Jurus Naga Membelit Dunia

Bagikan artikel ini

Abad ke 20 lalu dianggap era Atlantis. Abad ke 21 kini adalah era Asia Pasifik. Dan sebagai konsekuensi logis atas dinamika tersebut, panggung (politik) global kini tengah berlangsung apa yang disebut geopolitical shift atau pergeseran geopolitik dari Atlantik ke Asia Pasifik. Wajar. Inilah asumsi awal pada catatan sederhana ini.

Maka memasuki abad ke 21, tampaknya Cina tak main-main dalam upaya mengembangkan (geo) strateginya terutama dalam rangka mengamankan berbagai  kepentingan nasional yang mana salah satu yang urgen ialah energy security (ketahanan dan jaminan pasokan energi), mengingat Cina masih tergolong net oil importer sepertinya halnya Indonesia, yaitu negeri yang memiliki KETERGANTUNGAN terhadap negara lain atas kebutuhan (impor) minyak dan gas (migas), kendati impor migas Indonesia semata-mata karena salah (urus) kelola saja, namun tak dibahas pada tulisan ini.

Program spektakuler pun ia langkahkan dengan rencana membangun dua kanal (terusan) sekaligus di dua benua berbeda. Pertama, rencana ‘memotong’ (membuat kanal) di Brito, Nikaragua; dan kedua, menerabas (dan membangun) Terusan Isthmus, Thailand. Ini sungguh luar biasa. Kanal di Nikaragua akan menyambungkan dua samudera yaitu Lautan Atlantik dan Pasifik, sedang Kanal Isthmus di Thailand bakal menghubungkan antara perairan Cina Selatan, Teluk Thailand dan Lautan Hindia.

Wang Jing, Senin (22/12/2014),  Presiden HKND Group, perusahaan Cina yang dipercaya membangun terusan ini mengatakan, bahwa kanal ini akan masuk dalam sejarah. Ya. Terusan sepanjang 200-an kilometer (km) yang pembangunannya memakan biaya sekitar USD 50 miliar atau sekitar Rp 600-an triliun dipastikan akan beroperasi dalam lima tahun ke depan (sekitar tahun 2020). Nantinya, ia akan lebih dalam dan lebih lebar daripada Terusan Panama.

Berbeda dengan panjang Kanal Brito di Nikaragua (200-an km), Kanal Isthmus meski hanya 100-an km —bila sudah beroperasi kelak— akan mempersingkat jarak tempuh 1.000-an km dibanding jalur pelayaran sebelumnya yang melintas dari Laut Cina viaSelat Malaka ke Teluk Thailand, Lautan Hindia dan sekitarnya. Adapun badan hukum yang dipercaya untuk membangun Terusan Isthmus adalah perusahaan plat merah Cina yaitu Liu Gong Machinery Co. Ltd dan XCMG, serta perusahaan swasta Sany Heavy Industry Co. Ldd.

Terkait alasan rencana pembangunan Kanal Isthmus, data-data China Daily Mailmenyatakan bahwa pelayaran melalui Selat Malaka dinilai dua kali lebih berbahaya daripada  pelayaran via Terusan Suez di Mesir, bahkan empat kali lebih berbahaya dibanding lintasan Terusan Panama di Amerika Latin. Pertanyaannya,  “Adakah urgensi lain dibangunnya Kanal Isthmus oleh Cina selain hal-hal di atas?”

 

The Malacca Dilemma dan Armada ke 7 Amerika

Selain pelayaran melewati Selat Malaka terbentur Malacca Dilemma yang berupa  ketidak-amanan pelayaran akibat tingginya kasus pembajakan, atau sedimentasi — kedalaman laut berkurang, adanya rongsokan kapal yang tersebar di berbagai titik, dan kerapkali ada kabut serta kumpulan ikan yang berenang dalam rombongan besar menjadi persoalan tersendiri di selat tersebut. Tidak kalah berbahaya daripada the malacca dilemma adalah —khusus bagi Cina— bercokolnya USS Freedom milik Paman Sam di Singapore. Kapal perang ini tergabung dalam Armada ke-7 AS dimana ‘home base’-nya di Yokosuka, Jepang. Radius patrolinya mencapai 124 juta km di Pasifik mencakup 35 negara maritim. Meskipun USS Fredom terlihat seperti raksasa ketika bersandar di pangkalan angkatan laut Changi di timur Singapura, namun kapal ini adalah salah satu jenis kapal tempur kecil yang dimiliki AS.

Keberadaan USS Freedom cukup mengganggu secara psikis, terutama jika kelak meletus friksi (militer) terbuka antara kedua adidaya, maka pelayaran di Selat Malaka bakal mengendala bagi hilir mudik kapal-kapal Cina, mengingat selama ini (Cina) telah merajut hubungan baik tak hanya dengan Thailand, tetapi juga dengan beberapa negara ASEAN lain. Itulah urgensi dibangun Kanal Isthmus oleh Cina.

