Rencana Libatkan Ukraina Gabung TAC, Ciptakan Instabilitas Politik dan Keamanan di Asia Tenggara

Bagikan artikel ini

Hendrajit, Pengkaji Geopolitik Global Future Institute (GFI)

Treaty of Amity and CooperationTreaty of Amity and Cooperation atau yang popular dengan sebutan  TAC hakekatnya merupakan sebuah perjanjian persahatan dan kerjasama dalam lingkup Asia (ASEAN) yang melibatkan pihak ketiga apabila terjadi konflik. Sekadar rujukan pembanding, silahkan baca:

Treaty Amity and Cooperation (TAC); Sebuah Perjanjian Multirateral ASEAN

(Adapun untuk memahami konsepsi dan kesejarahan TAC itu sendiri persilahkan simak) :

Treaty of Amity and Cooperation in Southeast Asia

Namun yang menarik, seperti yang pernah saya tulis di web ini pada 27 Juli 2009 lalu, beberapa negara adikuasa seperti Amerika Serikat dan Inggris, dilibatkan dalam perjanjian TAC tersebut.

Misalnya saja pada  22 Juli 2009, Hillary Rodham Clinton, dalam kapastiasnya sebagai Menteri Luar Negeri Amerika Serikat, menandatangani perjanjian TAC ini. Menariknya lagi, Uni Eropa dan Inggris pun turut menandatangani TAC ini pada 12 Juli 2012 lalu. Kenyataan ini mengindikasikan bahwa TAC pada perkembangannya ke depan, berpotensi untuk dijadikan ajang pertarungan antarnegara adikuasa di ASEAN. Sehingga bisa memecah-belah negara-negara Asia Tenggara yang tergabung di ASEAN, khususnya antara negara-negara yang pro AS dan Blok Uni Eropa, maupun yang pro ke Cina.

Bagi kalangan pro Amerika di ASEAN seperti Filipina, Malaysia, dan Brunei Darussalam yang hingga kini lebih pro AS dan Inggris,  tentu saja kesediaan Amerika untuk menandatangani TAC merupakan kabar gembira.

Namun bagi berbagai kalangan yang tahu persis implikasi dari TAC bagi semakin kuatnya pengaruh dan campur tangan Amerika di kawasan Asia Tenggara, TAC nampaknya harus disikapi dengan penuh kewaspadaan. Sebab, hal ini cepat atau lambat akan memancing sikap keras Republik Rakyat Cina yang selama ini merasa sudah memiliki pengaruh yang cukup kuat terhadap 10 negara anggota ASEAN.

Pada tataran yang lebih rawan, kita di Indonesia sedari awal harus mengantisipasi kemungkinan semakin menajamnya persaingan pengaruh antara Jepang dan Cina dalam beberapa tahun ke depan.  Sebab dalam pertarungan bersifat terselubung atau proxy war antara Amerika versus Cina di Asia Tenggara, Amerika dipastikan akan mendorong Jepang sebagai kekuatan ekonomi adidaya di Asia Pasifik, untuk menghadapi kehadiran dan pengaruh Cina yang semakin menguat di negara-negara kawasan Asia Tenggara tersebut.

sejarah asean - negara anggota asean

Dengan latarbelakang semacam ini, adanya TAC yang memberi pintu masuk bagi Amerika untuk ikut serta dalam mengatasi berbagai masalah di kawasan ASEAN, maka pada perkembangannya justru akan memicu ketegangan baru di kawasan Asia Tenggara. Apalagi ketika pada kenyataannya, TAC semakin terlihat sebagai alat kepentingan AS dan Blok Barat untuk menguasai kepentingan ekonomi-perdagangannya di kawasan Asia Tenggara, utamanya ASEAN.

Beberapa kajian yang dilakukan oleh Global Future Institute dalam beberapa tahun terakhir ini, AS memang memandang ASEAN sebagai lahan untuk menanam investasi. Sehingga melalui skema TAC ini, AS dan sekutu-sekutu blok Baratnya seperti Inggris, perlu mempunyai pengaruh untuk ikutserta mengatur dan mengendalikan situasi keamanan dan stabilitas di kawasan Asia Tenggara pada khususnya, dan Asia Pasifik pada umumnya.

