Pro Kontra Sidang Sengketa Pilpres 2014

Bagikan artikel ini

Delia Putri, pemerhati dan citizen reporter

Mengakui kalah adalah kata yang gampang diucapkan,  tetapi  sulit untuk diterima apalagi untuk  dilaksanaka n oleh pihak  yang dinyatakan kalah, ungkapan ini ada benarnya. Meski sebelumnya sudah sama-sama menandatangani  pernyataan siap menang dan sia kalah, pasangan calon presiden dan wakil presiden Prabowo-Hatta  belum mau menerima keputusan  Komisi  Pemilhan Umum (KPU) yang memenangkan pasangan calon lawannya. Kubu Prabowo-Hatta menilai KPU mengabaikan rekomendasi Bawslu terkait pemungutan suara ulang di lebih dari 5.800 TPS, banyak temuan tindak pidana Pemilu yang dilakukan peyelenggara, dan menilai KPU selalu mengalihkan masalah ke MK, serta menilai terjadi kecurangan secara terstruktur, terencana, masif dan sitematis untuk mempengaruhi hasil Pilpres 2014. Sayangnya kubu Prabowo-Hatta baru mengklaim mengenai adanya kecurangan setelah KPU hampir menyelesaikan proses rekapitulasi, padahal  untuk mengetahui adanya kecurangan, harus dilakukan sejak awal penghitungan suara di TPS. Demi mencari keadilan, kubu Prabowo-Hatta mengajukan gugatan hukum ke Mahkamah Konstitusi (MK).

Masing-masing kubu didukung oleh media tertentu, sehingga terjadi pro-kontra dalam berbagai pemberitaan yang disampaikan oleh berbagai nara sumber yang rata-rata tidak  netral karena memihak kesalah satu kubu.  Terjadi saling serang dalam pernyataan di media masa untuk mendukung pihaknya masing-masing. Pemberitaan tersebut membuat kebingungan dan kegelisahan dimasyarakat yang sedang mengikuti perkembangan persidangan di MK. Karena itu publik sangat mengharapkan agar media bersikap netral serta menganjurkan masyarakat supaya tidak terprovokasi dan mau menghormati peroses hukum yang sedang berjalan dan bisa menerima hasil apapun pada putusan hasil gugatan pada 21 Agustus 2014 mendatang.

Dalam sidang pertama, Capres Prabowo Subianto antara lain menyinggung masa lalunya,  bahwa ia pernah dituduh ingin melakukan kudeta terhadap pemerintahan yang sah. Ia juga mengeluhkan adanya intervensi negara asing dalam penyelenggaraan Pemilu Presiden 2014. Ia menuding KPU telah melakukan kecurangan secara terstruktur, sistematis, dan masif. Prabowo memberi contoh dirinya dan Hatta Rajasa tidak mendapat suara sama sekali di ratusan TPS saat Pilpres 9 Juli lalu, padahal  dirinya dan Hatta didukung hingga tujuh parpol yang  memperoleh hingga 62 persen suara saat Pemilu legislatif April lalu,  sedangkan disisi lain kubu lawan  memperoleh suara 100 persen. Awalnya Prabowo menyebut hal seperti itu hanya terjadi di negara totaliter di Korea Utara, namun  kemudian diralat bahwa  di Korea Utara pun tidak terjadi, mereka bikin 99 persen. Di Indonesia  ada yang 100 persen,  ini hanya terjadi di negara totaliter, fasis, dan komunis. Kita ada saksi (yang memberikan suara di TPS), masa saksinya tidak dihitung.