Bagi China, makna strategis selat tersebut meningkat setiap tahun. Betapa sekitar 80% impor minyak mentah Cina berasal dari Timur Tengah melintas di Selat Malaka, dan diprakirakan angka persentasenya akan meningkat lagi pada tahun 2015. Juga minyak dari Teluk Persia dan Afrika dikirim ke Cina melalui Jakarta (Selat Sunda), Selat Lombok, Selat Makkasar, dll. Media-media Cina memberikan perhatian serius soal malacca dilemma, bahkan salah satu pimpinan media menyatakan, “Tidaklah berlebihan untuk mengatakan bahwa siapa pun yang mengendalikan Selat Malaka juga akan memiliki cengkeraman pada rute energi Cina” (China Youth Daily, 15/6/ 2004).

Hal lain yang tak boleh dipungkiri, bahwa nilai perdagangan Cina dengan ASEAN meningkat dari USD 54,8 miliar (2002) menjadi USD 443,6 miliar (2013). Dalam jangka waktu 10-an tahun ia mampu menaikkan delapan kali lipat. Menakjubkan. Sementara pada periode sama, nilai investasi Cina di kawasan tersebut juga meningkat sebesar USD 100 miliar. Prakiraan nilai investasi dan perdagangan Cina niscaya akan terus meningkat dari waktu ke waktu seiring beroperasinya fee trade agreement di ASEAN dan di berbagai kawasan lain dalam payung World Trade Organization (WTO).

Sebenarnya, tidak cuma Cina yang akan diuntungkan dengan keberadaan Kanal Isthmus, beberapa negara industri seperti Jepang, India, dll yang sering melintas di Selat Malaka juga akan diuntungkan karena jarak yang relatif lebih dekat jika menuju Lautan Hindia – Laut Cina dan sekitarnya. Selain Thailand itu sendiri, Vietnam pun bakal ketiban berkah. Kota di bagian selatan Vietnam seperti Can Tho akan menjadi pelabuhan transisi di antara Teluk Thailand dan Laut Cina Selatan. Dengan demikian, secara politis, rencana Cina membangun Terusan Isthmus akan didukung sepenuhnya oleh negara-negara sekeliling terutama negara yang sebelumnya kerap melintas di Selat Malaka.

“Perang Geopolitik”

Tampaknya, inilah peperangan geopolitik —medan tempur baru abad ke 21— yang akan berlangsung. Dan papan catur bertajuk ‘perang geopolitik’ telah dihamparkan oleh Cina di Asia Pasifik dan Amerika Latin. Sudah tentu, prakiraan situasi ke depan —khususnya Asia Tenggara— apabila Terusan Isthmus ini terwujud, maka pelayaran kapal-kapal dan tanker melalui Selat Malaka bakalan sepi, bahkan cenderung “mati” — termasuk kapal-kapal bertonase besar yang kerap melintas di perairan Indonesia cq Alur Laut Kepulauan Indonesia (ALKI-I, II) dan lain-lain. Inilah (dugaan) skenario yang dapat dibaca dari kajian geopolitik bila kelak Kanal Isthmus beroperasi.

Pertanyaan selidik pun muncul, “Apakah Singapore dan sekutu akan diam berpangku tangan manakala gerak langkah (geostrategi) Cina hendak mematikan penghidupannya?” Kemudian, bagaimana kontra skema Indonesia atas pembangunan Kanal Isthmus di Thailand; atau kita cuma jadi penonton belaka?

Geostrategi Kekuatan Laut

Kecenderungan dinamika politik global abad ke 21 ini mengarah pada pengamalan konsep sea power  (kekuatan laut) sebagaimana teori Alfred T Mahan (1840–1914)  dimana ‘ruh” dan inti teori menekankan jika menguasai perairan tidak hanya berimplikasi militer semata, namun dapat pula menguasai (geo) ekonomi sebuah negara (target). Ada tiga unsur pokok pada “kekuatan laut” antara lain: (1) kontrol lalu lintas komersil dan perdagangan dunia; (2) kemampuan operasi tempur Angkatan Laut (AL) dan penggunaan instrumen AL dalam aspek diplomasi; dan ke (3) sebagai penggetar (deterens) dan pengaruh politik di masa damai.

Data pun menyatakan, ketika 80% perdagangan dunia melalui perairan dan/atau sekitar 60%-nya berupa komoditas migas, maka data-data ini boleh dianggap jawaban kenapa aktualisasi serta pengamalan ‘(geopolitik) sea power’-nya Mahan begitu membahana. “If you would understand world geopolitic today, follow the oil,” agaknya isyarat Guilford masih relevan memotret pergeseran geopolitik hingga kini. Ingin mengetahui perkembangan geopolitik, ikuti kemana aliran minyak, oleh karena disitulah muara dan simpul-simpul kepentingan para adidaya beradu-kuat.