Maka adalah tidak mengherankan sama sekali jika TAC cenderung berorientasi keamanan. Sebab dalam kerangka strategi global AS dan blok Barat, kepentingan ekonomi-perdagangan harus paralel dengan penguatan dan kesiapsiagaan angkatan bersenjatanya. Misalnya saja dalam menggagas konsep Indo-Pasifik, AS dan Inggris selain bermaksud memecah-belah negara-negara di Asia Pasifik, pada saat yang sama melalui skema Indo-Pasifik ini, AS dan Inggris membangun gerakan paralel antara kepentingan ekonomi-bisnisnya dengan penguatan militernya di Asia Pasifik melalui US PASIFIC COMMAND (US PASCOM). (Silahkan simak artikel saya terdahulu):

Indo-Pasifik: Strategi Ekomomi-Politik dan Militer Baru AS-Inggris Untuk Bendung Pengaruh Cina di Asia Pasifik

Dalam Kesejarahannya TAC Merupakan Alat Politik AS dan Blok Barat

Sebelum lebih jauh saya mengulas implikasi TAC bagi integritas dan stabilitas ASEAN mengingat kecenderungannya sebagai alat kepentingan blok AS dan Barat, ada baiknya sedikit menjelaskan asal-usul keberadaannya.

Dalam menelisik kesejarahannya, TAC dari awal memang melekat dengan kiprah keberadaan ASEAN. AC didirikan pada tanggal 24 Februari 1976 di Denpasar, Bali, Indonesia. Saat itu bertepatan dengan The Declaration of ASEAN Concord I, anggota ASEAN antara lain Indonesia yang diwakili Soeharto, Malaysia yang diwakili Datuk Husein Onn, Singapura yang diwakili oleh Lee Kuan Yew, Filipina yang diwakili Ferdinan Marcos, dan Thailand yang diwakili oleh Kukrit Pramoj menandatangani perjanjian TAC ini.

Kemudian secara berurutan Brunei, Papua Nugini, Laos, Vietnam, Kamboja, Myanmar, RRC, India, Jepang, Pakistan, Korea Selatan, Rusia, Selandia Baru, Mongolia, Australia, Prancis, Timor Leste, Bangladesh, Srilanka, Korea Utara , Inggris, Amerika Serikat dan terakhir Brazil sebagai satu-satunya negara di Amerika Latin menandatangani perjanjian ini.

Namun seperti saya kemukakan di awal tulisan tadi, TAC ini pada kenyataannya telah menjadi instrumen kepentingan strategis negara-negara AS, Inggris dan blok Barat lainnya, daripada sebagai alat untuk mempersatukan dan menciptakan kekompakan di kalangan ASEAN itu sendiri.

Sebab negara-negara yang terlibat dalam perjanjian TAC ini, sejatinya sarat dengan kepentingannya masing-masing, dan sama-sama berkeinginan untuk mermperkuat pengaruhnya di kalangan negara-negara ASEAN.

Dengan latarbelakang semacam ini, adanya TAC yang memberi pintu masuk bagi Amerika untuk ikut serta dalam mengatur dan mengendalikani berbagai masalah di kawasan ASEAN, maka pada perkembangannya justru akan memicu ketegangan baru di kawasan Asia Tenggara. Apalagi dengan semakin memanasnya situasi keamanan regional di Semenanjung Korea maupun di Timur-Tengah, menyusul serangan militer AS ke Suriah belum lama ini.

Dalam konstalasi yang dipicu oleh persaingan global Amerika-Cina di kawasan Asia Tenggara sebagai the battle ground dalam beberapa tahun terakhir ini, maka selain Cina, India pun akan menjadi faktor penting yang harus diperhitungkan dalam dinamika dan hubungan antar negara adidaya di kawasan ASEAN. Apalagi fakta bahwa India ternyata memainkan peran penting dalam merancang gagasan terbentuknya konsepsi Indo Pasifik yang saya paparkan secara singkat di atas

ASEAN Sebagai Ajang Pertarungan Negara-Negara Adidaya

Memang resminya, TAC merupakan traktat non-agresi yang mana Amerika merupakan negara terakhir yang menandatangani sesudah Rusia, Cina, Eropa, Australia, dan Jepang. Dan juga benar adanya bahwa TAC ini menegaskan bahwa Amerika dan ASEAN merupakan teman lama yang harus menghadapi tantangan-tantangan  baru, sebagaimana artikel yang ditulis Menteri Luar Negeri Hillary Clinton di sebuah koran besar beberapa waktu lalu.

