Perang Antar Suku, Skenario Asing Lemahkan Kekuatan Akar Rumput Papua

Bagikan artikel ini

(Artikel ini sebelumnya telah diposting pada rubrik Isu Terhangat di website The Global Review versi lama pada 21-04-2010)

Papua, yang dulunya lebih dikenal dengan Irian Jaya, memiliki sumber kekayaan alam yang menarik minat berbagai bangsa di dunia untuk menguasainya. Belanda, yang menjajah Indonesia selama 350 tahun, terbukti merupakan provinsi paling akhir yang dilepas negara kincir angin itu pada 1963. Padahal, Indonesia sendiri sudah memproklamirkan dir sebagai negara merdeka pada 17 Agustus 1945.

Sejak awal 1970-an,giliran Amerika Serikat yang  menjarah kekayaan alam Papua. Kalau belanda menguasai kekayaan alam Indonesia melalui kongsi dagang bernama VOC, maka Amerika mencaplok Papua melalui sebuah korporasi Tambang terbesar Amerika bernama PT Freeport McMoran, dan mitranya PT Freeport Indonesia. Dan eksploitasi tambang dan emas yang dilakukan Amerika di Papua, masih berlansung hingga sekarang.

Karena itu, mencermati berbagai skenario yang dimainkan Amerika maupun para sekutunya di Uni Eropa, kiranya harus menjadi agenda pokok para pemangku kepentingan  di jajaran pemerintahan Indonesia baik di pusat maupun daerah.

Karena selain digelembungkannya secara terus-menerus pelanggaran hak-hak asasi manusia terhadap para aktivis Organisasi Papua Merdeka (OPM), Amerika maupun agen-agen asing sepertinya sedang menyusun skenario lain: Mengadu-domba pertempuran antar-suku di Papua. Mengapa? Karena di bumi Papua, hubungan antar-suku bisa dengan mudah dipicu untuk berkobar menjadi konflik berskala luas di Papua.

Marilah kita tengok kejadian pada 4 Maret 2010 lalu. Saat itu, entah dari mana awal mulanya, tiba-tiba terjadi pertikaian antar suku di Kwamki Lama. Pemicunya sebenarnya sepele, yaitu ketika terjadi kasus pemalakan atau aksi paksa meminta uang kepada tukang ojek yang dilakukan oleh sekelompok warga dari suku tertentu. Namun situasi tersebut bisa dikendalikan oleh aparat kepolisian.

Menurut berbagai sumber yang berhasil dihimpun tim riset Global Future Institute, aksi paksa meminta uang atau aksi pemalakan tersebut, diduga keras merupakan salah satu bagian dari skenario untuk memprovokasi perang antar suku di Papua. Karena dengan aksi pemalakan yang dilakukan oleh salah satu suku, diharapkan akan memancing balas dendam dari suku yang salah satu anggotanya menjadi korban pemalakan.

Celakanya, di daerah Kwaki Lama yang berlokasi di Timika, yang berdekatan dengan PT Freeport Indonesia, sejak 1990-an, terdapat penduduk dari tujuh suku, dan masing-masing suku dikenal cukup keras dan tidak mau berkompromi.

Betapa tidak. Dalam berbagai kesempatan, mereka seringkali terlibat dalam perang antar suku, padahal pemicunya selalu masalah-masalah kecil dan sepele, misalnya ketika ada salah satu pemuda dari salah satu suku menantang berkelahi pemuda lain yang berasal dari suku berbeda. Sehingga ketika hal itu terjadi, kemudian diartikan sebagai tantangan untuk salah satu suku untuk mengobarkan perang antar-suku.

Menurut Muridan S Wijoyo, pakar politik dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), perang antar suku di Papua memang sudah berlangsung secara turun-temurun dan merupakan tradisi lama.

Pendapat Muridan Wijoyo memang cukup beralasan. Pada kasus sebelumnya, Januari 2010, juga terjadi perang antar suku di Kwamki Lama, Kelurahan Harapan Kita, Papua. Tujuh orang mengalami luka-luka. Dan pada kasus ini, pihak kepolisian Papua tidak mampu mendamaikan berkobarnya perang antar-suku.

Dalam kaitan ini, beberapa pakar politik dan analis intelijen mensinyalir adanya keterlibatan dan campur tangan asing dalam ikut memicu konflik antar suku di Papua, khususnya di daerah Kwamki Lama. Karena dalam skenario perang antar suku, pihak asing bisa dengan mudah menyusup ke berbagai wilayah strategis di Papua.

