Politik Luar Negeri Iran: Perspektif Global

Bagikan artikel ini

Penulis : Dina Y. Sulaeman, mahasiswa Program Doktor Hubungan Internasional Universitas Padjadjaran, peneliti di Global Future Institute (GFI)

Indonesia Council on World Affairs (ICWA), sebuah lembaga yang didirikan almarhum Ali Alatas, mantan Menlu Indonesia, kemarin menyelenggarakan sebuah forum kuliah politik dengan pembicara Menlu Iran, Dr. Javad Zarif. ICWA adalah lembaga yang beranggotakan para diplomat yang berada di Indonesia (baik diplomat Indonesia maupun negara-negara sahabat), serta para akademisi dan think tank di bidang politik luar negeri. Peneliti Global Future Institute, Dina Y. Sulaeman, berkesempatan hadir dalam acara tersebut dan menuliskan laporannya berikut ini.
***

Mohammad Javad Zarif. Wajahnya penuh senyum, dengan tatapan mata jenaka. Suasana yang awalnya formal jadi terasa segar melihat gesturnya yang rendah hati dan ramah. Saat berpidato, Menlu Iran ini menunjukkan kemampuan orasi yang luar biasa. Terkadang nadanya sangat tegas dan penuh semangat, terkadang menyelipkan humor dan membuat hadirin tergelak. Dengan bahasa Inggris yang sangat lancar, selama sekitar 45 menit tanpa teks, dia menjelaskan kebijakan luar negeri Iran dari perspektif global. Argumen-argumennya memakai logika universal yang berpijak pada ke-kita-an, bukan ‘saya’ atau ‘mereka’.

Berakhirnya Era Zero-Sum

Dalam kuliah politik bertajuk Foreign Policy of the Islamic Republic of Iran: A Global Perspective yang diselenggarakan Indonesia Council on World Affairs (ICWA), 7 Maret 2014, Menlu Iran Javad Zarif menjelaskan bahwa era politik zero-sum sudah habis. Di zaman globalisasi ini, apapun yang terjadi di satu sudut bumi, akan berpengaruh pada hampir semua penduduk bumi.  Misalnya, masalah perubahan iklim;  tidak ada satu negara pun yang mengklaim bisa menghadapinya seorang diri; selalu membutuhkan kerjasama antarnegara.

Hubungan internasional kini tidak lagi didominasi oleh dua negara besar (AS dan Uni Soviet) yang mendeterminasi arah kebijakan global seperti era Perang Dingin. Dunia tengah beralih dari community of nations (komunitas negara-negara) ke arah global community (komunitas global), di mana individu, kelompok, jaringan, mampu mempengaruhi hubungan internasional, dan artinya mampu berperan untuk mengubah situasi ke arah yang baik bagi kemanusiaan.

Dalam situasi seperti  ini, isu security (keamanan) tidak mungkin lagi dipandang sebagai isu zero-sum (aku menang, engkau kalah). Sebuah negara tidak mungkin lagi meraih keamanan dengan cara mengorbankan keamanan negara-negara lain.  Tidak ada yang bisa aman, ketika pihak lain tidak aman. Bukti terbesar dari pendapat ini adalah Tragedi 9/11. Mr. Zarif menceritakan, dirinya pernah bertugas di PBB, New York, sebelum dan setelah 9/11. Dengan matanya sendiri dia melihat ekspresi cemas dan ketakutan orang-orang New York.

Zarif bertanya retoris, “Bagaimana mungkin AS, sebuah negara dengan bujet militer terbesar di dunia, ternyata tak mampu memberikan keamanan kepada warganya sendiri? Bahkan gedung yang seharusnya paling aman, Pentagon, juga tak luput dari serangan teroris.”

Amerika, yang memiliki nuklir, dan satu-satunya negara di dunia yang pernah mengebom negara lain (Jepang) dengan bom nuklir, ternyata tetap tidak aman.

“Tetapi mengapa sebagian pemerintah negara-negara sulit sekali memahami ini?” tanya Zarif. “Dalam perang, tidak ada yang menang. Semua pihak akan kalah (rugi), meski kekalahannya punya derajat berbeda-beda, ada yang minus satu, ada yang minus sepuluh. Tapi sama-sama minus, sama-sama rugi.”

Atas dasar perspektif ini, Iran atau siapapun, menurut Zarif, sesungguhnya tidak memerlukan senjata nuklir. Senjata nuklir tidak menjamin keamanan kepada negara manapun. Perjanjian NPT (Non Proliferasi Treaty) didirikan atas tiga pilar, tidak memproduksi senjata nuklir, perlucutan senjata nuklir yang telah ada, dan penggunaan nuklir untuk kepentingan damai.

“Ketika Iran ditekan dan diintimidasi dengan alasan nuklir, artinya, justru ada pelanggaran terhadap NPT, yaitu menghalangi Iran untuk mengembangkan teknologi nuklir damai,” tandas Zarif.

Saat Iran disanksi, perdagangan di pasar gelap meningkat. Segelintir pedagang akan mengambil keuntungan besar, sementara rakyat Iran kebanyakan akan dirugikan oleh harga yang sangat tinggi.