Frase teman lama untuk menghadapi tantangan-tantangan baru inilah yang kiranya harus diwaspadai oleh kita bersama, khususnya di fron diplomasi dan intelijen. Karena dengan kesediaan TAC ini, kita harus membaca  adanya strategi baru Amerika di era Obama, dan juga di era Donald J Trump saat ini, untuk menata ulang dan memperkuat kembali pengaruhnya di Asia Tenggara.

Karena itu kesediaan Amerika untuk menandatangani TAC janganlah dibaca sebagai sikap kooperatif atau akomodatif Amerika terhadap kepentingan dan aspirasi ASEAN, namun justru harus dibaca sebagai adanya peluang baru yang bisa dimainkan Amerika untuk membangun kembali pengaruhnya di Asia Tenggara, setelah hancur lebur citranya semasa pemerintahan George W. Bush.

Pendekatan baru AS sejak era Obama untuk menata ulang daerah koloninya di Asia Tenggara, memang dilancarkan melalui operasi-operas non-militter, yaitu melalui diplomasi dan intelijen. Berbeda dengan mantan Presiden Bush yang cenderung menggunakan kehadiran kekuatan militer untuk mewujudkan agendanya di suatu negara. Seperti terlihat dalam kasus Afghanistan dan Irak.

Penandatanganan Deklarasi Bangkok pada tanggal 8 Agustus 1967 oleh Menteri-menteri Luar Negeri Narciso Ramos (Filipina), Adam Malik (Indonesia), Thanat Khoman (Thailand), Tun Abdul Razak (Malaysia), dan S. Rajaratnam (Singapura), menandai pembentukan ASEAN. (Foto: Arsip Nasional RI)

Dengan begitu adanya TAC, justru memberi alasan pembenar bagi Obama, yang sekarang nampaknya masih tetap diteruskan oleh Trump, melalui para operator politiknya di ASEAN, untuk memainkan pengaruhnya melalui jalur diplomasi dan intelijen. AS nampaknya menyadari bahwa pengaruh Cina yang sedemikian kuat dan mengakar di ASEAN yang dipicu oleh antipati negara-negara ASEAN berpenduduk Islam terhadap sikap agresif politik luar negeri Bush, pada perkembangannya telah membuat pengaruh Amerika di ASEAN dalam bidang ekonomi dan perdagangan, semakin tertinggal jauh dibanding Cina.

Niat dan tekad untuk mengimbangi ketertinggalannya dari Cina dalam pertarungan ekonomi dan perdagangan di ASEAN, bisa dipastikan merupakan pemicu utama kesediaan Amerika untuk menandatangani traktat non-agresi dengan negara-negara ASEAN. Karena baik Obama maupun Trump nampaknya memang sedari awal sudah menyusun strategi non-militer dalam mengkonsolidasi kembali pengaruh dan dominasinya di negara-negara kawasan Asia Tenggara.

Melibatkan Ukraina Dalam TAC, Bukti Nyata Pengaruh Kuat  AS di ASEAN

Dalam kerangka pandangan dan analisis tersebut di atas, maka berkembangnya informasi bahwa Ukraina, salah satu negara pecahan Uni Soviet yang memisahkan diri dari Republik Federasi Rusia, kita cukup beralasan untuk khawatir.

Selain kenyataan bahwa Ukraina dalam peta pertarungan global antara AS dan blok Barat versus Cina dan Rusia saat ini, dipandang lebih cenderung pro AS dan blok Barat, maka gagasan melibatkan Ukraina untuk bergabung dalam perjanjian TAC, akan dibaca sebagai bagian dari perpanjangan tangan kepentingan dan kebijakan liuar negeri AS di ASEAN. Dengan kata lain, Ukraina akan menjadi negara perpanjangan tangan AS dan blok Barat untuk mengatur dan mengendalikan konstalasi politik dan keamanan di ASEAN dan bahkan juga Asia Pasifik.  Artinya, dari awal Ukraina harus kita pandang tidak netral dan independen dari tarik-menarik pertarungan global tersebut di atas.

Selain itu, ada masalah-masalah dalam negeri Ukraina yang belum selesai hingga kini. Terutama terkait Crimea, yang setelah melalui referendum yang diadakan dan rakyat Crimea memutuskan bergabung dengan Rusia. Namun Ukraina, dengan dalih menduking aspirasi warga Muslim Tatar yang hanya 12 persen dari populasi keseluruhan Crimea, secara diam-diam mendukung gerakan separatisme Tatar untuk lepas dari Rusia. Padahal sasaran sesungguhnya Ukraina adalah agar Crimea kembali bergabung dengan Ukraina.