Menguak Kepentingan Strategis Amerika di Papua

Cukup masuk akal jika asing memang terlibat dalam memicu konflik antar-suku di Papua. Leo Liharma dalam skripsinya yang mengungkap perang United States Agency For International Development (USAID), menulis bahwa Papua memiliki cadangan minyak sangat besar. Sejak 2001 Amerika terlibat dalam pengelolaan LNG Tangguh. Berdasarkan perkiraan,  cadangan LNG di kawasan tersebut adalah 23,7 triliun kaki kubik dan di antaranya sebesar 14,4 triliun kaki kubik telah disertifikasi sebagai candangan terbukti.

Sejak 2008 lalu, Indonesia telah menjadi pemasok langsung energi bagi kawasan pantai barat Amerika yang diambil dari Tangguh di Papua.

Kebutuhan minyak Amerika memang cukup besar, per harinya mengonsumsi minyak sebesar 19 juta barel. Tak heran jika beberapa perusahaan minyak dan tambang Amerika beroperasi di Indonesia seperti ExxonMobile, Chevron, Conoco-Phillips, Freeport-McMoran, dan NewMont.

Perusahaan Connoco Phillips yang merupakan gabungan dari Conoco dan Phillips Petroleum Company, telah beroperasi di Indonesia selama 36 tahun.

Pada 1998, perusahaan pembangunan serta konstruksi milik Pertamina dan Sembawang telah mencapai kesepakatan dengan Conoco untuk menjual 325 juta kubik gas alam per hari melalui pipa ke Singapura.

Melalui kerjasama dengan BP MIGAS (Badan Pelaksana Minyak dan Gas), Conoco juga membangun pertambangan minyak di pinggir pantai Balida dan pertambangan gas alam Blok B di wlayah pedalaman Papua. Sementara perusahaan Global Santa Fe yang juga milik Amerika, mengoperasikan tambang minyak di daerah Klamono di Papua.

BP yang bekerjasama dengan BP MIGAS melakukan pengeboran gas alam cair di kawasan lepas pantai (offshore) da daratan (onshore) di sekitar kawasan Teluk Bintuni.

BP merupakan perusahaan minyak milik Inggris yang bergabung dengan perusahaan-perusahaan minyak milik Amerika seperti Standard Oil of Indiana, Standard Oil of Ohio, Atlantic Richfield Company (Arco) dan Amoco, yang beroperasi di bawah bendera British Petroleum.

Betapa rawannya perang antar-suku di Papua sepertinya memang disadari betul oleh para pemangku kepentingan Amerika.

Sebagaimana dipaparkan Leo Liharma, pada 2000 lalu tujuh suku besar yang ada di sekitar Teluk Bentuni menyampaikan aspirasinya kepada Badan Perlindungan Dampak Lingkungan (Bapedal) Papua agar perusahaan-perusahaan Amerik tersebut menunda eksplorasinya. Suku-suku tersebut adalah: Irarotu, Wamesa, Sebiar, Simuri, Kuri, Soub, dan Moskona.

Dan aspirasi mereka memang cukup beralasan. Sebagaimana laporan Bapedal Irian Jaya, proyek tersebut mengancam ribuan hektar hutan rawa di Teluk Berau. Dan karenanya, perusahaan tersebut harus berkonsultasi terlebih dahulu dengan masyarakat setempat saat merencanan kegiatan eksplorasi tersebut.

Dalam situasi krusial seperti ini, muncullah USAID dengan program pemberdayaan masyarakat, dan segera membuat tabungan dana abadi (The Heritage Fund) yang hasilnya dimanfaatkan untuk membiayai kegiatan-kegiatan pembangunan di wilayah yang terkena dampang langsung dari proyek LNG Tangguh ini.

Bukan itu saja. Dana abadi tersebut juga dimaksudkan sebagai pengakuan atas wilayah-wilayah yang kaya akan warisan alam dan budaya sekaligus untuk mendukung kelestarian adat masyarakat setempat.

Dari kisah yang terungkap melalui skripsi Leo Liharma, bisa dimengerti jika Amerika maupun negara-negara Eropa yang mempertaruhkan kepentingan bisnis strategisnya di Papua, menginginkan agar suku-suku di Papua yang merupakan pemangku adat dan kekuatan akar rumput di Papua, tidak berkembang menjadi kuat dan memiliki harga tawar yang cukup tinggi untuk menuntut pembagian keuntungan yang seimbang dan adil terhadap berbagai perusahaan tambang raksasa asing tersebut di atas.

Untuk itu PT Freeport Indonesia, kiranya perlu mendapat sorotan khusus dari para pemangku kepentingan di Indonesia. Khususnya, sepak-terjangnya dalam ikut memicu berkobarnya perang antar suku di Papua. Dan untuk skenario semacam ini, Amerika memang memiliki motivasi yang cukup kuat.

