Rontoknya Teori Polisi Dunia! (Bag-1)

Bagikan artikel ini

M Arief Pranoto, Research Associted GFI

Masih ingat “Teori Dominasi”-nya Jean Bricmont? Ini bunyinya: “setiap sistem dominasi tergantung kekuatan militer, tetapi selalu membutuhkan pembenaran ideologis”. Menyimak hal di atas, sekurang-kurangnya ada dua unsur pokok dalam sistem tersebut. Pertama, kekuatan militer. Kedua, pembenaran ideologis. Selanjutnya ulasan atas simbiosis mutualisme kedua unsur tadi akan dibahas sepintas di awal catatan ini sebelum masuk ke materi inti sesuai judul di atas. Inilah uraiannya.

Dalam konteks kekinian, bahwa hegemoni isue-isue dalam konstalasi politik entah bertitel hak azasi manusia (HAM), Islam radikal, senjata pemusnah massal, nuklir, liberalisme, korupsi, demokratisasi, pluralisme, freedom maupun kemiskinan dan lainnya, ataupun dogma-dogma semacam Monroe Doctrin, Preemtive Strike Doctrine, bahkan yang terbaru tentang Undang-Undang (UU) Western Hemisphere yang diterbitkan tahun 2013 oleh Amerika Serikat (AS) adalah ujud “pembenaran ideologis” sebagaimana isyarat Bricmont. Itulah nilai-nilai yang ‘dipaksakan’ untuk ditandur, disemai, serta diinternalisasikan terhadap sebuah bangsa bahkan khalayak internasional melalui sosialisasi, cuci otak, capacity building, dan lain-lain.

Sasarannya selain agar timbul “keadaan tertentu” (penciptaan kondisi) dari perspektif politik, juga yang utama agar bangsa tersebut meninggalkan local wisdom leluhur kemudian mengenakan ideologi baru meski keampuhan nilai-nilai (baru) tadi belum teruji dalam kehidupan bernegara, tetapi karena ramainya pemberitaan media (sosialisasi) maka mayoritas bangsa lupa substansi bahkan abai atas —cocok atau tidak— nilai tersebut bagi sang rakyat, pemilik kedaulatan.

Dalam praktek sering muncul bias dan titik kritis. Artinya nilai-nilai lama mulai ditinggalkan namun nilai baru belum sepenuhnya melembaga, sebab secara filosofi memang tidak mempunyai akar sosial dan budaya di masyarakat. Ibarat di persimpangan jalan, mana nilai yang akan dipakai pijakan bangsanya untuk berkiprah dalam panggung global menjadi tidak jelas, samar-samar, serba ragu dan tak ada muatan ‘ruh’ Kepentingan Nasional yang mutlak harus diperjuangkan. Indonesia misalnya, ketika nilai musyawarah mufakat disingkirkan diganti one man one vote dalam sistem politik justru melahirkan kelompok elit instans bermoral ‘keuangan’, bermodal pencitraan, dan lain – lain; atau konsep kesatuan dan persatuan diubah menjadi otonomi (daerah/khusus) — yang terjadi malah korupsi marak, lalu ego sektoral dan semangat kedaerahan meraja-lela meletuskan konflik komunal dimana-mana.

Ini sekedar contoh kecil, betapa berbahaya taburan ‘pembenaran ideologis’ oleh asing bersumber asumsi Bricmont guna mendominasi wilayah yang hendak ditarget. Apalagi bila pembenaran ideologis tadi sudah tertancap sebagai sistem negara? Ya. Pada perpolitikan di tanah air sebagai contoh, model serta pola demokrasi yang kini berlangsung merupakan bentuk pelemahan sistem karena tidak memiliki akar filosofi, sosial, budaya, dll. Tak pelak, Global Future Institute (GFI), Jakarta, pimpinan Hendrajit (2011) menyatakan: “bahwa model demokrasi Indonesia saat ini yang berkuasa adalah kaum pemodal. Implikasinya jelas, bahwa korupsi di Indonesia sesungguhnya diciptakan melalui sistem”. Inilah yang sekarang terjadi di republik ini.

Selanjutnya implementasi sistem dominasi dalam tataran teori disebut ‘Polisi Dunia’. Ini tak dapat dipungkiri. Sebagaimana diketahui, bahwa aplikasi teori ini tergantung militer. Dengan kata lain, tanpa militer yang besar, kuat lagi handal maka sistem dominasi cuma seperti mimpi di siang bolong. Pantas saja jika Paman Sam bernafsu membentuk “Kekaisaran Militer” di muka bumi. Data resmi US Departement of Defence tahun 2003 seperti dicuplik Connie Rahakundini, pengamat militer Universitas Indonesia (UI) menyebut, Pentagon memiliki 702 pangkalan di 130 negara. Setidaknya dibutuhkan USD 113,2-591,5 miliar untuk menggeser 1 pangkalan tersebut. Pada pangkalan di luar AS, jumlah tentara tak berseragam mencapai 253.288 personel dan 4.446 orang lainnya staf lokal sewaan. Pentagon mengklaim, pangkalannya mencakup 44.870 barak, hanggar, rumah sakit, dan banyak lagi lainnya sekitar 4.844 bangunan. Luar biasa!