Ya. Menguasai lautan tidak hanya menguasai militer semata tetapi juga menguasai (geoekonomi) perdagangan dunia. Pantaslah bila doktrin sakral Mahan masih terpakai hingga kini terutama di kalangan AL-nya Paman Sam, “Barangsiapa menguasai Lautan Hindia maka akan menjadi kunci dalam percaturan dunia.”

Ketika Cina Memaknai Pergeseran Geopolitik

Berikutnya, meski ada lima samudera di dunia, namun hanya tiga yang sangat populer di kancah politik global yaitu Atlantik, Pasifik dan Lautan Hindia. Itulah yang diincar adidaya-adidaya dunia oleh sebab dominannya pelayaran internasional melalui jalur-jalur tersebut. Sedang Lautan Artik dan Antartika kurang ‘moncer’ di mata global karena faktor alam serta kharateristiknya kurang bersahabat bagi dunia pelayaran.

Sejalan dengan ajaran Mahan, lalu selaras pula dengan data-data hampir 80% perdagangan dunia melalui perairan, agaknya geopolitical shift dari Atlantik ke Pasifik sebagai isue aktual abad ke 21 ini mampu disikapi secara cerdas oleh Sang Naga —sebutan lain Cina. Ia kini, tengah membesarkan armada lautnya agar meraih level Blue Water Navy sebagaimana AL-nya Inggris, atau selevel AL Paman Sam yang mampu menjelajah lautan lepas berhari-hari, bukan sekedar kelas Brown Water ataupun Green Water Navy yang daya jelajahnya hanya 200-an mil/370 km saja.

Selain pengembangan peralatan militer Cina baik secara kuantitatif maupun kualitatif relatif signifikan, anggaran militer pun naik empat kali lipat antara USD 90-120 miliar (2011). Ini merupakan anggaran militer terbesar kedua setelah AS. Ia kini terlihat aktif meningkatkan diplomasi militer dengan berkunjung ke 14 negara seperti Vietnam, Myanmar, Nepal, Belarus, Singapore, Philipina, dll juga tak kalah penting, Cina ikut serta pada latihan-latihan militer bersama dengan negara lain termasuk di Pakisan dan Indonesia.

Dari sisi geopolitik terutama sisi ideologi, politik dan keamanan, Cina kini mengubah orientasinya via penerapan sistem one country and two system yaitu elaborasi dua ideologi (kapitalis dan komunis) hidup berdampingan. Dengan perkataan lain, model ekonomi boleh mengadopsi dan beperilaku sebagaimana kapitalisme, namun sistem politik tetap dalam kendali komunisme cq Partai Komunis Cina (PKC).

Tidak kalah penting adalah penguatan String of Pearls. Inilah strategi handal Cina di perairan dalam rangka mengamankan energy security melalui pembangunan pelabuhan-pelabuhan di koridor String of Pearls, termasuk pengawalan ketat terhadap lalu-lalang ekspor impornya di perairan. Demikian sekilas langkah dan strategi Cina terkait perkembangan dinamika politik khususnya dalam menyikapi pergeseran geopolitik dari Atlantik ke Asia Pasifik.

Topik Kanal Isthmus telah dibahas sekilas pada awal tulisan ini, selanjutnya kini mengulas sedikit seluk beluk Terusan Brito di Nikaragua. Tanah genting yang akan dibelah oleh sang Naga.

Apa boleh buat. Setiap pembangunan pasti membawa korban, setiap tujuan (politik) niscaya ada tumbal. Hal ini jamak dalam dunia politik. Ada gejolak masyarakat di sekitar Kanal Brito. Meski Pemerintah Nikaragua mengatakan, bahwa proyek ini akan mengangkat mereka dari kemiskinan, namun para warga yang tidak setuju pembangunan terusan ini mengatakan, selain jalur pelayaran ini nantinya merusak lingkungan, kemanfaatan ekonominya diragukan, juga ribuan warga yang tanahnya terkena proyek ini melancarkan protes dan mengklaim bahwa mereka mendapatkan ganti rugi uang yang tidak sesuai dengan harga pasar. Itulah contoh tumbal politik atas suatu keputusan atau kebijakan politik.