Bisa dibayangkan jika persoalan krusial dalam negeri Ukraina ini kemudian diekspor dan dibawa ke forum TAC, apalagi dalam berbagai forum lainnya seperti negara-negara organisasi konferensi Islam (OKI), Ukraina juga mempolitisasi Islam sebagai alat untuk mendukung gerakan separatisme Kelompok Tatar.

Potensi Ukraina untuk memperalat perjanjian TAC dengan mengangkat isu Islam sebagai alat politiknya mendukung gerakan separatisme Tatar dan mengembalikan Crimea kembali ke tangan Ukraina, pada perkembangannya bisa berbahaya bagi persatuan dan kekompakan negara-negara yang tergabung dalam ASEAN.

Meskipun Ukraina, seperti juga negara-negara lainnya di luar lingkup ASEAN berhak untuk bergabung dengan TAC, namun saat ini momentumnya sama sekali tidak tepat. Apalagi kalau pihak AS dan blok Barat yang selama ini selalu mempropagandakan dirinya sebagai negara-negara yang demokratis dan menjunjung tinggi Hak-Hak Asasi Manusia, maka mendukung bergabungnya Ukraina dalam TAC akan dipandang sebagai double standard alias standar ganda.

Sebab Ukraina saat ini tidak bisa dibilang demokratis, karena dalam koalisi pemerintahan Ukraina saat ini, telah mengakomodasi orang-orang berhaluan fasisme dan partai Svoboda yang ideologinya merujuk pada Nazi ala Jerman di era Perang  Dunia Kedua dulu.

Menurut hemat saya, Ukraina terlebih dahulu harus beritikad baik menyelesaikan masalah dalam negeri tersebut berdasarkan pertesetujuan Minks.

Para pemimpin peserta perundingan damai Ukraina di Minsk, Belarusia. Foto: BBC

Dalam persetujuan empat negara  antara lain Jerman, Perancis, Rusia dan Ukraina di Minsk, ibukota Ukraina mencapai persetujuan penting mengenai penyelesaian krisis Ukraina.

Persetujuan menetapkan bahwa kedua pihak dalam bentrokan di bagian timur Ukraina akan mulai mengadakan gencatan senjata dan kemudian menarik mundur senjata berat dari daerah pertempuran. Tim penghubung 3 pihak masalah Ukraina yaitu Ukraina, Organisasi Keamanan dan Kerja Sama Eropa dan Rusia menandatangani dokumen untuk melaksanakan persetujuan Minsk yang dicapai bulan September 2014 lalu.

Dengan makna lain, Atas dasar kesepakatan para pemimpin Rusia, Jerman, Perancis dan Ukraina, telah menegaskan bahwa Persetujuan Minsk harus dilaksanakan dengan sepenuhnya, demi melonggarkan ketegangan situasi di Ukraina timur. Untuk kemudian menuju pada penyelesaian damai yang saling menguntungkan semua pihak.

Mengingat kenyataan bahwa dalam persetujuan Minks ini tidak saja antara Rusia dan Ukraina sebagai pihak yang berkonflik langsung, tapi juga melibatkan Jerman dan Perancis, maka nampak jelas bahwa konflik di Ukraina Timur ini, tidak  bisa dipandang semata konflik Rusia-Ukraina, melainkan adanya peran dari negara-negara adikuasa blok Barat seperti Jerman dan Perancis, yang juga berkepentingan di balik konflik Rusia-Ukraina di Ukraina Timur atau Crimea.

Moskow: Kiev Langgar Perjanjian Minsk

Dalam konteks yang demikian, maka rencana bergabungnya Ukraina ke dalam TAC, sangat berpotensi untuk menjadikan TAC sebagai alat politik Ukraina dan kepentingan-kepentingan AS dan blok Barat untuk menjadikan ASEAN sebagai arena partarungan atau battle ground antar kekuatan-kekuatan adikuasa di Asia Tenggara (ASEAN).

Maka itu, gagasan untuk melibatakan Ukraina ke dalam perjanjian TAC harus dihentikan. Untuk itu para stakeholders kebijakan luar negeri RI khususnya di bidang ASEAN, harus bersama-sama mencegah rencana terselubung AS dan blok Barat untuk menciptakan instabilitas di kawasan Asia Tenggara.

Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com