Nurman Diah, Wartawan Senior
Dua isu menonjol tajam dalam debat soal apakah Kepala Daerah (Gubernur,Bupati dan Walikota) dipilih langsung atau via DPRD? Seperti biasa salah satu di antaranya adalah masalah duit dan yang satu lagi manifestasi dari kedaulatan rakyat atau demokrasi jika itu dimaksudkan sebagai kedaulatan rakyat.
Jika itu soal duit, yang dikuatirkan adalah bahwa dengan Pilkada langsung negara harus mengeluarkan biaya cukup besar. Untuk 539 Daerah Otonomi, yang terdiri dari 34 provinsi, 412 kabupaten dan 93 kota. Kalau saja setiap Pilkada memakan biaya 45 milyar rupiah, maka negara harus mengeluarkan rupiah 16,1 trilyun setiap 5 tahun sekali. Biaya ini di luar dari biaya biaya untuk menyelenggarakan Pileg dan Pilpres. Jumlah yang besar ini tentunya lebih bermanfaat untuk kesehatan masyarakat, pendidikan atau pembangunan infrastruktur ketimbang bermain main dengan demokrasi Pilkada ala Amerika yang juga tidak terlepas dari kemungkinan menghasilkan Kepala Daerah yang korup.
Kendati jika via DPRD, Pilkada bisa jauh lebih hemat, karena para anggota DPRD sudah terpilih bersamaan dengan PIleg. Hanya saja yang dikuatirkan adalah permainan duit untuk memberikan dukungan pada para calon Kepala Daerah yang berminat maju. Para komentator amatiran malah berani mengambil konklusi bahwa Kepala Daerah via pemilihan di DPRD kerjanya hanya akan sibuk melayani para anggota legislatip bukan rakyat konstituen-nya.
Dipilih langsung pun sebetulnya ada juga permainan duit. Sistem demokrasi sekarang mengharuskan kandidat Kepala Daerah didukung oleh partai atau koalisi partai partai dengan kursi atau suara signifikan di daerahnya. Tarip itu akan lebih mahal jika yang didorong maju adalah calon independen tidak berakar di partai. Kalau calon ini tidak “berduit”-pun, dia berani maju karena sudah ada cukongnya. Sang Kepala Daerah terpilih nantinya juga harus balas budi ke pada cukongnya.
Sistem Pilkada via DPRD tidak juga suatu kemunduran demokrasi. Bahwasannya ini membawa Indonesia kembali ke era Orba, juga tidak. Di negara negara yang menganut sistem demokrasi parlementer partai (atau koalisi) dengan perolehan kursi terbanyak berhak menentukan kepala pemerintahan, termasuk di daerah, tanpa diperlukan lagi pemilihan langsung yang praktis mubazir.
Anggota anggota DPR atau DPRD pada hakikatnya dipilih rakyat untuk mewakilkan mereka dalam membuat undang undang dan mengawasi jalannya pemerintahan. Kenapa juga tidak sekalian saja termasuk mengajukan calon untuk menjalankan pemerintahan dan juga nanti memakzulkannya jika pilihannya tidak lagi amanah?
Apa kalau Pilkada langsung ini berarti rakyat lebih berdaulat? Omong kosong. Bagaimana berdaulat, jika pilihan nama nama itu sudah ada yang memajukan lebih dahulu, bahwa rakyat digiring ke bilk suara dengan duit atau ancaman, bahwa suara yang digunakan hanya 60-70% dari total DPT, dan Kepala Daerah terpilih akhirnya hanya berkisar 50% dari itu?
Kalau kembali ke masalah hitungan hitungan biaya jelas Pilkada langsung pasti menjadi sangat mahal. Apalagi tidak terjaminnya Kepala Daerah terpilih nantinya bebas korupsi, kronisme, dan nepotisme. Kan lebih baik mengeliminasi biaya biaya yang gak jelas manfaatnya seperti Pilkada, Pilpres dan menggunakan untuk kesejahteraan rakyat banyak, ketimbang menaikkan harga BBM?
Katanya nanti nggak bisa jalankan program program pemerintahan baru, karena nggak ada duit. Kenapa tidak mulai menghemat dari yang kecil kecil dulu, bukan kah sedikit sedikit nanti menjadi bukit juga?