Kanal Brito Versus Terusan Panama

Di Panama, negara tetangga (sebelah) Nikaragua — sebenarnya telah berdiri sebuah kanal yakni Terusan Panama sejak 1914. Kanal sepanjang 82 km ini, selain merupakan penghubung antarsamudera khususnya Lautan Atlantik dan Lautan Pasifik, ia memangkas jarak pelayaran serta mempersingkat waktu tempuh karena tanpa harus memutar dulu melalui ujung selatan Amerika Selatan. Misalnya, jika pelayaran dari New York (Pantai Timur AS) menuju ke San Francisco (Pantai Barat AS) memakan jarak sekitar 22.500 km (atau 14.000-an mil), apabila melalui kanal tadi, daya tempuh menjadi 9.500 km (6.000-an mil). Betapa keberadaan Kanal atau Terusan Panama mampu memotong jarak 8000 mil atau 13.000 km. Luar biasa!

Tempo doeloe. Rencana pembangunan kanal (Panama) telah muncul semenjak abad ke 16, namun karena faktor teknologi, biaya, dan lain-lain baru terealisir awal abad ke 20, tepatnya pada 15 Agustus 1914. Pada perjalanan pembangunannya, sempat dirundung aneka masalah seperti tanah longsor, kekurangan air, terjangkit demam kuning, merebak malaria, dan lain-lain. Tercatat 22.000-an orang meninggal karenanya, sebuah angka kematian yang fantasis bagi sebuah proyek non militer. Dan ketika jadi, ia merupakan jalur pelayaran internasional yang dilintasi rata-rata 12.000-an kapal per tahun.   

Sepintas Terusan Panama

Kita menengok sekilas kronologi pembangunan Terusan Panama. Bahwa gagasan tersebut dicetuskan kali pertama oleh raja Spanyol, Charles V di tahun 1524. Raja berkata, bila tanah genting di Panama dibelah maka akan mempersingkat pelayaran kapal-kapal kerajaan yang melintas dari Peru ke Ekuador, demikian sebaliknya. Meski gagasan itu didukung sejumlah kerajaan lain di Eropa, namun toh terbentur berbagai keterbatasan sumber daya dan kendala terutama kendala teknologi. Ada gap antara cita-cita dan kenyataan. 

Akhirnya pembangunan kanal baru dimulai tanggal 1 Januari 1880 oleh Perancis. Kenapa Perancis, ia terinspirasi oleh Ferdinand de Lesseps yang berhasil membedah dan membangun Terusan Suez di Afrika. Pembangunan pun kemudian dipercayakan kepadanya, tetapi karena terburu-buru sehingga tanpa didahului oleh studi-studi geologi dan hidrologi, maka proses pembangunan proyek tersebut selain menghamburkan banyak biaya, juga menelan korban 22.000 jiwa sebagaimana diurai sepintas di atas. Sebagian pekerja menyerah dan kembali ke negeri masing-masing. Proyek pun terbengkalai.

Melihat kondisi ini, Perancis menghentikan sementara proyek (1893). Tetapi setelah lima tahun berhenti, Perancis melobi AS (1898) agar mau meneruskan proyek tadi. Senat AS (1902) menyetujui pengambil-alihan proyek. Dan dua tahun kemudian (1904), Theodore Roosevelt, Presiden AS, memutuskan untuk membeli sisa-sisa peralatan dari Perancis guna meneruskan pembangunan. No free lunch. Tak ada makan siang gratis pada pengambil-alihan proyek dari Perancis ke Paman Sam, oleh karena salah satu syaratnya ialah, Paman Sam harus memerdekakan Panama dari “kolonialisme Kolombia” terlebih dulu. Dan kompensasi setelah Panama merdeka, hak kelola kanal diserahkan kepada AS, lalu pembangunan proyek dilanjutkan lagi.

Singkat cerita, proyek Terusan Panama dirampungkan (1914) bahkan waktunya pun terbilang dua tahun lebih cepat daripada waktu yang ditarget. Terusan Panama dibuka pada 15 Agustus 1914 saat bersemi benih-benih Perang Dunia (PD) I di Eropa. Dan tercatat pula bahwa kapal pertama yang melintas ialah kargo bernama “Ancon” .

Meloncat beberapa dekade setelahnya, bahwa usai PD II, rakyat Panama mulai ‘sadar dan melek geopolitik’. Maka mereka pun menuntut selain hak pengelolaan kanal tersebut, juga memprotes keberadaan militer AS yang semakin hari kian bertambah banyak. Menangkap fenomena kebangkitan geopolitik rakyat Panama tersebut, Presiden AS Jimmy Carter dan Presiden Panama Omar Torrijos menandatangani sebuah kesepakatan/Traktat Torrijos-Carter (7-9-1977) yang salah satu poin mengizinkan Panama mengelola sendiri kanal tersebut namun menjamin Neutrality Treaty (netralitas kawasan) dan AS — “diizinkan kapan saja kembali.”

