Pipit Apriani, S.Pd, Mahasiswa S2 Ilmu Politik Universitas Indonesia dan Research Associate GFI
Dari semua kandidat presiden yang beredar, intuisi saya mengarah ke Prabowo. Meski dihujani banyak kritik, khususnya dari kalangan aktivis mengenai penculikan aktivis tahun 1998, tapi Prabowo yang paling punya peluang terpilih jadi presiden.
Pertama, dia adalah pensiunan tentara. Dalam sejarah kepresidenan Indonesia, salah satu syarat jadi presiden adalah harus dari militer. Ketika sipil yang menjadi presiden (Habibie, Gus Dur, dan Mega), tentara (dan polisi) tidak tenang. Sewaktu Gus Dur terpilih jadi presiden tahun 1999, saya memperkirakan tentara akan masuk kancah politik Indonesia 10 tahun lagi atau dua kali periode pemilu. Mengingat “kejengkelan memuncak” rakyat Indonesia terhadap Soeharto yang notabene adalah militer. Tapi tahun 2004, tentara tidak sabar menunggu dua periode itu, maka ditaruhlah SBY, pensiunan tentara yang cukup kalem dan bisa diterima sipil.
Kedua, bergabungnya PKS dengan Gerindra. Saya menunggu kemana PKS berkoalisi, baru saya menulis analisis ini, karena jujur saja, PKS pandai ‘membaca arah angin’. Siapa yang diperkirakan akan menang, itulah yang didekati PKS. Kalau dalam marketing, PKS meniru Alfamart dan Indomaret, toko mereka kadang tak berjauhan, karena pihak analisis masing-masing punya kemiripan data dan penarikan kesimpulan, dan toh kenyataannya dua-duanya tetap ramai dikunjungi pembeli.
Ketiga, dari diskusi dengan sejumlah teman-teman yang memiliki analisa yang bisa saya percaya, kesimpulan mereka adalah hanya Prabowo yang punya blue print mengenai Indonesia dan kebijakan Indonesia di masa mendatang. Prabowo sendiri adalah tentara yang kutu buku dan memiliki perpustakaan pribadi mengenai militer terlengkap di Indonesia. Jadi kalau blue print itu ada, itu adalah hasil pemikirannya.
Dalam hal blue print atau penyebutan visi misi, Jokowi masih mengelak. Dugaan saya adalah, karena Jokowi tergantung pada tim suksesnya dan partainya. Kalau perencanaan mereka sudah matang, baru Jokowi akan mengemukakannya ke publik.
Balik lagi ke masalah intuisi. Oktober 2010 saya ke Solo, dan intuisi saya mengatakan bahwa Jokowi akan ke Jakarta. Setelah terpilih jadi Gubernur DKI, saya mencari-cari intuisi, mungkinkah Jokowi menjadi presiden RI? Saya tidak mendapatkannya hingga hari ini. Jadi saya harus memakai logika saya.
Saya paham kegalauan Megawati dalam menentukan Jokowi sebagai capres dari PDI-P dan sekarang menentukan cawapres bagi Jokowi. Pasangan Jokowi-JK adalah sesuatu yang tidak mungkin. JK sudah tidak punya “pulung” sebagai cawapres. Sebagai negarawan dan bapak bangsa, ya. Jika tetap terjadi, Jokowi-JK adalah sipil, dan artinya militer sulit menerimanya.