Pernah dengar program Echelon yang pernah dilancarkan oleh pemerintah Amerika Serikat? Dalam program ini, Amerika dan sekutu-sekutu strategisnya yang tergabung dalan Pakta Pertahanan Atlantik (NATO), telah melakukan pengawasan terhadap lalu-lintas telekomunikasi internasional untuk mencari kata kunci-kata kunci tertentu. Sebuah laporan kepada parlemen Eropa menegaskan bahwa Amerika telah mengumpulkan informasi intelijen ekonomi, yang kemudian digunakan untuk melumpuhkan manuver diplomasi negara-negara Eropa sehingga gagal memenangi kontrak-kontrak internasional.
Sekelumit kisah tersebut merupakan salah satu bocoran yang sempat dipublikasikan oleh beberapa media massa berdasarkan informasi dari mantan kontraktor NSA Edward Snowden. Jika kita telisik ke belakang, nampaknya bocoran informasi Snowden nampaknya selaras dengan apa yang dilakukan oleh Pentagon, Departemen Pertahanan AS, yang sudah mencanangkan sebuah rencana untuk melancarkan operasi yang bersifat ofensif untuk menyerang media-media cyber yang mereka anggap bakal membahayakan kepentingan strategi global AS.
Sebagaimana Juni 2009 lalu, Menteri Pertahanan AS Robert Gates telah menandatangani sebuah memorandum yang mengumumkan terbentuknya US CYBER COMMAND (CYBERCOM). CYBERCOM berada dalam naungan dari US STRATEGIC COMMAND (STRATCOM).
Fakta bahwa CYBERCOM berkantor di Markas NSA, secara jelas membuktikan bahwa Dunia Maya bagi AS sudah pada taraf perlu ditangani secara kemiliteran. Artinya, sudah dianggap seperti adanya agresi militer negara lain terhadap wilayah kedaulatan Amerika.
Dari yang terumuskan dalam memorandum yang dirilis pada 2009 lalu tersebut, jelas lah sudah bahwa melalui terbentuknya CYBERCOM tersebut, AS telah mencanangkan Dunia Maya sebagai medan tempur baru menghadapi siapapun yang dipesepsikan sebagai membahayakan keamanan nasional AS baik di dalam negeri AS itu sendiri, maupun negara-negara lain yang dipersepsikan sebagai musuh utama Amerika.
Jika kita kembali merujuk pada bocoran informasi Snowden, terungkap bahwa gerakan NSA dalam melakukan operasi ofensifnya ternyata tidak saja ditujukan terhadap negara-negara yang dipandang sebagai musuh utama AS seperti Cina dan Rusia, melainkan juga beberapa negara Eropa Barat yang notabene merupakan sekutu dekatnya.
Salah satu yang paling spektakuler terkait terbongkarnya materi informasi Snowden adalah bahwa NSA telah memata-matai Jerman. NSA melakukan hal tersebut melalui pos penyadapan yang terletak di atap kedutaan besar di jantung kota Berlin. Yang merupakan bagian dari suatu jaringan yang dijalankan oleh Departemen Pengumpulan Khusus (Special Collection Service). Badan khusus ini menggunakan 80 lokasi di luar negeri untuk menangkap komunikasi elektronik.
Yang tak kalah spektakuler dari bocoran informasi Snowden, bahwa badan-badan intelijen AS mampu menanam malware, program perusak, pada komputer target mereka meski dari jarak bermil-mil jauhnya, atau dapat pula menangkap malware tersebut sebelum sampai ke komputer mereka sendiri.
Badan-badan intelijen AS dapat mendekati targetnya ketika memainkan permainan komputer, menyalakan kamera web dan mikrofon dari jarak jauh dan tanpa terlihat, menggunakan ponsel untuk menyadap suatu ruangan atau komputer. Mereka memiliki akses sangat besar terhadap kabel-kabel serat optik yang mengangkut data antar negara dan antar benua. Terungkap pula, NSA dan para sekutunya melintasi saluran-saluran internet bagaikan tikus melintasi sudut-sudut dan pojok-pojok di sebuah rumah tua.
