“Rasa Keadilan” yang Radikal

Bagikan artikel ini

Wildan Pramudya (Aktif di LP3ES dan mengajar Sosiologi di Universitas Esa Unggul Jakarta)

Mama tidak adil!

Ucapan itu dilontarkan salah seorang anak bernama Wira. Bocah berusia 9 tahun ini protes pada ibunya yang dianggap kurang memberikan perhatian pada dirinya dibandingkan kedua adiknya. Sebuah serpihan realitas sehari-hari yang kecil dan mungkin tidak begitu mendesak untuk dibahas ketimbang isu-isu publik lainnya. Namun, tetap menarik bagi kita untuk sekilas mempertanyakan dari mana bocah ingusan itu bersentuhan dengan keadilan dan mengaitkannya dengan isu-isu pelik yang lebih besar di negeri ini.

Perjumpaan Wira dengan kata adil itu mungkin dicerap dari televisi yang belakangan banyak menyuarakan keadilan; mungkin ada sinetron – yang sempat ditontonnya — sesekali menyelipkan kata adil; atau bisa saja ia mengenalnya dari pelajaran di sekolah. Namun sejauh mana bocah itu memahami apa itu adil, agak sulit untuk diperiksa. Maklum, bocah seumurnya bisa dipastikan belum bersentuhan dengan pemikiran Rawls, Nozick, atau Amartya Sen dalam karyanya The Idea of Justice yang menyoal keadilan secara konseptual, misalnya. Tetapi secara praktis ia sudah menggunakan istilah adil untuk melakukan protes.

Pemikir Prancis, Emmanuel Levinas, mengatakan bahwa “yang baik” itu mendahului “yang ada”. Maksudnya, kebaikan merupakan sesuatu yang pra-reflektif, sudah ada sebelum disadari dan dikonsepsikan manusia.  Maka dalam konteks pemikiran Levinas ini, adil sebagai nilai kebaikan sudah ada sebelum dipikirkan kita. Dengan kata lain keadilan diandaikan sudah menjadi peristiwa yang dialami meski seseorang belum bersentuhan secara konseptual dengan pengertian adil dan keadilan. Maka pada titik ini, apa yang diungkapkan seorang bocah ingusan semacam Wira tidak hampa makna. Sangat bisa dipahami.

“Rasa keadilan”

Mungkin apa yang dialami Wira dan yang dikonsepsikan Levinas adalah yang selama ini dimaksud dengan “rasa keadilan”. Sebuah kondisi yang mendahului dan seharusnya menopang teks-teks atau pasal-pasal hukum untuk menegakkan praktik keadilan di manapun, dan semua aparat penegak hukum diandaikan peka  dan memilikinya.

Namun kenyataannya keberadaan “rasa keadilan” – saat ini — sulit untuk diverifikasi secara empiris. Rasa keadilan sering ditelikung, direpresi dan sengaja diabaikan oleh mereka yang selama ini mengaku sebagai aparat, pekerja dan ahli hukum. “Rasa keadilan” begitu mudah dilenyapkan melalui teks-teks yang kerap dijadikan para pengacara dan ahli hukum sebagai dasar berkelit dan berakrobat guna membela dan membebaskan klien atau kroninya yang terlibat kejahatan publik dari jerat hukum. Maka tak heran jika keputusan pengadilan acap dipandang tidak memenuhi “rasa keadilan”. Dan absennya ‘rasa keadilan’ ini pada gilirannya berimplikasi pada implementasi hukum yang cenderung diskriminatif.

Adanya praktik diskriminasi adalah bukti gamblang yang menunjukkan rasa keadilan tidak lagi berdetak dalam penegakan hukum di negeri ini. Di satu sisi, masih hangat dalam ingatan, bagaimana seorang nenek bernama Rasminah harus mendekam di ruang tahanan Polsek Ciputat karena dituding mencuri piring majikannya. Di Palu, seorang anak dianggap bersalah oleh pengadilan karena telah mencuri sandal jepit seorang brigadir polisi, yang sebelumnya sempat dianiaya oleh pemilik sandal. Lalu ada juga kasus seorang anak dengan keterbelakangan mental harus mendekam di Lapas Cilacap karena mencuri setandan pisang. Sementara, di sisi lain, hingga kini aparat penegak hukum tidak mampu menyingkap dan menjerat otak pembunuh Munir dan pelaku kejahatan HAM lainnya, yang diduga melibatkan salah seorang petinggi aparat negara pada waktu itu. Belum lagi kalau kita bicara tentang kejahatan korupsi trilyunan rupiah yang penyelesaiaan kasusnya masih terkesan bertele-tele.

Tidak salah bila kemudian di masyarakat ada panamsilan sinikal: hukum kita ibarat sarang laba-laba, hanya ampuh menjerat nyamuk atau semut, tapi terlalu rapuh dan mudah diacak-acak oleh burung dan tikus atau binatang yang lebih besar! Hukum kita hanya mampu menjerat mereka yang lemah, wong cilik, tapi mlempem  untuk membekuk kejahatan yang dilakukan oleh para pejabat publik, korporasi atau pemilik modal.

Radikal

Dalam kondisi penegakan hukum yang diskriminatif seperti sekarang, memiliki “rasa keadilan” tidaklah cukup. “Rasa keadilan” secara objektif harus diterjemahkan secara radikal menjadi keberpihakan penuh pada kaum lemah, tertindas, termarjinalkan.

Artinya, “rasa keadilan” tak lagi dipandang sebagai sesuatu  yang pra-reflektif dan semata entitas psikologis yang abstrak, melainkan sebagai tugas pembelaan yang mengakar pada realitas sehari-hari, yakni realitas penghisapan, penindasan, kesewenangan dan penelantaran kaum marjinal yang selama ini kerap menjadi korban  dari kebijakan dan tindakan institusi atau kelompok dominan dalam kehidupan sosial,ekonomi dan politik sehari-hari. Dengan kerangka ini, maka menjadi lebih mudah bagi penegak hukum untuk menetapkan pihak mana yang wajib dibela — semisal, dalam kasus Mesuji, Lumpur Lapindo, atau konflik tambang di Bima – dan pihak mana yang harus dihukum.

Tugas pembelaan bagi kaum marjinal juga bisa diwujudkan dalam bentuk penyediaan akses keadilan (access to justice) yang diperluas dan dipermudah. Artinya, akses pada keadilan bukan melulu  mengenai kebebasan dan kemudahan  mendapatkan bantuan atau layanan hukum (legal aids) yang adil , melainkan juga upaya mengaktifkan kapabilitas kaum marjinal agar lebih berdaya secara sosial, ekonomi dan politik.

Singkatnya, rasa keadilan yang radikal tidak hanya digerakkan dalam ranah penegakan hukum melainkan melangkah masuk ke horison pemberdayaan.***

Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com