Meskipun kesepakatan itu sempat dikecam oleh sebagian besar rakyat AS sebab merugikan kepentingan nasionalnya, namun inilah (mungkin) kelak poin terpenting bagi Paman Sam: “diizinkan untuk kembali,” entah apa maksudnya, entah kapan dilakukan.

Pada 31 Desember 1999, pengelolaan kanal diserahkan sepenuhnya ke Panama viaOtoritas Terusan Panama/Panama Canal Authority (ACP). Sebelum penyerahan, pemerintah Panama mengadakan tender internasional untuk masa 25 tahun kontrak pengoperasian pelabuhan kontainer yang dimenangkan Hutchison Whampoa, badan hukum Hong Kong milik taipan Li Ka Shing yang kelak juga menanamkan sahamnya di Facebook. Itulah sekilas pembangunan Terusan Panama.

Kanal Brito Dapat ‘Membunuh’ Terusan Panama

Kembali ke topik Kanal Brito, Nikaragua. Bahwa (rencana) pembangunan terusan sepanjang 200-an km yang prakiraan biaya sebesar USD 50 miliar atau sekitar Rp 600-an triliun dengan target tahun 2020 selesai, secara fisik kanal tersebut akan lebih dalam, lebih lebar dan lebih panjang daripada Kanal Panama itu sendiri. Boleh ditebak bersama, seperti halnya Kanal Isthmus di Thailand yang diramal dapat ‘mematikan’ Selat Malaka secara geopolitik, Terusan Brito pun tampaknya demikian, artinya selain bakal menjadi pesaing utama bagi kanal yang berdiri dekade 1994-an, Brito juga berpotensi ‘membunuh’salah satu sumber (devisa) dari Pemerintah Panama.

Pertanyaan pun muncul di permukaan, “Apa langkah Panama menyikapi peperangan geopolitik yang digelar oleh Cina di sebelah rumahnya?” Bukankah dengan berdiri Kanal Brito nanti akan menggerus pundi-pundi devisa yang berasal dari retribusi lintasan (12.000-an) kapal per tahun di Terusan Panama?

Terusan Panama Berbenah Diri

Pembangunan dan perluasan Terusan Panama kini, bukan sekedar konsep ‘jaga langganan’ terkait persaingannya dengan Kanal Brito nanti, namun lebih kepada persiapan serta kesiapan selain dalam rangka merayakan usia kanal ke-100 tahun, juga menyambut tibanya generasi kapal-kapal raksasa. Kanal Panama tengah berbenah diri. Jalurnya diperlebar, fondasi-fondasi diperdalam, dll agar para pelintas memperoleh kemudahan baik waktu, biaya, ataupun bila mereka melakukan ‘aktivitas bisnis lain’-nya. Dalam bahasa sastra, boleh diibaratkan bahwa Gadis (Terusan) Panama kini lagi mempercantik dirinya!

Jika renovasi ini selesai, maka para pelaku bisnis dari beragam budaya, negara dan ras akan berterimakasih atas kemudahan (dan fasilitas) terusan ini. Bayangkan, pelaku bisnis dari Cina pun tidak perlu mengeluarkan biaya besar untuk mengekspor komoditi ke AS bagian timur. “Terusan Panama diperluas untuk memudahkan distribusi perdagangan. Nantinya, terusan ini akan menjadi salah satu rute perdagangan yang menghubungkan Timur Jauh (Asia Timur dan Asia Tenggara), Kepulauan Karibia, dan AS,” ujar Jay Brickman,Wakil Presiden Crowley Maritime Corp. Ia salah satu perusahaan jasa pengangkut barang yang melayani Kepulauan Karibia dan AS bagian timur. “Dan wajah barunya akan mengubah dinamika perdagangan dan meningkatkan laju ekonomi,” ujar Brickman.

Ditambahkan oleh Peter Gyde, Presiden AP Moller-Maersk Group’s Carribean Sea Cluster di Maersk Line, bahwa bentuk atau ujud baru kanal ini akan mampu dilewati tanker pengangkut 1 juta barel minyak, kapal kargo pembawa batu bara, serta beberapa komoditi ekspor dan impor lainnya. “Pembangunan Terusan Panama memberikan berbagai pilihan baru yang belum bisa kita dapatkan hari ini,” ujar Gyde.

Dan sebagai konsekuensi manajemen, Pemerintah Panama pun rela merogoh kocek sebesar USD 5,25 miliar atau Rp 50-an triliun demi sebuah mimpi. Kenapa demikian, karena inilah rekor biaya termahal untuk membangun (renovasi) Terusan Panama sejak tahun 1914. Bukan main!

