Pokok-Pokok Teori Geopolitik (2)

Bagikan artikel ini

Penulis: M Arief Pranoto, Peneliti Senior Global Future Institute (GFI)

Tulisan ini sambungan artikel kemarin yang bertajuk: “Indonesia dalam Perspektif Geopolitk Jalur Sutera (1)”. Kenapa judulnya berbeda atau tak berlanjut, sebenarnya hanya soal taktis serta seni penulisan saja. Maksudnya agar catatan ini lebih sexy terlihat dan menarik hasrat pembaca untuk menelaah esensi. Tak lebih. Inilah ulasannya.

Ada teori beberapa pakar dimana ajaran mereka sering dijadikan rujukan banyak negara di dunia. Antara lain: “Teori Ruang”-nya Friederich Ratzel (1844–1904) misalnya, atau “Teori Kekuatan”-nya Rudolf Kjellen (1864–1922), “Teori Pan Region”-nya Karl Haushofer (1869–1946), teori Halford Mackinder (1861–1947) tentang Heartland (Jantung Dunia); atau “Teori Kekuatan Maritim”-nya Walter Raleigh (1554–1618), Alfred T. Mahan (1840–1914), dan lain-lain.

Pertama adalah ajaran Prof Frederich Ratzel, Jerman (1844-1904). Menurut Ratzel, negara dianalogikan sebagai organisme yang lahir, tumbuh, mempertahankan hidup, menyusut dan mati. Negara ialah “ruang” (wilayah) yang ditempati oleh kelompok politik dalam arti kekuatan. Makin luas potensi ruang tersebut, semakin besar kelompok politik itu tumbuh.

Maka hanya bangsa yang “unggul” yang mampu bertahan hidup dan langgeng. Sementara di satu sisi, semakin tinggi budaya suatu bangsa, semakin besar kebutuhan SDA-nya, sedangkan bila “ruang” tersebut tak bisa mendukung dinamika (budaya) bangsa tersebut di satu sisi, niscaya pada sisi lain kekuatan politik tadi akan mencari pemenuhan kebutuhan SDA di luar wilayah.

Teori Ratzel melahirkan gagasan untuk melegitimasi (hukum) ekspansi, terutama ketika dinamika budaya manusia (ekonomi, perdagangan, perindustrian, dll) membutuhkan  (imbangan) pemekaran wilayah. Ajarannya menekankan, bahwa hakikat batas-batas negara sifatnya sementara. Dengan kata lain, jika “ruang” hidup organisme (negara) tak lagi memenuhi keperluan, maka teori ini melegalkan (kaum) kelompok politik ‘dapat’ memperluas atau mengubah batas-batas negara baik secara damai maupun melalui jalan perang. Sekali lagi, makna ‘dapat’ artinya tidak wajib. Mereka boleh menggunakan atau tidak, tergantung dari political will kelompok atau elit politik sebuah negara.

Pada gilirannya teori ini menimbulkan dua aliran, dimana aliran pertama fokus pada kekuatan darat, sementara aliran lain berfokus pada kekuatan laut. Ketika muncul persaingan antara keduanya maka Ratzel pun mengemukakan gagasan baru, bahwa dasar-dasar suprastruktur geopolitik kekuatan total (menyeluruh) sebuah negara harus mewadahi pertumbuhan kondisi dan kedudukan geografinya. Ia menyatakan bahwa ada keterkaitan antara struktur (kekuatan) politik, geografi dan tuntutan pertumbuhan negara/organisme.

Kedua ialah teori Rudolf Kjellen, Swedish (1864-1922). Pada dasarnya ini lanjutan ajaran Ratzel, bahwa organisme (negara) dianggap sebagai “prinsip dasar”. Negara adalah sistem politik/pemerintahan yang meliputi bidang-bidang geopolitik, ekonomi politik, sosial politik dan politik memerintah. Negara merupakan satuan biologis, atau organisme yang memiliki intelektual, dan dimungkinkan memperoleh ruang cukup luas agar kemampuan dan kekuatan rakyat dapat berkembang bebas.

Negara tidak harus bergantung sumber luar, ia harus bisa swasembada serta memanfaatkan kemajuan budaya dan teknologi untuk meningkatkan kekuatan nasionalnya. Kedalam ia memperoleh batas-batas negara yang lebih baik, sementara kekuasaan imperium kontinental dapat mengontrol kekuatan laut.

Untuk ajaran yang dikemukakan Kjellen, menurut hemat penulis terkesan plin-plan. Ini pendapat pribadi. Terlihat kurang tegas, dll karena di satu sisi menekankan aspek swasembada, tetapi di sisi lain ia memberi ruang luas agar kemampuan rakyat dapat berkembang, dimana muaranya tentu ialah tindakan ekspansif sebagaimana teori Ratzel. Namun lupakan soal ‘plin-planisasi’ teori ini, kita lanjut ke teori geopolitik lain.