Pertanyaannya: bagaimana praktek (simbiosis mutualisme) kedua unsur utama teori Bricmont dalam operasional di lapangan? Sederhana. Lazimnya wilayah target disebar duluan isue-isue “keadaan tertentu” yang digebyarkan sebagai musuh bersama, atau bahkan musuh dunia. Itu baru titik permulaan. Misalnya dicap negara tidak demokratis, atau bercokol pemimpin tirani, terjadi pelanggaran HAM, dll padahal itu sekedar model internasionalisasi isue, atau dalih serta alasan agar dapat segera diturunkan militer (invasi) kesana. Contoh Irak (2003), melalui stigma Saddam menyimpan senjata pemusnah massal maka koalisi militer dari 40-an negara pimpinan Paman Sam pun menyerbu Negeri 1001 Malam. Kenyataannya hingga Saddam digantung dan Irak luluh lantak ternyata tidak terbukti sama sekali. Demikian juga Moamar Gaddafi, melalui isue pelanggaran HAM dan genocida, Libya pun dikeroyok secara militer oleh AS dan sekutunya NATO.

Buku berjudul “Killing Hope: US Military and CIA Intervention Since World War II”-nya William Blum mengungkap, bahwa AS memiliki rekor tertinggi sebagai agresor dalam sejarah perang modern. Ia menyatakan, pasca kemerdekaan era 1776-an justru aktif melancarkan pertempuran dan mengobarkan sembilan perang besar. Ada sekitar 200-an kali atau lebih penyerbuan militer dilakukan. Dan terhitung 1977 – 1993 telah mengirim tentara guna menyerbu 32-an wilayah di luar negaranya. Kendati Belum tidak mengungkap detail bentuk ‘pembenaran ideologi’ di setiap agresi, tetapi kuat diduga pola-polanya tidak jauh berbeda.

Memasuki abad XXI, terjadi perubahan signifikan dalam tema kolonialisasi yang dianut Paman Sam. Ya, dari yang sudah-sudah cenderung simetris (militer atau hard power) kini mulai berubah menjadi asimetris, atau non militer, atau istilah aktual lain adalah smart power. Dokumen GFI mencatat, perubahan karakteristik kolonialisme bukan tanpa sebab atau bersifat tiba-tiba, tetapi semata-mata karena pengalaman sebelumnya, terutama jejak petualangan militer AS dan sekutu.

Di satu sisi, kompleksitas pola simetris dirasakan lebih rumit daripada asimetris. Artinya selain high cost, perlu penciptaan kondisi melalui isue-isue, butuh ‘restu internasional’ semacam resolusi PBB (United Nation) pula, juga kemungkinan besar —yang pokok— karena kegagalan AS, NATO dan International Security Assistance Force (ISAF) dalam invasi mereka ke Afghanistan(2001) dan Irak (2003). Mungkin itu biang perubahan. Sementara sisi lain, pernah terjadi pembenaran ideologis bertajuk ‘Saddam menyimpan senjata pemusnah massal’ dan Preemtive Strike Doctrine yang ditebar sebelumnya ternyata tak berjalan mulus. Artinya masih timbul pro kontra terutama pada awal-awal invasi dulu.

Permasalahan utama: betapa militer profesional dengan mesin perang modern lagi canggih berasal dari 40-an negara tetapi tidak mampu menundukkan Taliban yang sekelas separatis atau kelompok radikal. Kasus ini telah menjungkir balikkan teori perang modern, bahwa kalah dalam jumlah pasukan dan kalah canggih peralatan identik kalah perang!

Agaknya perang antara pasukan AS bersama sekutunya versus Taliban meskipun tidak sebanding serta memakan waktu 10-an tahun, terbukti mencengangkan dunia. Artinya pihak Barat tidak bisa memetik hasil sesuai harapan —kalau tak boleh dikatakan kalah perang—bahkan kebangkrutan ekonomi pun kini menganga di depan mata, terutama bagi kelompok negara yang terlibat sharing saham pada perang tersebut. Hal inilah yang jarang diungkap media mainstream karena rata-rata dimiliki serta dalam kendali Barat. Apa boleh buat. Edit dan kontra berita memang bagian dari metode kolonialisme di muka bumi.

(Bersambung Bag-2)

Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com