Sebuah program bernama PRISM, merupakan salah satu program NSA yang paling terkenal, yang ditujukan untuk mengumpulkan dan mengawasi informasi yang didapatkan dari perusahaan-perusahaan internet di bawah payung hukum pada pemerintahan era George W Bush, Undang-Undang Perlindungan Amerika (Protect America Act). Program ini mengumpulkan data dari perusahaan-perusahaan sesuai dengan ayat 702 dari UU Amandemen terhadap UU Tindak Pengawasan Intelijen Asing (Foreign Intelligence Surveillance – FISA) pada 2008.
Yang mencemaskan banyak kalangan, bahkan di dalam negeri AS itu sendiri, betapa NSA bisa menyadap surat elektronik, panggilan telepon, dan siaran radio. Untuk mendukung hal tersebut, perusahaan-perusahaan teknologi dan penyedia jasa dari AS harus bekerjasama dengan NSA dalam berbagai tingkatan, baik secara sukarela maupun untuk memenuhi surat perintah pengadilan.
Lebih gilanya lagi, surat-surat perintah ini sedemikian rahasianya, sehingga perusahaan-perusahaan tersebut bahkan tidak dapat memberi tahu garis besar hal-hal yang terpaksa mereka lakukan kepada para pelanggan atau pemegang saham mereka. Pada 2013, harian Washington Post bahkan mewartakan bahwa Microsoft, Google, Facebook, Apple, Youtube,Skype, AOL dan Yahoo telah bekerjasama dengan program PRISM milik NSA.
Sikap Cina dan Rusia Terhadap Dominasi AS di Dunia Maya
Bagaimana dengan Sikap Cina dan Rusia menghadapi operasi ofensif Amerika di bidang media cyber? Apakah ini berarti Cina dan Rusia termasuk dalam kategori musuh-musuh Amerika? Yang pasti, Amerika saat ini menghadapi sebuah persekutuan strategis Cina-Rusia di bawah payung Shanghai Cooperation Organization (SCO) yang terbentuk pada 2001 lalu. Yang lebih mencemaskan Amerika, SCO selain menggalang persekutuan Cina-Rusia, juga menggalang beberapa negara Asia Tengah seperti Kazakhstan, Kyrgyzstan, Tajikistan dan Uzbekistan.
Lewat perkembangan waktu, SCO ternyata mampu menetralisir potensi persaingan global antara Cina dan Rusia, namun pada saat yang sama pada 2009 lalu mampu memprakarsai sebuah konferensi tentang Afghanistan yang melibatkan Amerika, Uni Eropa, The Organization for Security and Cooperation in Europe (OSCE), G-8 dan NATO. Keberhasilan SCO memprakarsai sebuah konferensi berskala internasional mengenai Afghanistan ini, telah memompa kepercayaan diri SCO bahwa mereka bisa menawarkan sebuah platform baru (kebijakan strategis) berskala regional maupun isu-isu strategis yang di antaranya adalah terkait isu Informasi Keamanan Internasional (International Information Security). Nah ini dia, SCO pun rupanya tak kalah ofensif dibanding AS dalam mencanangkan Dunia Maya sebagai medan tempur baru.
Pada 2008 lalu, SCO sebenarnya sudah menggarisbawahi adanya kesenjangan antar berbagai negara di ranah keamanan informasi internasional. Karena semakin meningkatnya monopoli berbagai konglomerasi negara-negara maju dalam produksi perangkat lunak maupun keras dalam bidang teknologi informasi, sehingga menciptakan ketergantungan dari negara-negara berkembang karena kurangnya keikutsertaan negara-negara berkembang secara cukup berarti dalam kerjasama internasional di bidang teknologi informasi.
Dalam pandangan SCO, kesenjangan ini menyebabkan tidak adanya aturan main yang jelas (code of conduct) dalam komunikasi antar negara-bangsa untuk mencegah terjadinya penyalahgunaan berskala global dalam bidang keamanan cyber. Alhasil, dalam perkembangannya di masa depan, bisa memicu konflik terbuka di ranah cyber media.
Bahkan dalam penilaian Rusia, salah satu motor utama SCO bersama Cina, peran yang dimainkan oleh The Council of Europe Convention on Cybercrime yang mulai bekiprah sejak 2004 lalu, ternyata sangat tidak memuaskan.