“Lalu, rakyat Iran menjadi sangat marah kepada negara-negara pemberi sanksi.  Mereka menilai bahwa kesulitan ekonomi yang ada adalah gara-gara negara-negara pemberi sanksi. Mereka tidak marah kepada pedagang yang mengambil keuntungan di pasar gelap itu. Jadi, siapa yang rugi sebenarnya?” Zarif kembali memberi pertanyaan retoris.

Di sini, Zarif memberi pesan bahwa AS dan Eropa dengan segala sanksinya itu, telah merugikan rakyat Iran  dan diri mereka sendiri sekaligus; dan telah menciptakan segelintir oportunis yang bergelimang uang dengan memanfaatkan sanksi.

Selain itu, dijelaskan oleh Zarif, terbukti bahwa meski disanksi belasan tahun, Iran tetap berhasil menambah mesin sentrifugalnya, dari 200 unit (di awal tahun 2000-an) menjadi 19.000 unit. Dukungan rakyat kepada pemerintah pun justru semakin meningkat. Padahal, salah satu tujuan sanksi Barat adalah agar rakyat menjadi marah kepada pemerintah dan terjadi pergantian rezim. Namun, yang terjadi adalah turn-out vote (jumlah peserta pemilu) yang sangat tinggi, menunjukkan dukungan rakyat terhadap sistem. Hal ini memberikan legitimasi yang besar kepada pemerintah; memberi mereka kekuatan untuk bernegosiasi dengan pihak luar.

Tentang Suriah

Dalam sesi tanya-jawab, penulis berkesempatan mengajukan pertanyaan kepada Mr. Zarif, “Sejak konflik Suriah, di Indonesia banyak pihak yang melakukan hate-speech(pidato/pernyataan kebencian ) terhadap Iran. Apakah Anda melihat masalah ini akan jadi hambatan bagi hubungan Iran-Indonesia?”

Mr. Zarif menjawab, “Siapa saja yang memandang konflik Suriah sebagai konflik Sunni-Syiah, hanya akan merugikan Dunia Islam dan kemanusiaan. Konflik ini sama sekali bukan masalah sektarian. Umat Islam harus bersatu menghadapi terorisme yang terjadi di Suriah. Allah berfirman, qul yaa ahlal kitaab ta’aalaw  ilaa kalimatin sawaa… “ (Zarif mengutip ayat Quran dengan fasih, yang berisi seruan dari Allah kepada semua pemegang kitab wahyu agar bersatu dalam kalimat yang tunggal, bahwa tidak ada yang patut disembah selain Allah).

Situasi yang terjadi di Suriah saat ini, selain menyedihkan, juga sangat mempermalukan Islam. Kita lihat sesama Al Qaida di Suriah saat ini saling memenggal kepala. Mereka mengklaim diri sebagai muslim sehingga perilaku mereka itu benar-benar mempermalukan Islam,“ kata Zarif.

“Barat berusaha memberikan ilusi bahwa konflik Suriah adalah rentetan dari Arab Spring dan bahkan berilusi bahwa dalam dua bulan Assad bisa digulingkan. Ilusi ini harus dihapus. Rakyat Suriah harus dibiarkan untuk menentukan sendiri nasib mereka, tanpa campur tangan asing. Iran memandang bahwa sama sekali tidak boleh ada intervensi asing dan solusi militer untuk Suriah,” tambahnya.

Mr Zarif juga kembali mengingatkan bahwa ilusi zero-sum harus dihapus dalam memandang konfik Suriah. Kondisi Suriah saat ini membuktikan, tidak ada yang menang; semua pihak sama-sama kalah dan rugi di Suriah.

“Namun upaya [untuk mengubah ilusi]itu, sepertinya masih memerlukan waktu yang panjang,” kata Zarif.

Tak Ada yang Lebih Mahal dari Kemerdekaan

Lebih lanjut, terkait nuklir, Iran mengambil langkah untuk lebih memperkuat hubungan dengan negara-negara yang sevisi dengannya dalam masalah pemanfaatan nuklir damai. Menurut Zarif, lebih baik memperkuat tangan negara-negara yang tidak setuju dengan sanksi daripada Iran daripada terus berseteru dengan negara-negara yang berkeras kepala untuk menerapkan sanksi kepada Iran.

“Negara-negara itu, terutama diplomatnya, punya kepentingan pribadi dengan terus mengangkat isu sanksi,  demi peningkatan karir mereka,” kata Zarif yang disambut tawa peserta kuliah politik itu, yang sebagian besarnya adalah para diplomat.

“Yang diperlukan Iran kini adalah masalah kepercayaan internasional. Dengan hitung-hitungan logis saja, tanpa perlu melibatkan masalah ideologi, Iran tahu bahwa upaya memperluas power (kekuasaan) dan dominasi di kawasan, justru akan melemahkan power Iran sendiri,” lanjutnya.

“Barat seharusnya mengakui bahwa sanksi telah gagal,” tandas  Zarif. Tapi yang terjadi, sebagian negara tetap mau berbisnis dengan Iran; saat diancam sanksi oleh AS, mereka bisa balik mengancam akan menuntut ke WTO. Zarif juga  menceritakan, selain tekanan embargo, Iran juga diserang melalui terorisme. Hingga kini ada lima ilmuwan nuklir yang dibunuh oleh agen Israel.

“Kami telah membayar mahal demi mempertahankan proyek nuklir damai ini. Namun, tidak ada yang lebih mahal dari kemerdekaan, harga diri, dan integritas,” tegas Zarif.[]

 

Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com