Perlu Kekuatan Moral yang Benar-Benar Mewakili Rakyat

Bagikan artikel ini

Nunik Iswardhani, Wartawan Senior dan Pemerhati Sosial

Ada teman nelpon mengajak gosip. Katanya, dalam waktu dekat bakal ada ‘gerakan moral’ untuk wacana perbaikan politik di Indonesia menjelang 2014. Masih belum jelas siapa saja yang terlibat dan apa yang diwacanakan.

Tapi, karena teman saya itu modelnya ‘orang bawah tanah’, saya usul agar mereka-mereka yang punya kekuatan secara moral (ulama, budayawan, cendekiawan dan sebagainya) itu masuk saja ke dalam sistem. Caranya yaitu dengan diberi satu posisi yang khusus, yaitu menyediakan calon-calon kepala negara (calon-calon ini bukan berasal dari partai, melainkan orang yang punya keahlian dan integritas yang diakui kelompok ‘gerakan moral’ ini).

Dalam bayangan saya, mungkin ‘gerakan moral’ yang milih calon-calon kepala negara itu nanti mirip kardinal-kardinal yang dikarantina di Basilika itu untuk milih Paus yang baru Mas. Prosesnya kira-kira begitu. Tapi mudah-mudahaan dalam sejarah nanti tercatat sebagai wujud dari ‘demokrasi a la Panca Sila tersebut. Yang mana (mereka di dalam karantina itu berdiskusi panjang lebar tentang ekonomi kerakyatan, sosialisme vs liberalisme, tentang wawasan nusantara, zona ekonomi eksklusif dan sebagainya, tentang visi persatuan dan kebangsaan dan sebagainya. Semacam diskusi di antara para empu yang ahli, bukan diskusi di warteg atau facebook.

Nah, nantinya calon-calon presiden ini dipilih lewat pemilu. Sedangkan wakil-wakil rakyat (legislatif) itu juga dipilih lewat pemilu, tapi nanti tugasnya di bidang legislasi saja (menyusun UU). Nah, anggota legislatif ini yang berasal dari partai. Sedangkan eksekutif dan yudikatif asalnya dari merit (keahlian) ataupun karier. Kabinetnya nanti adalah kabinet ahli.

Kalau sekarang kan aneh, yang mayoritas di legislatif adalah anggota parpol yang menang. Sedangkan parpol yang menang itu juga pegang kekuasaan di eksekutif, lantas memilih menteri-menteri yang pegang kekuasaan yudikatif. Akhirnya semua lini dipegang parpol yang berkuasa dan dipermainkan.

Intinya, konsep trias politika itu harus diubah karena sebagai basis demokrasi nggak cocok lagi. Sistem pemerintahan parlementer dan presidensiil juga tidak sesuai, karena peran partai pada akhirnya mengacaukan aturan main yang ada.

Jadi kalau mau demokrasi yang musyawarah dan mufakat ya begitu. Harus ada kekuatan moral yang betul-betul mewakili rakyat. Bukan legislatif seperti anggapan selama ini. Yang menentukan aturan main dan menentukan sistem.

Namun tentu saja dengan catatan: Kalau masih ada yang namanya ‘kekuatan moral’ di Indonesia ini.

Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com