Inilah yang kemudian mendorong SCO memprakarsai diajukannya draft tentang aturan permainan baru dalam bidang keamanan informasi pada Sidang Majelis Umum PBB ke-66 pada 12 September 2011 lalu.
Yang menarik di balik prakarsa SCO ini, sebelumnya ada sebuah laporan mengenai manuver untuk mengeluarkan Cina dan Rusia karena dituduh sebagai pelaku penyerangan melalui Dunia Maya yang sangat agresif untuk menjaring dan mengakses informasi ekonomi dan teknologi informasi Amerika.
Ternyata AS lah yang memotori manuver menyingkirkan Cina dan Rusia dari forum-forum Kerjasama Informasi Internasional. Salah satunya bisa dilacak melalui sebuah laporan pemerintah AS kepada Kongres (Reports to Congress on Foreign Economic Collection and Industrial Espionage 2009-2011, Foreign Spies Stealing US Economic Secrets in Cyberspace).
Rupanya inilah relevansi dan latarbelakang mengapa CYBERCOM tersebut diumumkan keberadaannya oleh Menteri Pertahanan Robert Gates pada Juni 2009 lalu. Karena itu masuk akal jika pada September 2011, Cina bersama-sama Rusia dalam payung kerjasama SCO, melancarkan kontra manuver dengan mengajukan draft yang kemudian dikenal dengan nama The International Code of Conduct for Information Security.
Bahkan setahun setelah AS membentuk CYBERCOM, pada 2010 Amerika meluncurkan apa yang disebut sebagai The Global Internet Freedom (GIFA), untuk memerangi yang mereka anggap sebagai musuh sekaligus ancaman global Amerika. Yang mengkhawatirkan, melalui skema GIFA ini, Amerika tidak segan segan akan memblokir dan menyensor aksi informasi di dunia maya yang mereka klaim akan mengancam keamanan nasional AS. Lucunya, klaim AS dalam mengembangkan strategi global dunia maya ini adalah untuk menjamin kebebasan dalam media internet.
Dalam skema GIFA in HR 5524, AS nampaknya tak akan segan segan untuk memblokir dan menyensor semua website dan email yang mereka klaim mengancam kebebasan internet. Satu lagi alasan AS yang kiranya perlu diwaspadai, bahwa mereka menjalankan skema GIFA dengan dalih untuk melawan dan memerangi pemblokiran media-media internet yang didukung oleh negara. Sepertinya secara tersirat yang dituju AS adalah Cina dan Rusia yang notabene merupakan negara negara musuh utama Amerika berdasarkan Blueprint Project of New American Century (PNAC).
Namun efek sampingan dari perang AS di dunia maya melalui skema GIFA itu ke depannya akan membahayakan kebebasan informasi juga. Betapa tidak. Melalui GIFA ini pula, lewat International Broadcasting Bureau, AS akan menyadap sektor-sektor swasta dan semua instansi pemerintah dengan dalih untuk membantu para pengguna internet mencegah penyensoran negara negara yang oleh AS diklaim sebagai melawan kebebasan informasi. Dan hal ini, sudah dibuktikan melalui bocoran informasi Edward Snowden.
Lagi-lagi, yang dimaksud adalah Cina dan Rusia. Padahal, dengan dalih ini, para pemegang otoritas keamanan di Washington jadinya punya akses untuk menyadap dan melacak semua identitas dan kegiatan warga negaranya sendiri maupun warga negara asing. Tak terkecuali warga negara Indonesia pun ke depannya akan berada dalam pantauan AS. Tentu saja berbahaya dari segi privasi warga negara maupun kedaulatan sebuah bangsa seperti Indonesia. Seperti telah terbukti dengan adanya penyadapan yang dilakukan oleh Dinas Intelijen Australia terhadap Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.
Apalagi kalau kalau kita lihat faktanya, justru AS lah yang seringkali melansir berita berita atau informasi penyesatan yang justru menciptakan aksi destabilisasi ekonomi, sosial-budaya, keamanan dan instabilitas politik bagi negara-negara berkembang seperti Irak, Suriah dan Libya. Dan tentu saja Mesir. Negara-negara tersebut, pada akhirnya berhasil menumbangkan para pemimpin negaranya dengan aksi-aksi informasi yang mereka lancarkan terhadap warga masyarakat di negara-negara tersebut.
