RRC Protes Ekspansi Militer AS di Asia-Pasifik

Bagikan artikel ini

Saat seorang jenderal senior Amerika Serikat (AS) bertemu deputi panglima militer China Letnan Jenderal Cai Yingting, Cai menegaskan dia sangat keberatan dengan semakin banyaknya kehadiran militer AS di Asia-Pasifik.

 

Menurut Cai, hal itu merupakan upaya AS mengepung negaranya. “ Mengapa Anda membendung kami ?” kata Cai, menurut pejabat AS yang hadir dalam pertemuan itu. Petinggi militer AS membantah tuduhan bahwa pihaknya hendak membendung China, namun jelas sebabnya mengapa para pejabat Beijing memiliki pendapat semacam itu. Pemerintahan Presiden AS Barack Obama memperkuat hubungan pertahanan dengan negara-negara sekitar China, termasuk dengan India, Vietnam, Filipina, Indonesia, dan Singapura.

AS juga mereposisi pasukan, pesawat, dan kapal-kapalnya. Tidak hanya itu, Washington menambah kucuran bantuan di Pasifik Selatan untuk mengimbangi pengaruh China. Menteri Pertahanan AS Leon Panetta tampaknya juga menghadapi pertanyaan lebih tajam pekan ini, saat dia tiba di Beijing dan bertemu dengan Menhan China Jenderal Liang Guanglie. Panetta baru pertama kali ini mengunjungi China, namun ini perjalanannya ketiga di kawasan tersebut sejak menjabat di Pentagon pada Juli 2011. Lawatannya ini sesuai misi pemerintahan Obama untuk memperkuat aliansi dan menambah pasukan untuk mengimbangi pertumbuhan pengaruh China di Asia-Pasifik.

Contoh terbaru, AS mencabut sanksi terhadap Selandia Baru yang telah diterapkan sejak 1984. Sanksi itu semula melarang kapal-kapal Angkatan Laut (AL) Selandia Baru berlabuh di pangkalan militer atau pelabuhan AS. Kini kapalkapal AL Selandia Baru dapat berlabuh di seluruh pangkalan militer AS di dunia. AS dan Selandia Baru juga akan menggelar lebih banyak latihan militer bersama di Pasifik Selatan.

“ Kami sedang dalam diskusi, tidak untuk membawa persenjataan nuklir ke Selandia Baru, tapi membantu mereka mengembangkan kemampuan amfibi, karena mereka sangat bangga menyebut dirinya kekuatan Pasifik Barat Laut,” papar pejabat AS,dikutip Reuters. Adanya perubahan itu meningkatkan kompetisi pengaruh di Pasifik Selatan, tempat China membantu pembangunan jalan, pelabuhan, dan proyek pembangunan lainnya. Menteri Luar Negeri AS Hillary Clinton dua pekan lalu juga menghadiri forum regional di Kepulauan Cook, Selandia Baru.

Kepada publik, pejabat AS menyatakan mereka melakukan “rebalancing” pasukan di penjuru dunia, di mana pasukan AS telah meninggalkan Irak dan sedang ditarik dari Afghanistan, serta memberikan sejumlah peralatan militer pada negara-negara lain. AS menyatakan perubahan fokus ke Asia tidak bertujuan menekan China,tapi sesuai ancaman keamanan yang ada, termasuk nuklir Korea Utara (Korut), dan pasukan nontempur untuk bencana alam. Strategi rebalancing Amerika Serikat (AS) atau “poros”di Asia, menambah dimensi baru dalam konflik Laut China Selatan dan Laut China Timur.

Selain memperkuat hubungan militer dengan Filipina,AS pada 2011 mengumumkan rotasi pengerahan 2.500 Marinir AS di Darwin, Australia, dan mengerahkan empat kapal tempur daerah pesisir (LCS) di Singapura. Pada Juni 2012, Menteri Pertahanan (menhan) AS mendeklarasikan bahwa AS akan mengerahkan 60% kemampuan angkatan lautnya ke Samudra Pasifik. Strategi rebalancing AS ini pun menambah dimensi baru dalam konflik Laut China Selatan dan Laut China Timur, khususnya terkait sengketa maritim antara Beijing dan Tokyo sekarang.

AS secara tradisional enggan terlibat dalam klaim kedaulatan atas Laut China Selatan dan Laut China Timur. Misalnya, AS berulang kali menekankan bahwa wilayah yang diklaim Filipina tidak tercakup dalam Traktat Pertahanan Bersama 30 Agustus 1951 yang mengikat Filipina dan AS. Washington secara konsisten membatasi kepentingannya untuk pemeliharaan kebebasan navigasi dan mobilitas Armada Ketujuh yang dimilikinya. Namun, insiden yang melibatkan kapal pengawas samudra USNS Impeccable dan kapal patroli sipil serta AL China di selatan Pulau Hainan pada Maret 2009,memicu perhatian serius di Washington. China menganggap Impeccable terlibat dalam riset sains laut di zona ekonomi eksklusif China yang membutuhkan izin Beijing.

Namun,Washington beralasan aktivitas kapal pengawasnya sah sesuai prinsip kebebasan navigasi. Sikap AS di Laut China Selatan secara mendasar tidak berubah sejak insiden Impeccable tersebut.Washington tetap tidak mengambil posisi dalam sengketa maritim, dan terus membatasi kepentingan intinya untuk kebebasan navigasi di perairan sengketa. Meski demikian, AS masih mengkhawatirkan peningkatan kemampuan AL China dan komitmen Beijing untuk prinsip kebebasan navigasi di perairan sengketa.

Dalam Shangri- La Dialogue 2010, menhan AS saat itu–Robert Gates, mendeklarasikan bahwa meskipun Washington tidak berpihak dalam konflik maritim, menentang semua aksi yang dapat mengancam kebebasan navigasi di Laut China Selatan. Pernyataan Menteri Luar Negeri AS Hillary Clinton dalam Forum Regional ASEAN (ARF) Juli 2010 yang mendeklarasikan kepentingan nasional dalam kebebasan navigasi di Laut China Selatan,semakin membuat marah China. Komentar Hillary dianggap Beijing sebagai bentuk intervensi asing.

Hillary kembali menyatakan hal itu dalam pertemuan ARF di Bali pada Juli 2011, yang saat itu dia mendorong ASEAN dan China menyusun kode etik dalam isu tersebut. Tarik-ulur masih terjadi hingga saat ini antara ASEAN dan China terkait hal itu. Di tengah berbagai perkembangan yang terjadi itu,konflik maritim akan membayangi satu dekade mendatang.

Dengan kepemimpinan baru China nanti dan kepentingan AS di Asia-Pasifik, semua pihak ingin melihat bagaimana konflik tersebut dikelola.

Sumber :www.rimanews.com

Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com