Politik 3-G Hancurkan Indonesia!

Bagikan artikel ini

M Arief Pranoto, Research Associate Global Future Institute (GFI)

Adakah disadari oleh segenap tumpah darah Indonesia, bahwa gegap gempita dan hiruk-pikuk politik di era reformasi, cenderung melemahkan kedaulatan negara serta dikuasainya berbagai sumber daya alam (SDA) ditangan segelintir orang atau kelompok. Dalam hal kedaulatan misalnya, tak sedikit perangkap asing seperti jerat utang yang sudah di atas Rp 2000 Triliun, belum lagi jerat impor pangan dan energi mencapai 65% lebih. Lalu 95% sektor keuangan dan asuransi dikuasai asing, pertambangan batu bara sekitar 75% bahkan perbankan nasional 65-70% berada dalam cengkeraman pihak luar. Dari 195 juta hektar daratan Indonesia, sekitar 93% atau 173 juta hektar telah dikuasai asing dan kaki tangannya (kaum komprador), misalnya 42 juta hektar pertambangan dikuasai dalam bentuk KK, KP dan IUP, kemudian seluas 95 juta hektar oleh perusahaan migas, sekitar 32 juta hektar jatuh ke perusahaan perkebunan (HPH, HTI dan HPL) dan hanya 9 juta hektar untuk HGU sawit. Jika ada data lebih valid silahkan dikemukakan.

Agaknya lemahnya kedaulatan bangsa dan tergadainya SDA negeri ini, selain diakibatkan akumulasi sistem politik pasca Bung Karno lengser dulu juga bermainnya pola politik “3-G” ciptakan asing di republik ini, dan memuncak saat era reformasi.

G pertama dari politik 3-G artinya “gagah” (pencitraan). Inilah runyamnya. Bukankah citra itu hanya semu belaka? Baudrillard menyebutnya hyper-reality atau realitas semu. Hari ini kita hidup dalam era simulakra, katanya dimana batas antara realitas dan citra telah melebur, bahkan citra telah berubah menjadi realitas itu sendiri. Itulah yang terjadi. Maknanya tatkala (sumber) sistemnya “menipu” karena tak sesuai realita maka aliran dibawahnya niscaya “tipu-tipu”. Ini logika awam. One man one vote digebyarkan atas nama nilai global (demokrasi) padahal ibarat membeli kucing dalam karung. Bisakah sebuah sistem dikatakan adil apabila suara profesor disamakan dengan suara petani di gunung sana? Layakkah suara mantan gubernur bernilai sama dengan pemilih pemula? Sekali lagi, inilah yang kini terjadi. Hak suara dikedepankan, hak bicara diabaikan. Pilihan langsung digelorakan, nilai leluhur musyawarah mufakat justru disimpan!

G kedua maksudnya “gagak”. Ya, ibarat burung gagak kerjanya cucuk sana-cucuk sini. Apalagi  jika ada makanan (proyek) di depan mata, pasti habis (dicucuk) disikatnya. Banyak contoh. Oleh sebab ingin gagah tentunya perlu banyak biaya. Betul? Tancap baliho misalnya, atau menebar uang dan ragam sembako. Dari mana uang sebanyak itu kalau bukan modal, modal dan modal merupakan fokus (garapan) utama? Pertanyaannya, bagaimana akan membangun negeri jika para pejabat dan segenap elitnya sibuk membangun realitas semu bagi dirinya sendiri? Apakah ini bermakna bahwa model pemilu saat ini yang berkuasa justru pemilik modal? Silahkan direnungkan. Global Future Institute (GFI), Jakarta pimpinan Hendrajit pada akhir 2011 menyatakan, model demokrasi Indonesia saat ini yang berkuasa adalah kaum pemodal. Dan implikasinya jelas, bahwa korupsi di Indonesia sesungguhnya sengaja dicipta melalui sistem yang ada.

Tetapi semua terjadi dikarenakan G ketiga, yakni “gugup”. Siapa orang tidak akan gugup menghadapi hari tua ketika “senja” hampir tiba. Apakah kelak rakyat masih tetap loyal bila tanpa ada limpahan harta. Sorak dan puja-puji sewaktu menjabat ingin tetap diraihnya hingga senja usia. Ibarat kecemasan sumur kering tidak ada yang mampir. Bayangan panti jompo membuat ia “gelap mata” dikala kuasa. Itulah yang kini tengah berlangsung di negeri ini.

Menutup catatan sederhana lagi singkat ini, timbul kuat harapan — bila model politik ini tak diakhiri, dan tidak segera dibangun kontra konstruktif atas politik 3-G  di atas, maka lebih mudah melumpuhkan Malaysia atau menghancurkan Singapura daripada membangun kembali Indonesia tercinta!

Terimakasih.

)* Dari berbagai sumber terutama diskusi-diskusi terbatas di Forum Kepentingan Nasional RI (KENARI) pimpinan Dirgo D. Purbo, Forum Diskusi Wantanas dan Pakar, dan Forum Diskusi Global Future Institute, Jakarta* —

Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com