Berikutnya ialah Earnst Haushofer, Jerman (1869-1946). Inti ajaran Haushofer juga melanjutkan Kjellen, dimana perkembangan teori Haushofer dipengaruhi kondisi sewaktu Jerman di bawah Adolf Hitler. Hal (teori) ini juga dikembangkan oleh Jepang dalam ajaran Hako Ichiu yang dilandasi semangat militerisme dan fasisme.

Ia menyatakan, bahwa kekuasaan daratan yang kompak akan dapat menguasai (mengajar) imperium maritim untuk menguasai pengawasan di laut. Beberapa negara besar di dunia akan timbul serta bakal menguasai Eropa, Afrika, Asia Barat (Jerman dan Italia) dan Jepang di Asia Timur Raya.

Inti teori Haushofer, bahwa geopolitik merupakan doktrin negara yang titik-beratnya soal strategi perbatasan. Ruang hidup bangsa dan tekanan-tekanan kekuasaan dan sosial yang rasial mengharuskan pembagian baru kekayaan alam di dunia.

Teori berikutnya dari Halford Mackinder, British (1861-1946). Ajarannya berpangkal pada pernyataan Mackinder dalam buku “The Geographical Pivot of History” (1904):

“Who rules East Europe, command the Heartland; Who rules the Heartland, command the World Islands; Who rules the world islands, command the wolrd” 

(Terjemahan bebas: “Siapa mengatur Eropa Timur, akan mengendalikan jantung dunia (Asia Tengah); Siapa mengatur jantung dunia/Asia Tengah, maka akan mengendalikan Pulau Dunia (Timur Tengah); Siapa mengatur Pulau Dunia akan memimpin dunia”).

Sekurang-kurangnya, bila kita mendalami sedikit ajarannya Mackinder maka akan terkuak, kenapa Ukraina menjadi rebutan para adidaya dalam hal ini Rusia versus Barat (Amerika dan sekutu). Agaknya Mackinder merekomendasi, jika hendak memimpin dunia, maka titik mula harus menguasai Eropa Timur terlebih dulu. Kiranya terjawab secara sementara, mengapa Ukraina dijadikan proxy war (medan tempur) antara Rusia melawan Barat. Akan tetapi kajian ini tidak akan membahas jauh ke arah sana. Lain bahasan saja.

Menurut Dirgo D. Purbo, ahli 3-G (Geopolitik, Geoekonomi dan Geostrategi), serta dosen di beberapa perguruan tinggi dan institusi kedinasan di Indonesia, bahwa ajaran beberapa pakar dunia tadi memiliki pandangan sama atas pemahaman geopolitik sebagaimana benang merah di bawah ini:

“It must be regarded as a science bordering on geography, history, political science and international relations. The politician, the military planner and the diplomat can use geopolitics as a method to analyze how geographical factors can be of importants when planning, Geopolitics as the destiny”.

(Terjemahan bebas: “Itu berhubungan dengan ilmu yang berbatasan antara ilmu geografis, sejarah, ilmu politik dan hubungan internasional. Para politikus, perencana militer dan diplomat dapat menggunakan geopolitik sebagai metode analisa bagaimanana faktor-faktor geografi sangat penting dalam perencanaan. Geopolitik sebagai takdir”).

Tak sedikit anggapan, bahwa teori geopolitik terkesan melambung tinggi sehingga agak sulit dipahami (dibumikan). Istilahnya diawang-awang. Dalam kesempatan ini, penulis mencoba mengambil rujukan lain dari pakar Asia Tenggara agar mudah dipahami.

Adalah Jenderal Vo Nguyen Giap. Ia adalah konseptor perang (semesta) Vietnam yang berjasa mengusir Perancis tahun 1954 dan mampu mempecundangi militer Amerika (AS) dekade 1975-an dulu. Inti ajarannya ialah: “Kekuatan kami, baik defense (bertahan) maupun offensive (menyerang), berdasarkan atas keadaan-keadaan yang nyata dari Vietnam sendiri. Bukan atas dasar pengetahuan dari luar, melainkan atas dasar pengetahuan geopolitik dari Vietnam”.

Lebih sederhana dan membumi lagi, menurut hemat penulis justru teori (geopolitik) Panglima Besar Jenderal Sudirman yang sepertinya telah mulai dilupakan oleh segenap anak cucu. Ajarannya tak muluk-muluk serta disampaikan dalam bentuk kata mutiara: “pertahankan rumah serta pekarangan kita sekalian” (1947). Akan tetapi walau sederhana, implikasinya akan dahsyat jika dipraktekkan secara konsisten oleh bangsa dan (pemerintah) negara Indonesia.

