Salah satu alasan yang menyebabkan pelaut Bugis tidak bisa melanglangbuana lagi ke seluruh penjuru dunia ini tiada lain karena perjanjian Bungaya yang ditanda-tangani antara pihak kompeni Belanda dengan Kesultanan Gowa tanggal 18 November 1667 yang memaksa rakyat Gowa menjadi dipenjara di rumahnya sendiri (nusantara).
Sejak saat itu pulalah Belanda dengan taktik Devide Et Impera-nya mulai mengadu domba satu persatu tokoh-tokoh anak bangsa agar saling bunuh membunuh.
Miris sekali. Perjanjian demi perjanjian culas dan mengikat anak negeri satu persatu makin melemahkan perjuangan dan semangat heroik yang doeloe pernah digembar-gemborkan di era kejayaan Nusantara I pada abad ke 7 maupun era Nusantara 2 di abad ke-14.
Ini salah satu isi perjanjian tersebut:
“Pemerintah dan rakyat Makassar tidak boleh berlayar ke mana pun kecuali Bali, pantai Jawa, Jakarta, Banten, Jambi, Palembang, Johor, dan Kalimantan, dan harus meminta surat izin dari Komandan Belanda di sini (Makassar). Mereka yang berlayar tanpa surat izin akan dianggap musuh dan diperlakukan sebagaimana musuh. Tidak boleh ada kapal yang dikirim ke Bima, Solor, Timor, dan lainnya semua wilayah di timur Tanjung Lasso, di utara atau timur Kalimantan atau pulau-pulau di sekitarnya. Mereka yang melanggar harus menebusnya dengan nyawa dan harta”.
Perjanjian di atas ternyata cocok dengan statementnya Juri Lina, penulis Swedia dalam buku “Architects of Deception- the Concealed History of Freemasonry” (2004). Ia berasumsi, bahwa ada tiga cara untuk melemahkan dan menjajah suatu negeri. Antara lain:
1. Kaburkan sejarahnya,
2. Hancurkan bukti-bukti sejarahnya agar tidak bisa dibuktikan kebenarannya,
3. Putuskan hubungan mereka dengan leluhurnya, katakan bahwa leluhurnya itu bodoh dan primitif.