Sejarah Berulang, Kendala Terulang

Apabila sejak muncul ide, lalu rencana perencanaan pembangunan Kanal Panama —- hingga diresmikan 1914 itu menunggu sampai empat abad, agaknya dalam renovasi pun terancam berlarut-larut pula meski konteksnya tak sama. Bila kendala abad lalu adalah malaria, tanah longsor, demam kuning, teknologi dan lainnya, maka permasalahan hari ini soal selisih biaya perluasan antara kontrak dan biaya tidak terduga. Bukannya selisih uang receh, namun sekitar USD 1,6 miliar atau Rp 19,2 triliun jika dibanding nilai kontrak 2009.

Pembicaraan antara Otoritas Terusan Panama dan konsorsium yang dipimpin oleh Sacyr,  perusahaan asal Spanyol, agaknya menemui jalan buntu (5/2/2014). Pembicaraan tidak mencapai kata sepakat tentang siapa yang akan membayar selisih biaya.

Sebelum muncul sengketa —selisih harga— pada bulan Desember 2013, pekerjaan ini melibatkan 10.000-an orang. Jorge Quijano, Pengelola Terusan Panama menyatakan, bahwa proyek ini akan selesai pada 2015 dengan atau tanpa konsorsium yang dikenal sebagai Grupo Unidos Por el Canal (GUPC). Tak dijumpai solusi. GUPC meminta otoritas kanal memberi kompensasi biaya tak terduga senilai 1,6 dollar AS, tetapi otoritas setempat berdiplomasi akan mengambil langkah yang tepat untuk menyelesaikan proyek sesuai jadwal, termasuk ‘menyobek kontrak GUPS’ jika memang harus dilakukan. Belum ada jalan keluar.

Ekonom Horacio Estrivi mengatakan, bahwa secara de facto memang ada peningkatan biaya dan waktu untuk proyek itu. Masalah biaya tambahan ini kemungkinan akan menjadi pertarungan arbitrase antara pihak otoritas kanal dan GUPC. Akankah ganti kontraktor? “Penyelesaian pekerjaan dengan kontraktor baru juga akan butuh biaya lebih tinggi karena harus mulai dari awal dan menggunakan harga yang berbeda,” kata analis Ebrahim Asvat.

Walau masih terjadi sengketa dalam renovasi terusan, namun inilah salah satu langkah dan geostrategi Panama dalam rangka ‘jaga langganan’ serta upaya kontra skema guna menghadapi perang geopolitik yang digelar oleh Cina di sebelah (Brito) pekarangan rumahnya.

Tantangan Perang Geopolitik

Kita kembali ke Kanal Isthmus yang digadang-gadang bakal menjadi pesaing utama Selat Malaka bahkan dapat ‘mematikan’ jantung kehidupan Singapore, Negeri Paman Lee. Khusus bagi Indonesia yang bakal terkena dampak langsung akibat berdirinya kanal baru di Thailand kelak, pertanyaannya adalah: “Bagaimana sikap Indonesia menghadapi ‘terompet perang’ ala Naga di panggung geopolitik dengan (rencana) mendirikan Terusan Isthmus di Thailand?” Bukankah disinyalir banyak orang, keberadaan kanal tersebut justru membuat ALKI I, II, dan lainnya menjadi sepi dari lalu lalang kapal-kapal bertonase besar?

Namun sebelum membahas bagaimana menyikapi tantangan Cina dalam perang geopolitik, sebaiknya dipertanyakan dulu beberapa hal: (1) apakah lintasan kapal-kapal asing melalui ALKI selama ini telah menjadi salah satu sumber devisa bagi Indonesia; atau jangan-jangan malah free (gratis)? (2) adakah pengamanan serta pengawasan ALKI oleh TNI telah berjalan sinergi, sistematis dan efektif; atau tidak sama sekali, atau jangan-jangan malah dibiarkan? Silahkan dijawab terlebih dulu pertanyaan di atas sebelum kita meneruskan catatan tak ilmiah ini.   

Membangun Sabang: Kontra Skema Perang Geopolitik Abad ke 21

Masih ingatkah langkah visioner Bung Karno (BK) terhadap Sabang? Melalui Perpres No 22/1964 dan UU No 10/1965, ia canangkan Sabang sebagai pelabuhan bebas(freeport) selama kurun waktu 30 tahun. Namun apa hendak dikata, konstalasi politik di Bumi Pertiwi  kala itu, meniscayakan geostrategi BK harus ‘ditunda’ beberapa saat.

Juga sewaktu zaman Pak Harto. Rencana strategis bangsa pun terpaksa kembali terbengkalai karena muncul konflik vertikal GAM, gerakan separatis Aceh yang ingin memisahkan diri dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Apa boleh buat. Visi geopolitik BK dalam rangka mengkontra (skema) keberadaan Singapore dan Selat Malaka pun terganjal konflik internal berlarut hingga beberapa masa kepemimpinan nasional.  Siapa sejatinya peremot di balik konflik?