Motivasi Freeport di Papua

Freeport bukan sekadar investasi ekonomi tetapi juga sebuah mata-rantai investasi politik dan konteks hubungan Indoensia-Amerika. Dan ini benar adanya.

Freeport McMoran sebagai perusahaan induk PT Freeport Indonesia, menguasai tambang emas terbesar di dunia dengan cadangan terukur kurang lebih 3046 ton emas, 31 juta ton tembaga, dan 10 ribu ton lebih perak tersisa di pegunungan Papua.

Berdasarkan perhitungan kasar, cadangan ini dikerkirakan masih akan bisa mengeruk cadangan ton emas hingga 34 tahun mendatang. Tapi menurut laporan sumber lain, cadangan emas dan tembaga yang ada di Gunung Grasberg yang merupakan area penambangan terbesar dari seluruh are penambangan PTFI, mencapai lebih dari 50 miliar pon (25 ribu ton) tembaga dan 60 juta ons (6 ribu ton) emas yang masih dapat terus ditambang hingga 20340 atau bahkan lebih lama lagi.

Berdasarkan laporan tahun 2005, nilai investasi Freeport-McMoran di PT Freeport Indonesia mencapai US$ 6 Miliar dan kemungkinan besar nilai investasi tersebut masih akan bertambah.

Sekadar informasi, Freeport merupakan perusahaan emas penting di Amerika yang merupakan penyumbang emas nomor 2 bagi industri emas di Amerika stelah Newmont.

Pemasukan yang diperoleh Freeport-McMoran dari PT Freeport Indonesia dan PT Indocopper Investama (Keduanya merupakan perusahaan yang beroperasi di Pegunungan Tengah Papua), mencapai US$ 380 juta atau hampir 3,8 triliun rupiah lebih untuk tahun 2004 saja.

Berdasar nota keuangan tahuannnya kepada pemegang saham, selama 3 tahun hingga 2004, total pendapatan dari PT Freeport untuk pemerintah Indonesia hanya sektiar 10-13 persen dari pendapatan bersih d luar pajak atau sekitar US$ 460 juta (460 miliar rupiah).

Bagaimana Kaitan Kepentingan Freeport dengan Indonesia?

Kontribusi PT Freeport hingga 2005 telah mewakili 2,4 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia, 58 persen dari Produk Domestik Regional (PDRB) Papua, dan 99 persen dari PDRB Kabupaten Mimika. Untuk 2005, kontribusi PT Freeport Indonesia terhadap PDB nasional mencapai hampir 65 triliun, dengan demikian total kontribusi tersebut sejak 1992 hingga 2005 sudah lebih dari US$ 40 miliar.

Dari keuntungan tersebut di atas, PT Freeport Indonesia telah memberi dana bantuan pengembangan masyarakat sebesar US$ 7,5 juta sejak 1996 hingga 2005 dengan dana awal sebesar US$ 2,5 juta.  Dan akan memberi kontribusi setiap tahunnya sebesar US$ 1 juta.

Suku Amungme dan Kamoro, masing-masing mendapat US$ 500 ribu per tahun sesuai kesepakatan hak ulayat PT Freeport Indonesia terhadap kedua suku tersebut.

Tapi sejatinya, pemberian tersebut  tak lebih sekadar ganti rugi dari PT Freeport terhadap Masyarakat yang terkena dampak langsung dari proyek perusahaan tersebut.  Jadi bukan didasari semangat bagi hasil secara adil antara kedua-belah pihak.

Kisah tersebut di atas, dengan jelas memperlihatkan betapa aspirasi yang berkembang di kalangan  beberapa suku tersebut, pada perkembangannya dipandang oleh Amerika maupun para sekutunya dari Eropa, sebagai sebuah ancaman bagi kepentingan perusahaan-perusahaan tambang dan energi di Papua.

Dengan melihat beberapa peristiwa dan kejadian di Papua yang bermuara pada konflik dan pertempuran antar-suku di Papua, sepertinya memang ada skenario untuk memecah-belah berbagai suku di Papua, sehingga pada perkembangan jangka panjang akan mengalami pelemahan dari dalam.

1* Untuk menelaah berbagai peristiwa dan kejadian selengkapnya, bisa disimak melalui Majalah Intelijen Edisi 24/Th VI/2010, 11-24 Maret 2010.
2* Majalah Intelijen Edisi 24/Th VI/2010, hal 31.
3*Leo Liharma Dwipayana Saragih dalam skripsinya yang berjudul Kepentingan Amerika Serikat Dalam Implementasi Program USAID Di Papua, tidak dipublikasikan.

Hendrajit, Direktur Eksekutif Global Future Institute (GFI)

Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com