Reportase

Bagikan artikel ini

Rusdi Mathari, Wartawan Senior dan pernah aktif di Aliansi Jurnalis Independen (AJI)

Suatu hari, setelah Gabriel García Márquez menerima hadiah Nobel, dan sedang keluar hotel, dia didatangi seorang wartawan perempuan muda di Madrid, Spanyol. Wartawan itu meminta waktu untuk wawancara tapi Gabo, panggilan untuk Gabriel, menolak permintaan itu. Sebagai gantinya, wartawan itu diajaknya untuk menemani dia dan istrinya sepanjang hari.

Sepanjang hari itu, si wartawan menghabiskan waktu bersama Gabo dan istrinya. Ia mengikuti pasangan itu berbelanja, melakukan tawar-menawar, makan siang, berjalan, dan berbincang-bincang. Ia ikut ke mana-mana. Waktu mereka pulang ke hotel dan Gabo siap berpamitan, wartawan itu sekali lagi meminta waktu untuk wawancara.

Entah bagaimana raut wajah Gabo mendengar permintaan itu diajukan sekali lagi; tapi dia menyarankan kepada si wartawan agar sebaiknya ganti pekerjaan. “Dia punya cerita lengkapnya, dia punya reportase.”

Gabo, peraih Nobel sastra [1082], penulis “Seratus Tahun Kesunyian” yang juga seorang mantan wartawan itu memang tak suka diwawancara.

Dia mengeluh bahwa para wartawan zaman sekarang lebih tertarik memburu “breaking news” dan keuntungan serta “privelese” dari kartu pers mereka ketimbang kreativitas dan etika. Mereka menyombongkan diri bisa membaca sepucuk dokumen rahasia sampai jungkir balik, tapi karya mereka penuh kesalahan tatabahasa dan ejaan, serta kurang kedalaman.

“Mereka tidak digerakkan oleh pemahaman bahwa cerita terbaik bukanlah yang pertama kali dimuat, tapi yang paling bagus dituturkan.”

Kata dia, ada perbedaan antara wawancara dengan reportase, sebuah kerancuan yang terus menerus diperbuat para wartawan.

“Wawancara dalam jurnalisme cetak selalu berupa dialog antara si jurnalis dengan seseorang yang punya sesuatu untuk diucapkan atau dipikirkan tentang sebuah peristiwa. Reportase adalah rekonstruksi njlimet dan setia dari sebuah peristiwa.

‘Tape recorder’ itu keji sebab orang masuk perangkap mempercayai bahwa ‘tape’ bisa berpikir, maka kita langsung mencabut sambungan otak kita begitu kita tancapkan kabelnya. ‘Tape recorder’ itu beo digital, ia punya kuping tapi tak punya hati. Ia tidak menangkap detail sehingga menjadi tugas kita untuk mendengar melampaui kata-kata, menangkap apa yang tidak diucapkan lantas menuliskan cerita lengkapnya.

Menulis adalah aksi menghipnotis. Bila berhasil, si penulis telah menghipnotis pembaca. Manakala ada ganjalan pembaca pun terjaga, keluar dari hipnotis dan berhenti membaca. Bila prosanya pincang pembaca pun meninggalkanmu. Orang harus membuat pembaca terhipnotis dengan merawat setiap detail, setiap kata. Ini aksi berkelanjutan di mana kalian meracuni pembaca dengan kredibilitas dan dengan irama.”

“Reportase adalah cerita lengkap, rekonstruksi utuh sebuah peristiwa. Tiap detil kecil punya makna. Inilah dasar kredibilitas dan kekuatan cerita.

Dalam ‘Sang Jenderal dalam Labirinnya’ setiap fakta yang bisa diverifikasi, tak peduli betapapun sepelenya, bisa memperkuat karya keseluruhannya. Misalnya, aku tempatkan bulan purnama –bulan purnama yang begitu gampang disisipkan itu—pada malam Simón Bolívar tidur di Guaduas tanggal 10 Mei 1830. Aku ingin tahu adakah bulan purnama malam itu, maka kutelepon Akademi Sains di Meksiko dan mereka temukan bahwa sesungguhnya memang ada. Bila tidak, yah, aku tinggal mencoret bulan purnama itu dan selesai sudah.

Bulan ini detil yang tidak dicermati siapapun. Tapi bila ada satu fakta palsu dalam sebuah reportase, maka segala lainnya ikut palsu. Dalam fiksi, bila ada satu fakta yang bisa diverifikasi –bahwa ada bulan purnama malam itu di Guaduas—maka pembaca akan mempercayai segala lainnya.”

Maka simaklah bagaimana Gabo mengkritik penulisan biografi Bolívar, bapak bangsa Amerika Latin. Kata Gabo, tak seorang pun pernah mengatakan dalam biografi-biografi Bolívar bahwa ia bernyanyi atau ia sembelit.

Gabo yang percaya dunia ini terbelah jadi dua kelompok mengatakan, “Mereka yang lancar buang air dengan yang tidak; ini membentuk perangai yang sangat berbeda. Tapi sejarawan tidak menyebutkan soal-soal macam begini karena mereka menganggapnya tidak penting.”

Penjelasan Gabo tentang wartawan dan reportase itu tercantum di “Three Days with Gabo” yang ditulis Silvana Paternostro. Dia reporter lepas dari Kolombia yang banyak menulis tentang Amerika Latin, pernah ikut kelas menulis Gabo. Bukunya itu diterjemahkan dengan bagus oleh Ronny Agustinus dan terpampang di blog Sastra Alibi. Anda yang mengaku wartawan, yang tak bisa membeli buku itu dan belum sempat membacanya, saya sarankan untuk mengklik blog itu, kecuali Anda telah merasa menjadi wartawan yang paling hebat dan tak perlu terus belajar.

Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com