Zaman Pak Habibie narasinya agak berbeda. Ia memiliki “mimpi” hendak membangun Sabang, Batam dan Bintan demi mengalahkan Singapore. Luar biasa.  Sudah tentu, mimpi Habibie membuat Paman Lee tak nyenyak tidur, sebab jika mimpi tadi terlaksana maka akan menjadi pesaing utama Singapore. Maka berbasis pattern evidence (bukti pola) dan bukti keadaan (circumstance evidence), diyakini pasti ada peran Singapore dalam “kudeta halus” terhadap Habibie melalui penolakan pertanggung jawaban di MPR. Entah peran dalam menggiring opini publik, atau hanya dukungan moril bahkan dimungkinkan juga ada (peran) dukungan materiil.

Era Gus Dur lain lagi. Meski sudah diterbitkan UU No 37/2000 guna menghidukan kembali Sabang menjadi kawasan perdagangan dan pelabuhan bebas, tetapi dalam praktek “kembang kempis,” hidup segan mati tak mau. Maksudnya, selain deraan konflik vertikal Aceh tak jua usai, segenap elit pun dibuat gaduh sendiri dengan “paket mainan” ala DHL (demokrasi, HAM, lingkungan) oleh asing. Para elit politik dan pemutus kebijakan di negeri ini asyik berhura-hura (politik), menari dalam tarian gendang yang ditabuh (geostrategi) asing. Mereka gagal mengingat atas proyek strategis bangsa. Betapa cantik permainan deception ataupun pengalihan situasi. Padahal secara Perpres sudah jelas, UU-nya pun nyata, dll. Dan gilirannya, untuk ke sekian kali pada kepemimpinan nasional, lagi-lagi proyek Sabang pun terlantar. Nyaris tak terdengar. Hingga sekarang, sampai kini.

Harapan penulis, kontra skema oleh Pemerintah Indonesia atas peperangan geopolitik yang dihamparkan oleh Cina dengan (rencana) didirikannya Kanal Isthmus di Thailand, langkah awal Indonesia harus hidupkan kembali semangat membangun (program) Sabang sebagai pelabuhan bebas. Tak boleh tidak. Pergeseran geopolitik  (dari Atltantik ke Asia Pasifik)  itu adalah fakta bukan rekayasa, dan belitan (geostrategi) Cina jelas terbaca, kini pun tengah berjalan nyata. Beroperasinya Sabang kelak adalah bagian kontra strategi —agar kita tidak cuma menonton — mengantisipasi bangkitan arus barang dan jasa dari Kanal Isthmus menuju Lautan Hindia dan sekitarnya. Tak bisa tidak, pemerintah harus sesegera mungkin melangkah kesana.

Prakiraan Skenario Konflik di Wilayah  Proyek

“Conflict is the protection oil flow and blockade somebody else oil flow” (Dirgo D Purbo, 2011). Dirgo, selain pakar perminyakan dan dosen pada beberapa perguruan tinggi dan instansi kedinasan di Indonesia, dalam penilaian penulis, ia adalah ahli 3-G (Geopolitik, Geostrategi dan Geoekonomi) yang selalu menyuarakan Kepentingan Nasional RI (KENARI) dimanapun ia tampil. Dan melalui asumsinya tadi, boleh kita gunakan sebagai pisau kajian guna meramal peristiwa yang akan terjadi terkait ‘perangan geopolitik’ yang digelar oleh Cina di Amerika Latin dan Asia Tenggara.

Apakah yang diperebutkan di Selat Malaka? Oil flow. Apa yang ditunggu di Kanal Isthmus kelak? Aliran migas. Adakah yang lebih penting daripada lintasan pelayaran di Terusan Panama dan di Kanal Brito Kelak, selain kapal-kapal tanker pengangkut 1 juta barel minyak, kargo batu bara, dan beberapa komoditi ekspor dan impor lainnya. Itulah data aktual di depan mata.

Selanjutnya dalam narasi skenario perlu disampaikan, bahwa (rencana) pembangunan Terusan Brito di Nikaragua dan Kanal Isthmus di Thailand oleh Cina dapat disimak sebagai bagian geostrategi (jurus) Cina dalam rangka menguasai (membelit) geopolitik dunia. Meski tampak samar-samar, toh terbaca juga.