Mari membahas ajaran Pak Dirman sejenak. Bahwa esensi teorinya, baik tersirat maupun tersurat sangat menolak atau mengharamkan “intervensi” asing ke dalam rumah, halaman serta pekarangan (Indonesia) terutama pada aspek atau elemen-elemen strategis bangsa tentunya. Retorika untuk aspek transportasi misalnya, sudahkah hilir mudiknya kapal-kapal asing di Indonesia sudah menjadi devisa bagi pemerintah? Retorika memang tidak untuk dijawab agar tulisan ini bisa diteruskan.

Bahkan pola atau model politik (kebijakan) luar negeri pun, jika berbasis mutiara kata Pak Dirman, mutlak harus berbasis Kepentingan Nasional RI. Foreign policy began at home, or foreign policy reflection domestic affairs (Kebijakan luar negeri dimulai dari rumah sendiri, atau cerminan urusan/kebutuhan di internal negeri). Bukan kebalikannya!

Esensi perbedaan ajaran pakar Barat dan Asia Tenggara boleh dibandingkan, bahwa tidak ada unsur ekspansif (kolonialisme) sama sekali dalam teori geopolitik Asia baik ajaran Nguyen Giap maupun Pak Dirman. Ia lebih menekankan tindakan defensif (bertahan) aktif terhadap serangan luar daripada menyerang atau ekspansif. Agaknya hal ini selaras dengan doktrin semesta kita: “Indonesia itu cinta damai, tapi lebih cinta kemerdekaan”.

Sebenarnya masih banyak ajaran geopolitik lainnya di Bumi Pertiwi baik milik Bung Karno, Pak Harto punya, dan lain-lain, namun penulis cukupi hingga ajaran Pak Dirman agar tidak membias kembali. Khawatir nanti dicap lagi sebagai “ilmu awang-awang” sebagaimana anekdot yang berkembang selama ini.

Sedangkan menurut penulis (ijin menambahkan), “ruh geopolitik” Indonesia harus merujuk pasal 33 UUD1945. Ini mutlak dan penting. Selaras dengan prolog pada tulisan ini, dimanapun geo, wilayah, dll seharusnya tidak hanya mengantar manusia atau bangsa hanya melenggang di gerbang kemerdekaan belaka, tetapi seyogyanya mengantar bangsa di atasnya hidup bermartabat di muka bumi.

Seandainya diibaratkan manusia, apabila pasal 33 ialah “ruh”-nya, maka tubuh, fisik, atau ujud geopolitik Indonesia adalah (sari) tujuan negara sesuai pembukaan UUD yakni melindungi segenap bangsa dan tumpah darah, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan (rakyat) dan ikut serta dalam ketertiban dunia.

Kesimpulan sementara penulis, pokok-pokok ajaran Ratzel, Kjellen, Haushofer, dll lebih menekankan serta melegalkan tata cara ekspansif dalam rangka memenuhi kebutuhan (survival) daripada tindakan swasembada itu sendiri. Maka geliat politik dari kelompok negara penganut teori geopolitik Barat cenderung mengarah pada “bangsa unggul”. Teori ‘Polisi Dunia’ misalnya, merupakan upaya Paman Sam agar dinilai oleh publik global sebagai bangsa unggul di muka bumi melalui penyebaran pangkalan militer di banyak negara, atau ‘pencitraan’ sosok tertentu pada layar lebar, pengglobalan nilai-nilai Amerika, maupun gaya hidup, dll.

Dan Australia pun (tampaknya hendak meniru), ingin pula dianggap sebagai ‘Polisi Asia Tenggara’ oleh negara-negara sekitarnya, namun sesungguhnya masih jauh dari harapan, bahkan menurut hemat penulis, Australia lebih tepat bila dijuluki sebagai  “kacung”-nya Barat di Asia Tenggara.

Kembali ke ajaran Mackinder yang fokusnya mapping kawasan kaya SDA, serta bagaimana mekanisme pengendalikan kawasan tersebut. Inti tesisnya jelas, puncak kawasan yang dituju ialah Heartland dan World Island melalui pintu Eropa Timur. Ia menyatakan, bahwa negara yang menguasai kedua kawasan dimaksud identik menjadi pengatur dunia. Itulah sumbangsih Mackinder dalam geopolitik.

Sedang hakiki ajaran geopolitik (Asia Tenggara) sebagaimana ajaran Pak Dirman dan Nguyen Giap, lebih menekankan kepada sistem pertahanan (semesta) berdasar kepada apa-apa yang ada, nyata dan berada (existance) di negara sendiri. Artinya, makna geopolitik kita (Indonesia) ialah bagaimana pola dan strategi menjalankan politik terutama kebijakan luar negeri dengan berbasis pada keuniqan geografis serta local wisdom yang melekat dalam bangsa dan negaranya sendiri.

Jelas sudah, bahwa model dan implementasi geopolitik Indonesia, baik yang tersurat maupun tersirat tidak memiliki niat atau strategi untuk melakukan ekspansi keluar (kolonisasi) sebagaimana dikhawatirkan oleh negeri-negeri sebelah (tetangga) selama ini.

Bersambung (3)

Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com