Perlunya Memahami Teori Geopolitik Barat Meskipun Indonesia Tidak Menganutnya

Bagikan artikel ini

Konon, teori geopolitik erat kaitannya dengan angan-angan (desire) si perumusnya. Kenapa? Oleh karena tidak ada teori geopolitik yang bisa diterima oleh semua bangsa di dunia. Bahkan ada pendapat, geopolitik sebagai pandangan politik hanya dijadikan alat justifikasi ekspansi bagi negara perumus atau penyusunnya.

Indonesia misalnya, sama sekali tidak menganut teori-teori (geopolitik) Barat yang digagas oleh Frederich Ratzel, Rudolf Kjellen, Karl Haushofer, Sir Halford Mackinder, Wandell Wilky dll dimana cenderung ekspansif aktif. Geopolitik Indonesia justru defensif aktif, sesuai dogma: “Indonesia cinta damai tapi lebih cinta kemerdekaan.” Sekali lagi, defensif aktif.

Ya, dalam bergeopolitik — kita mengamalkan ajaran Bung Karno (BK) dan Panglima Soedirman.

Ajaran BK, selain menyatakan bahwa setiap manusia tak dapat dipisahkan dari tempat tinggalnya, atau rakyat tidak bisa dipisah dari bumi tempat mereka berpijak, ia menekankan, bahwa untuk menjadikan suatu bangsa menjadi besar, ada tiga faktor yang harus dipahami yaitu asal-usul lahirnya suatu negara (sejarah), bangsa dan tanah air (budaya), dan cita-cita serta ideologi (filsafat). Itulah pokok-pokok ajaran BK perihal geopolitik yang masih relevan sampai saat ini.

Pak Dirman malah lebih simpel pandangan geopolitiknya yaitu  “Pertahankan rumah serta halaman pekarangan kita sekalian.” Dan tidak boleh disangkal, justru dari rahim teori (geopolitik) Pak Dirman ini lahirlah Deklarasi Djoeanda 1957 yang gilirannya (mendorong)  terbitnya UNCLOS 1982. Sedangkan teori BK tidak disangsikan lagi, karena pokok-pokok pikirannya merupakan embrio UUD 1945 terutama bab pembukaan, konsepsi wawasan nusantara, ketahanan nasional, dan lainnya.

Pertanyaannya, “Untuk apa mendalami teori geopolitik Barat, sedang bangsa dan negara ini tidak menganutnya?”

Sebagaimana diurai di atas, bahwa teori geopolitik pada mulanya hanya untuk justifikasi ekspansi negara (kolonial) penyusunnya, seperti yang tersurat pada “teori ruang”-nya Ratzel, bahwa bangsa-bangsa di dunia mencoba tumbuh dan berkembang dalam upaya mempertahankan hidupnya. Dan hanya bangsa unggul yang dapat bertahan hidup dan langgeng serta membenarkan (melegitimasi) hukum ekspansi.

Nah, dari teori inilah kita mampu membaca langkah geopolitik Cina di Indonesia tentang Kebijakan Reklamasi di pantai-pantai di Indonesia, misalnya, atau skema investasi asing bermodel Turnkey Project Management,dimana semuanya, baik budget, materiil, top manager hingga tenaga kasar, diboyong dari Cina. Kita dapat melihat bahwa One Belt One Road (OBOR)-nya Xi Jinping yang menyasar/melintas  Indonesia merupakan implementasi teori Ratzel di atas. Intinya, Xi mencari ruang hidup baru bagi warga negaranya akibat “ledakan penduduk” di Cina daratan.

Pemikiran geopolitik bahwa manusia butuh negara, dan negara butuh ruang hidup (living space atau lebensraum), maka tatkala muncul klaim sepihak terhadap perairan Natuna dan perairan beberapa negara lain di Laut Cina Selatan oleh Negeri Tirai Bambu dengan mengabaikan  UNCLOS 1982 misalnya, niscaya dalam rangka memperluas ruang hidup terutama pengamanan rute dan jalur distribusi energinya. <em>Energy security</em>. Atau membelah (Terusan/Kanal) Kra Thailand, membangun Terusan Nikaragua, dan lain-lain. Itulah inti teori geopolitik yang melandasi OBOR-nya Xi Jinping mengurai dan memperluas living space, atau lebensraum (ruang hidup).

Bila dalam pagelaran (politik) itu selalu ada wayang, dalang, dan pemilik hajat/penanggap, maka mencermati geliat ekspansi Cina di Indonesia dengan beragam pola dan modus dari perspektif (teori ruang) geopolitik, diduga kuat bahwa Xi Jinping adalah pemilik hajat (ekspansi) mengingat masalah demografi yang kompleks di negaranya, lalu para pengembang —Cina perantauan— selaku dalang. Istilahnya 9 (sembilan) naga. Kenapa? Seperti pernah dikatakan oleh Lee Kuan Yew, “Bahwa yang menyatukan Cina perantauan ada dua: Darah dan Kebudayaan.”

Pertanyaan pamungkas, siapa wayang-wayang yang dipasang oleh Xi dalam rangka mencari ruang hidup baru di Indonesia?

Itu pe er minggu ini ..

Penulis: M. Arief Pranoto, Direktur Program Studi Geopolitik dan Kawasan Global Future Institute (GFI)

Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com