Sekali lagi, “Conflict is the protection oil flow and blockade someboby else oil flow!” Lalu, terkait geliat Naga di atas maka beberapa konflik diprakirakan muncul di seputaran tiga wilayah proyek mercusuar di atas, antara lain:

Pertama, Singapore sebagai negara yang akan terkena dampak langsung akibat berdirinya Kanal Isthmus kelak, dipastikan akan menyusun kontra skema baik secara asimetris (non militer) maupun melalui modus proxy war (perpanjangan tangan), dan lain-lain. Ia dan sekutunya, niscaya tidak akan tinggal diam serta hanya berpangku tangan, sebab keberadaan Kanal Isthmus berpotensi mematikan Selat Malaka, “jantung”-nya Singapore;

Kedua, Panama pun demikian. Sebagai negara yang terkena dampak langsung akibat Terusan Brito beroperasi kelak, maka seperti halnya Singapore — selain upaya manajemen berupa pembangunan-pembangunan tambahan terkait teknis dan taktis operasional Terusan Panama. “Jaga langganan.” Ia juga akan memakai modus proxy war, peperangan asimetris (asymmetric warfare), dll untuk menggagalkan pembangunan kanal baik melalui konflik intrastate (konflik internal dalam negara) atau bisa jadi malah diletuskan konflik interstate (konflik antarnegara). Inti skema apapun modus yang digelar adalah ‘gagalnya proyek Kanal Brito’ karena pertimbagan stabilitas keamanan tidak kondusif.

Tampaknya, poin kesepakatan Torrijos-Carter (7-9-1977) tempo doeloe: “AS diizinkan kapan saja kembali,”  —- akan ditafsirkan Panama baik secara asimetris ataupun berupa capacity building oleh Paman Sam terkait segala upaya penggagalan pembangunan proyek baik bermodus proxy war maupun gunakan siasat asymmetric warfare;

Ketiga, pembangunan Sabang sebagai freeport —bila pemerintah mau— akan bernasib seperti halnya Brito dan Isthmus. Bakal timbul konflik (baik intrastate atau interstate) di sekitaran wilayah proyek. GAM (kemungkinan) akan kembali dimainkan, ataupun gerakan serta aksi-aksi lain akan digelar dengan berbagai cover (agenda), ”Ingin memisahkan diri dari NKRI” misalnya, atau mungkin isue Islamic State yang kini marak, atau bentrokan antarsuku di Aceh, dll. Meski secara tersirat bukanlah demikian, karena sejatinya ada pemilik hajatan meremot konflik dari kejauhan. Pertanyaan selidiknya, “Siapa mereka?”

Siapa lagi, kalau bukan negara yang terusik, bahkan diprakirakan ‘mati’ apabila Pelabuhan Sabang dan Kanal Isthmus beroperasi. Ini kajian geopolitik. Maka diciptakanlah konflik, agar pembangunan proyek gagal karena faktor keamanan. Ia adalah negara yang menganggap Selat Malaka sebagai jantung kehidupannya. Siapa lagi?

Tulisan sederhana ini bukanlah kebenaran, juga tidak ada niatan membenarkan diri. Masih terbuka untuk kritik dan saran. Tak ada maksud menggurui siapapun, terutama para ahli dan pihak-pihak yang berkompeten selain ingin sharing pemahaman perihal “perang geopolitik” yang tengah dilancarkan oleh Cina di panggung global.

Bila ada perbedaan analisa serta pendapat, atau barangkali penggunaan kalimat yang kurang tepat baik arti, maksud dan maknanya — anggaplah kewajaran yang perlu didiskusikan lebih dalam, mengingat selain keterbatasan kemampunan penulis, juga “kebenaran ilmu” pun sejatinya masih bersifat nisbi atau relatif.

Terimakasih

Link dan Bacaan:

 – Menyedihkan, inilah kegagalan Indonesia di dunia maritim

– Pentingnya Cina Kuasai Pelabuhan-Pelabuhan di Asia-Pasifik,

– China Bangun Kanal Hubungkan Atlantik dan Pasifik

– Kehadiran Kapal Perang AS di Singapura Pertegas Poros Asia

– Cina Berencana Bangun Terusan Sepanjang 100 KM, Siapa yang Akan Dirugikan?

– The Geopolitics of The Black Sea,

– China’s “Malacca Dilemma”

– Blue Water Navy,

– Kekuasaan dan Teori Geopolitik

– Terusan Panama Diperluas

– Militer Amerika Mulai Merapat ke Wilayah Sekitar Indonesia

– AS Tempatkan Kapal Perang di Singapura, Ada Apa?

– Kisah Terusan Panama, Pembelah Benua

– Terusan Panama

– The Journal of International Studies, The Global Review, Rusia, Indonensia dan G-20, artikel “Membaca Langkah Singapore dalam Perang Geopolitik”, Jakarta, 3 Mei 2013 ————–

– Pokok-Pokok Teori Geopolitik

– Sejarah Berulang, Berlarutnya Pembangunan Terusan Panama

– Modus Paman Lee Jatuhkan Habibie

Penulis: M Arief Pranoto, Research Associate Global Future Institute (GFI)

Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com