‘Bola Liar’ Kasus Cebongan

Bagikan artikel ini

Toni Ervianto, alumnus pasca sarjana Universitas Indonesia. Analis di Lembaga Studi Intelijen Strategis Indonesia (LSISI) Universitas Indonesia

Dalam laporan bertajuk “Disappearance!Technique of Terror”, Independent Commission on International Humanitarian Issues, London, 1986 yang berbunyi “Some men arrive. They force their way into a family’s home, rich or poor, house,hovel or hut, in a city or in a village, anywhere. They come at any time of the dayor night, usually in plain clothes, sometimes in uniform, always carrying weapons.Giving no reason, producing no arrest warrant, frequently without saying whothey are or on whose authority they are acting, they drag one or more members ofthe family towards a car, using violence if necessary”

Kutipan laporan Independent Commission on International Humanitarian Issues, London di atas memberi gambaran yang dramatis tentang penghilangan orang secara paksa (enforced disappearance atau involuntary disappearance). Deskripsi di atasmenggambarkan bahwa penghilangan orang selalu dimulai dengan pola segerombolan pria datang, tidak peduli malam atau siang, mendobrak pintu-pintu rumah,biasanya berpakaian sipil, kadang-kadang berseragam, namun selalu menyandang senjata,tanpa alasan, tanpa dokumen penangkapan, tanpa mengatakan siapa mereka, atau siapayang memerintahkan mereka, mengambil paksa anggota keluarga, ayah, ibu ataupun anak.Seringkali mereka menggunakan kekerasan.

Pelanggaran HAM berat?

Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) menyatakan peristiwapenyerangan terhadap lembaga pemasyarakatan (Lapas) Cebongan, Sleman pada Sabtu 23 Maret 2013 lalu merupakan tindakan extra judicial killing terhadap empat tahanan yang tewas. Demikian dikemukakan Ketua Komnas HAM, Siti Noor Laila di Jakarta,(12/4/2013). Menurutnya, tindakan yang telah menyebabkan hilangnya empat nyawa yang berada dalam perlindungan negara itu tidak dibenarkan dengan alasan apapun. Untuk itu, pihaknya meminta kepada pihak TNI dan Polri untuk menindaklanjuti hasil temuan dan penyelidikan yang dilakukan Komnas HAM. Komnas HAM, juga meminta pihak TNI dan Polri mengawal dan mengawasi proses hukum terhadap tersangka pelaku kasus Lapas Cebongan, Sleman, agar berlangsung secara adil, transparan dan akuntabel. Selain itu, Komnas HAM juga meminta Pemerintah untuk ikut bertanggung jawab atas kasus penyerangan terhadap lembaga pemasyarakatan (Lapas) Cebongan, Sleman, yang menewaskan empat tahanan.

Menurut Komnas HAM, sesuai dengan pasal 71 Undang-Undang 39 Tahun 1999 tentang kewajiban dan tanggung jawab pemerintah: pemerintah wajib bertanggung jawab menghormati, melindungi, menegakkan dan memajukan hak asasi manusia yang diatur dalam Undang-undang ini, peraturan perundang-undangan lain, dan hukum internasional tentang hak asasi manusia yang diterima oleh negara Republik Indonesia.

Berdasarkan hasil penyelidikan, Komnas HAM menilai bahwa telah terjadi pelanggaran HAM dalam kasus penyerangan lapas Cebongan, Sleman yang menewaskan empat tahanan tersebut. Pertama, perampasan hak hidup terhadap para korban penembakan yang melanggar Pasal 4 dan Pasal 9 Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM; Kedua, setiap orang berhak hidup tenteram, aman, damai, bahagia, sejahtera lahir dan batin. Ketiga, intimidasi terhadap petugas sipir penjaga Lapas Cebongan yang dilakukan oleh para pelaku.Sementara indikasi keempat, pengamanan yang lemah dari pihak kepolisian dalam hal ini Polda DIY.

Sementara itu, banyak definisi terkait penghilangan orang secara paksa.Amnesty International (1970) menekankan peran negara dalam kasus penghilangan orangsecara paksa, dan menekankan bahwa orang-orang yang hilang itu tidak benar-benar hilangtanpa diketahui rimbanya, ada otoritas resmi yang menghilangkan secara paksa namunbersikap diam.

Working Group on Enforced or Involuntary Disappearances PBB menggunakandefinisi yang cukup panjang dan lebih luas cakupannya. Tekanannya pada peran aparatpemerintah di semua level, kelompok-kelompok terorganisir yang bukan merupakan aparatpemerintah dan orang-orang partikelir, namun bertindak atas nama pemerintah.

Fighting Against Forced Disappearances in Latin America (Fadefam), organisiasihak asasi Amerika Latin yang gigih menentang penghilangan secara paksa, yang berkantordi Caracas, Venezuela, memberi definisi yang memberikan tekanan lebih kuat padapelanggaran HAM yang terjadi dan perhatian pada keluarga korban.

“Bola Liar” Dimanfaatkan Siapa?

Terus bergulirnya kasus penyerangan terhadap LP Cebongan sudah menjadi “bola liar” yang dapat dimanfaatkan siapa saja. Komnas HAM telah mengeluarkan temuan penyelidikannya dengan menyebut pelaku penembakan dalam lapas adalah institusi negara seperti dikemukakan Ketua Komnas HAM, Siti Noor Laila, namun sebaiknya perempuan asal Lampung ini harus membuktikannya agar tidakmenimbulkan kebingungan publik.

Wakil Ketua Komisi I DPR RI TB Hasanuddin menegaskan, Komnas HAM harus dapat membuktikan apakah benar kasus itu terjadi atas perintah atasan, lalu atasan itu mendapat perintah dari atasannya lagi sesuai hierarki?

Menurut TB Hasanuddin, disebut sebagai pelanggaran HAM apabila penggunaan alat, perlengkapan, senjata dan biaya  legal seizin negara cq TNI. Unsur lainnya adalah harus ada indikasi aksi penyerangan itu merupakan tugas dari negara atau dalam rangka mendukung kebijakan negara.

“Bola liar” berikutnya adalah kemungkinan adanya tuntutan agar persidangan terhadap kasus ini dilakukan melalui pengadilan negeri bukan pengadilan militer. Jikapermasalahan ini tidak terselesaikan, “bola liar” berikutnya adalah tidak menutup kemungkinan negara ini akan disebut dengan “negara gagal”, karena dalam When States Fail : Causes and Consequences (ed Robert I Rotberg,2003) disebutkan, negara gagal adalah negara yang tidak mampu memberi kebajikanumum (public good) kepada warga, khususnya keamanan atas harta bendadan jiwa.

Puncak gunung es dari “bola liar” terkait kasus Cebongan ini adalah kekhawatiran terjadinya upaya untuk melemahkan negara ini, karena jika kasus ini terus berlanjut maka kita sebagai bangsa patut meresahkan terjadinya “demoralisasi” di kalangan aparat negara untuk dapat menjalankan tugas sebaik-baiknya. Ini sesuai dengan deskripsi L. Farago bahwa upaya untuk meruntuhkan negara dapat dilakukan melalui jalur “MIDLIFES (militer, ideologi, demografi, legal, informasi, finance, ekonomi dan sosial).

Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com