Meremehkan Gugatan

Sebaliknya kubu pendukung Jokowi-JK memberikan tanggapan yang meremehkan gugatan yang diajukan Prabowo-Hatta. Ketua tim kuasa hukum Jokowi-JK,  Sirra Prayuna mengatakan konstruksi hukum yang dibangun oleh kubu Prabowo-Hatta sebagai suatu delusi, lebih banyak asumsi tanpa didampingi data dan fakta yang akurat. Sedangkan Ketua Iluni fakultas hukum UI, Melli Darsa mengatakan Majelis Hakim MK perlu mengeluarkan Putusan Provisi menyangkut legal standing pasangan Prabowo-Hatta sehubungan dengan adanya penarikan diri dari proses  Pilpres 2014 dan  penolakan oleh Prabowo. Sementara itu Politisi PDIP, Tubagus Hasanuddin mengatakan ucapan Prabowo Subianto soal pelaksanaan Pemilu di Indonesia yang penuh kecurangan dan bahkan menyebut layaknya kondisi di negara fasis dan komunis  tidak elok. Prabowo bahkan menyakiti rakyat Indonesia yang telah memperjuangkan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Tubagus mengingatkan bahwa  KPU itu produk rakyat Indonesia, produk kita bersama dan bukan produk fasis dan komunis.

Pada dasarnya kewenangan penyelesaian sengketa hasil Pemilu oleh MK sudah secara lugas disebutkan dalam UUD 1945 pasal 24C ayat (1). Selain itu,  secara prosedural aturan tersebut dipertegas dalam UU Pilpres pasal 201 ayat (1) yang menyebutkan bahwa pengajuan keberatan hasil pemilu ke MK paling lambat tiga hari setelah penetapan hasil Pilpres. Sedangkan masa pemutusan perselisihan tersebut paling lama 14 hari setelah pengajuan keberatan (ayat 3). Sedangkan perselisihan yang diputuskan adalah perolehan hasil suara pemilu presiden sesuai dengan peraturan MK Nomor 4 Tahun 2013 pasal 3. Berdasarkan aturan tersebut diatas, maka dalam demokrasi Indonesia, proses gugatan ke MK merupakan jalan sah dan konstitusional yang dijamin UU Pemilu. Proses persidangan di MK bukan saja berguna bagi pihak yang menggugat tetapi juga berguna bagi pihak yang dinyatakan menang oleh KPU.
Bagi pasangan terpilih, jika tetap diayatakan menang oleh MK  berarti putusan itu akan menambah legitimasi dan menghapus bayangan  keragu-raguan dari isu kecurangan.  Keputusan MK nanti bersifat final dan mengikat, karena setelah MK mengeluarkan keputusannya maka  pelantikan pasangan calon terpilih segera  dapat diproses dan siapun harus tunduk. Karena itu diharapkan siapapun harus bersikap kestria dengan menerima apapun keputusan MK, dan menjalankan tertib sosial sesuai pernyataan sikap sebelumnya, siap kalah dan siap menang.

Apa yang berlangsung saat ini di MK adalah sesuatu yang sangat wajar dan merupakan tindakan yang mengedepankan semangat keadilan, karena itu  sangat diharapkan agar media masa  tidak perlu mempermasalahkan proses gugatan hasil Pilpres 2014 tersebut. Pers  semestinya  tetap mendukung proses Pemilu yang demokratis dan sesuai dengan aturan yang berlaku. Pers harus  menyerukan kepada kedua pihak pasangan calon presiden dan wakil presiden agar tetap menghormati proses yang berlaku dengan menjalankan pemberitaan yang berimbang dan tidak memprovokasi masyarakat. Pendukung pasangan calon  maupun tim suksesnya harus menghormati proses hukum yang sedang berjaan di MK. Jangan sampai ada tindakan-tindakan provokatif yang dapat mengganggu kinerja MK, karena itu mediamasa maupun media sosial perlu secara terus menerus mengajak masyarakat ajar tetap menjaga situasi ketertiban masyarakat tetaop kondusif dan menghiormati apapun keputusan MK. Termasuk jika MK memenangkan gugatan pasangan calon yang dikalahkan KPU.

Kelompok media berpotensi membentuk polarisasi pemberitaan terkait dengan hasil putusan MK, karena itu media perlu memberitakan bahwa proses sengketa Pemilu sudah sesuai dengan prosedur yang ada. Dengan itu diharapkan masyarakat dapat menerima putusan MK secara baik. Kita percaya bahwa demokrasi berdasarkan hukum seperti yang diterapkan di Indonesia sangat bagus dan dapat memberikan kemaslahatan sehingga gugatan Pipres sama seperti yang dilakukan dalam Pilpres-Pilpres sebelumnya adalah untuk Indonesia.

Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com