui masa cuti hamil/melahirkan, pekerja perempuan berhak kembali pada posisi/jabatannya semula dan mutasi kepegawaian tidak boleh dilakukan terhadap si perempuan dalam periode cuti tersebut. [21]

Menurut pendapat penulis, ini adalah tujuan nyata yang harus dicapai politisi perempuan: kebebasan untuk membela hak-hak mereka atas dasar prinsip-prinsip Islam. Inilah bentuk nyata politik ketuhanan yang harus dilakukan oleh politisi perempuan muslim.

Kesimpulan dan Rekomendasi

1. Karena setengah dari populasi manusia adalah perempuan, perempuan harus dilibatkan dan terlibat aktif dalam pengembangan kualitas masyarakat.

2. Demi Kebangkitan Islam, peran politik perempuan harus didasarkan pada ideologi Islam. Mereka harus melaksanakan politik ketuhanan, bukan politik pragmatis/rasional.

3. Perempuan harus mendidik diri mereka sendiri agar memiliki ideologi Islam yang kuat dan visi politik yang tajam sehingga ketika mereka bergabung dengan sistem non-Islam, mereka mampu memberikan kontribusi positif yang signifikan, bukannya dikooptasi oleh sistem.

—————–

Catatan Kaki:

1.http://www.taqrib.info/english/index.php?option=com_content&view=article&id=385:islamic-awakening-conference-final-communique-&catid=35:2009-08-31-05-01-28&Itemid=63

2. ibid

3. Hoffman, 2007: 143

4. ibid. 144

5. Minogue, 2000: 81

6. Dobrowolsky dan Hart, 2003:2

7. ibid

8. ibid

9. HDI adalah pengukuran ringkas terhadap pembangunan manusia yang  diterbitkan oleh United Nations Development Programme (UNDP).  HDI mengukur pencapaian rata-rata di suatu negara dalam tiga  dimensi dasar pembangunan manusia, yaitu harapan hidup, angka  melek huruf, dan GDP per kapita. GII adalah ukuran untuk  mengekspos perbedaan dalam distribusi pencapaian antara perempuan dan laki-laki. Negara-negara dengan ketidaksetaraan  gender tinggi  biasanya mengalami ketimpangan distribusi pembangunan  manusia. Ada lima indikator GII, yaitu kematian ibu melahirkan,  tingkat kesuburan, perwakilan dalam parlemen, kesempatan pendidikan, dan  partisipasi angkatan kerja. (Sumber: http://hdr.undp.org)

10. Sumber: http://www.ipu.org/wmn-e/classif.htm dan  http://hdrstats.undp.org

11. http://www.republika.co.id/berita/nasional/hukum/12/02/09/lz4dg0-politisi-perempuan-mudah-terjerat-korupsi

12. Kheradmandi, 2012:108

15.  Shahidian, 2002:56

16.  Khaz Ali, 2010

17.  Muthahhari (2000:74)

18. Pidato diupload di you tube, http://www.youtube.com/watch? v=fN0vah1uamY, bagian ini dikutip dari paper Dina Y. Sulaeman (2011)

19. Khomeini (2001)

20. teks UUD Iran, http://www.iranchamber.com/government/laws/constitution.php

21. dikutip dari  paper Dina Y. Sulaeman  (2005)

Referensi:

Hoffman, John. 2007. A Glossary of Political Theory. Edinburgh: Edinburgh University Press

Khaz Ali, Ansia. 2010. Iranian Women After The Revolution. Paper dipresentasikan dalam Conflict Forum, Beirut. (http://conflictsforum.org/briefings/IranianWomenAfterIslamicRev.pdf)

Khomeini, Imam. 2001. The Position of Woman From the Viewpoint of  Imam Khomeini. The Institute For Compilation and Publication of Imam Khomeini’s Works: Tehran.

Kheradmandi, Husain R. 2012. Manajemen Politik: Perspektif Khajeh Nashiruddin. Jakarta: Sadra Press.

Minogue, Kenneth. 2000. Politics, A Very Short Introduction. New York: Oxford University Press.

Muthahhari, Murthadha. 2000. Hak-Hak Wanita dalam Islam. Lentera: Jakarta .

Shahidian, Hammed. 2002. Women in Iran: Gender Politics in the Islamic Republic. Westport: Greendwood Press.

Sulaeman, Dina Y. 2005. Perempuan Iran: Observasi antara HDI dan Konstitusi (paper dipresentasikan dalam Seminar Mahasiswa Indonesia di Timur Tengah, Qom, Agustus 2005).

Sulaeman, Dina Y. 2011. The Views of the Leaders of the Islamic Republic of Iran about Women (paper dipresentasikan dalam Seminar “Islamic World: Women’s Role and Responsibility of Muslim Women”, di  University of Muhammadiyah Jakarta, December 2011).

Dobrowolsky, Alexandra  and Vivien Hart (ed). 2003.  Women Making Constitutions.  New York: Palgrave Macmillan.

—————————

Biodata:

Dina Y. Sulaeman adalah seorang penulis, yang telah menulis lebih dari 12 buku,  termasuk  Ahmadinejad on Palestine, Obama Revealed, dan Journey to Iran. Penerima summer session scholarship dari JAL Foundation untuk kuliah musim panas di Sophia University Tokyo ini lulus dari Fak. Sastra Arab Universitas Padjdjaran tahun 1997. Ia sempat menjadi staf pengajar di IAIN Imam Bonjol Padang. Tahun 1999 ia meraih beasiswa S2 dari pemerintah Iran untuk belajar di Faculty of Teology, Tehran University. Tahun 2011, ia menyelesaikan studi magister Hubungan Internasional Universitas Padjadjaran. Tahun 2002-2007 ia berkarir sebagai jurnalis di Islamic Republic of Iran Broadcasting. Kini tinggal di Bandung, aktif menulis artikel opini politik Timur Tengah yang dimuat di media massa dan berbagai website, serta menjadi research associate pada Global Future Institute. Blognya: http://dinasulaeman.wordpress.com. Makalah ini ditulis untuk Konferensi Dunia tentang Perempuan dan Kebangkitan Islam,  8-11 July 2012 di Tehran, Iran.

Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com