Konferensi internasional bertema “Finding Peaceful Solutions for South China Sea Disputes from ASEAN Perspectives” berlangsung di Jakarta, 1 September 2016. Sejumlah pakar dari dalam maupun luar negeri menjadi narasumber, terutama membahas serangkaian tantangan keamanan di Laut Cina Selatan (LCS).
Pada saat bersamaan, masyarakat dunia akan memberikan perhatian kepada LCS, berusaha mengurangi ketegangan dan memajukan resolusi damai bagi kawasan tersebut.
Bagi Perhimpunan Bangsa Asia Tenggara (ASEAN), konferensi ini telah memberikan manfaat untuk memperkuat persatuan di antara para anggotanya, menyelesaikan konflik di LCS. Empat anggota ASEAN (Malaysia, Brunei Darussalam, Vietnam dan Filipina) bersama dengan China dan Taiwan merupakan pihak-pihak yang mengklaim (claimant) atas sebagain atas seluruh wilayah di LCS.
Sudah seharusnya apa yang para pihak lakukan di kawasan tersebut sesuai dengan Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa/PBB tentang Hukum Laut (The United Nations Convention on the Law of the Sea/UNCLOS) yang disahkan tahun 1982.
Jika timbul konflik di antara mereka, UNCLOS sebagai produk hukum internasional harus menjadi rujukan, dan bukan sebaliknya membuat situasi menjadi rumit, serta bukan pula menonjolkan pendekatan militeristik.
Dalam kaitan ini, ASEAN dan Cina telah memiliki Deklarasi Perilaku (Declaration of Conduct /DoC) dan sedang membangun Kode Perilaku (Code of Conduct/CoC).
Berdasarkan keputusan Peradilan Tetap Arbitrase (Permanent Court of Arbitration /PCA) pada 12 Juli 2016, tak satu pihak pun di Spratly, gugusan pulau di LCS yang dipersengketakan, dapat memberlakukan Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE). Taiwan, misalnya, tak dapat memberlakukan ZEE di Itu Aba yang berada di kepulauan tersebut.
Sistem terumbu karang, menurut PCA, telah rusak akibat aktivitas yang dilakukan Cina di sana. Keputusan mahkamah itu menyatakan bahwa Cina menghalangi hak-hak nelayan Filipina di Scarborough Shoal dengan mencegah akses mereka ke kawasan tersebut.
Selain itu, reklamasi Cina untuk membuat pulau-pulau buatan tak sesuai dengan kewajiban-kewajiban sebuah negara dalam proses resolusi perselisihan.
Cina menolak apa yang telah diputuskan oleh PCA sebagaimana Presiden Cina Xi Jinping katakan bahwa Chna “tidak menerima pandangan atau aksi-aksi berdasarkan keputusan-keputusan pengadilan terkait perselisihan di kawasan tersebut”.
Pernyataan Kementerian Luar Negeri Cina menyebutkan bahwa Cina memiliki kedaulatan atas pulau-pulau di LCS, termasuk Kepulauan Paracel dan Spratly Vietnam. Lebih jauh dikatakan bahwa sikap Beijing “konsisten dengan hukum internasional dan ZEE telah berlaku di pulau-pulau tersebut, tempat orang-orang Cina bekerja lebih selama 2.000 tahun lalu”.
Seorang juru bicara Kemlu Cina menyatakan bahwa penolakan terhadap keputusan mahkamah itu sebagai”cacat hukum” dan “tak ada hubungan” dengan Cina.
Ia menuding keputusan atas “garis berbentuk U” itu yang menyebabkan “ketegangan di kawasan tersebut, menyebabkan “kerusakan serius” atas perdamaian dan stabilitas politik di LCS.
Keretakan ASEAN
Pertemuan para menteri luar negeri negara anggota ASEAN tak dapat membuat pernyataan umum mengenai isu perselisihan di LCS dalam pertemuan tahunan pada Jumat (25/7) di Vientiane, Laos. Banyak orang merasa kaget atas apa yang dihasilkan dalam pertemuan tersebut.
Juli lalu dalam sebuah pertemuan khusus di Kunming, Cina, perbedaan di antara negara anggota ASEAN sudah terlihat jelas ketika perhimpunan ini menarik kembali sebuah pernyataan keras yang mengecam Cina atas kedaulatan di LCS. Negara-negara yang bersekutu dengan Cina menolak pernyataan tersebut.
Hampir seluruh dunia menyaksikan apakah para menlu ASEAN memiliki suara sama yang menghormati keputusan mahkamah arbitrase itu dan menghormati hukum internasional atau tidak.
Tercatat dalam sejarah ASEAN, untuk pertama kali para menlu perhimpunan ini tidak mengeluarkan sebuah pernyataan bersama. Pasalnya sebagai ketua ASEAN tahun 2012, Kamboja menentang sebuah pernyataan bersama menteri luar negeri ASEAN mengenai LCS. Sikap yang diperlihatkan Kamboja itu mengundang pro-kontra.
Yang tampak nyata ialah persatuan ASEAN telah retak akibat kecenderungan Kamboja lebih memihak kepada Cina. Kamboja perlu membuat keputusan-keputusan mengenai masa depannya apakah akan seiring dan seirama dengan para anggota organisasi ini, atau mengikuti tetangganya yang raksasa, sekaligus kaya.
Perselisihan LCS adalah ujian kritis bagi ASEAN. Tanpa penanganan isu tersebut dengan pantas,organisasi ini berisiko terbelah lagi.
Penyelengaraan lokakarya internasional mengenai LCS ini tepat waktunya dan memiliki konteks dengan PCA yang telah mengeluarkan keputusan terkait dengan sebuah kasus yang diajukan Filipina terhadap Cina di LCS, khususnya terkait dengan konferensi tingkat tinggi ASEAN pada 28-29 September di Vientiane.
Facebook Comments