Dan AS rupanya tak tanggung tanggung. Melalui Kongres AS, Maret 2012 lalu berhasil menggolkan Global Online Freedom Act, sebuah perangkat hukum yang diberlakukan dengan dalih untuk mendukung Kebebasan Informasi Internet Global. Dengan memblokir ekspor teknologi kepada negara-negara yang dalam pandangan AS dipimpin oleh rejim-rejim yang tidak demokratis atau otoriter.
Padahal kalau kita telisik lebih jauh, latarbelakang keluarnya UU tersebut, karena dipicu oleh karena karena keberhasilan Pemerintah Cina mengakses informasi di Yahoo terhadap pembangkang Cina bernama Wang Xiaoning.
Rupanya keberadaan CYBERCOM, GIFA maupun Global Online Act, memang sebagai pencanangan perang di dunia maya bagi Washington. Terbukti bahwa dalam keputusan untuk mengekspor teknologi informasi ke negara-negara lain, harus mendengarkan dulu pertimbangan pihak Departemen Luar Negeri AS.
Bahwa negara negara yang akan diizinkan menerima pasokan teknologi informasi dari perusahaan-perusahaan IT yang beroperasi di AS, yang dalam penilaian Departemen Luar Negeri AS telah menjalankan Freedom of Electronic Information. Termasuk dalam kaitan dengan penyensoran dan pemblokiran media media internet di negara negara yang bersangkutan.
Salah satu contoh nyata, baru baru ini beberapa perusahaan swasta bidang Information Technology menolak menjual perangkat teknologi informasi mereka kepada Pakistan, setelah mendapat tekanan dan laporan dari sebuah LSM Pakistan bernama Bolo Bhi.
LSM Pakistan macam Bolo Bhi, seperti juga advocacy group lainnya di negara berkembang, sejatinya merupakan LSM yang dibiayai oleh lembaga lembaga funding internasional seperti UNDP, USAID, NDI atau yang sejenis dengan itu.
Sehingga dari sini saja jelas lah sudah, bahwa AS telah melakukan politisasi Kebebasan Informasi untuk mendukung dan melayani kepentingan kepentingan strategisnya sendiri.
Menyikapi Dua Isu Krusial Dunia Maya
Pada tataran ini, ada dua isu yang cukup krusial. Soal kejahatan di Dunia Maya, namun yang tak kalah krusial di mata negara-negara berkembang, soal isu mengontrol isi dalam media internet.
SCO memang menegaskan perlunya mencegah penyebaran informasi yang menyesatkan mengenai yang apa yang oleh mantan Presiden George W. Bush disebut sebagai evils atau iblis seperti Terorisme, Ekstrimisme dan Separatisme. Dan SCO pun menegaskan perlunya mekanisme untuk mencegah penggunaan teknologi informasi untuk melakukan aksi destabilisasi ekonomi, sosial, keamanan dan stabilitas politik suatu negara.
Namun beberapa negara berkembang lainnya, di luar skema SCO, meski bersepakat perlunya diatur Kerjasama Informasi Internasional, namun menolak adanya restriksi atau pengaturan yang bersifat ketat dan memaksa dari pemerintah, karena nantinya dikuatirkan akan mengarah pada terjadinya represi dalam kebebasan informasi dan media.
Maka itu, beberapa negara berkembang lebih condong menggunakan konsep Cyber Security atau Keamanan di Dunia Maya ketimbang Keamanan Informasi (Information Security). Pertimbangannya, biar bagaimanapun juga saat ini keterlibatan sektor swasta dalam bidang cyber media tak bisa dihindarkan lagi. Termasuk dalam keikutsertaannya dalam menyusun formulasi norma-norma internasional dalam bidang informasi internasional maupun cyber media.
Meski demikian, SCO maupun beberapa negara yang concern dalam bidang Cyber, sepertinya bersepakat dan bertekad bahwa ke depan menumpas para hackermancanegara yang didasari motif melayani kepentingan-kepentingan nasional negara-negara adidaya seperti AS, maupun tekad untuk memerangi serangkaian kejahatan dan pelanggaran keamanan lintas-negara di ranah Dunia Maya.
Penulis: Hendrajit, Pengkaji Geopolitik dan Direktur Eksekutif Global Future Institute (GFI)
Facebook Comments