Menyusul meningkatnya ketegangan dengan blok pimpinan AS, seorang diplomat tinggi Rusia telah memperingatkan NATO untuk segera menyadari segala tindakan yang mengarah lebih jauh ke Eropa Timur, yang dinilai Moskow sebagai garis merah yang tidak boleh dilewati. Jika NATO masih bersikeras melewatinya, maka negeri Beruang Merah tersebut akan membuat respons militer yang tak terhindarkan.
Berbicara kepada Rossiya 24 TV pada hari Senin, Konstantin Gavrilov, kepala delegasi Rusia untuk Negosiasi Keamanan Militer dan Kontrol Senjata di Wina mengatakan Washington berkewajiban untuk terlibat dalam dialog dengan Moskow tentang jaminan keamanan demi perdamaian di benua itu, apakah para pejabat menginginkannya atau tidak.
“Pembicaraan harus serius, dan semua orang di NATO sangat sadar, terlepas dari semua tenaga dan kekuatan, bahwa perlu untuk mengambil tindakan politik yang konkret, jika tidak, alternatifnya adalah … respons militer dari Rusia,” jelasnya.
Komentar Gavrilov muncul tak lama setelah Moskow mengeluarkan dua dokumen, satu untuk NATO dan satu lainnya untuk pejabat AS, yang meminta berbagai jaminan yang katanya ditujukan untuk meningkatkan keamanan semua pihak.
Proposal untuk NATO berfokus terutama pada pergerakan personel dan perangkat keras, dan mencakup persyaratan bahwa ambisi lama Kiev untuk bergabung dengan blok itu tidak akan terwujud. Klausul terpisah meminta anggota saat ini untuk meninggalkan aktivitas militer apa pun di wilayah Ukraina, serta di Eropa Timur, Kaukasus Selatan, dan Asia Tengah.
Dalam proposisinya ke Washington, Moskow meminta para pejabat berkomitmen untuk mengesampingkan ekspansi ke bekas wilayah republik Soviet. Kekhawatiran atas potensi pelebaran blok militer pimpinan AS ke Eropa Timur telah dihidupkan kembali dalam beberapa pekan terakhir. Berbicara melalui tautan video awal bulan ini, Presiden Rusia Vladimir Putin mengatakan kepada mitranya dari AS, Joe Biden, negaranya “sangat tertarik” untuk mendapatkan “jaminan hukum yang andal dan tegas” yang akan melarang ekspansi NATO lebih jauh ke timur, serta penyebaran “sistem senjata serangan ofensif” di dekatnya.
Juru bicara Kementerian Luar Negeri Maria Zakharova memperingatkan pada awal Desember bahwa perluasan lebih lanjut dari blok ke arah Rusia adalah garis merah bagi Moskow, dan bahwa harapan Ukraina untuk bergabung dengan barisannya tidak dapat diterima. AS menarik Kiev ke orbit NATO dan mengubahnya menjadi “jembatan” konfrontasi dengan Rusia, katanya, dalam sebuah langkah yang dapat mengacaukan Eropa.
Lebih buruk lagi adalah bahwa Administrasi Biden secara umum terlibat dalam kebijakan luar negeri ala Dr. Strangelove ini. Seperti yang dikatakan juru bicara Menteri Luar Negeri Tony Blinken, Ned Price, “Jika Rusia memilih untuk gagal dalam menurunkan ketegangan… kami dan sekutu kami akan siap untuk bertindak. Kami akan siap untuk bertindak tegas.”
Sama meresahkannya adalah bahwa para genius di kedua belah pihak mendorong agar Ukraina menjadi bagian dari NATO, dengan kebijakan “serangan terhadap satu adalah serangan terhadap semua”. Artinya, jika Rusia kemudian menginvasi Ukraina, AS dan Eropa Barat wajib melakukan intervensi militer.
Sebagaimana diulas Hendrajit, Direktur Eksekutif Global Future Institute, bahwa Amerika Serikat nampaknya sedang mengulang modus lama mereka di Afghanistan, mendorong berbagai elemen masyarakat yang tergabung dalam Gerakan Mujahidin Afghanistan sebagai kekuatan bersenjata melawan tentara pendudukan Rusia pada dekade 1980an. Cara serupa agaknya sedang coba diulangi di Ukraina. Ketika AS bersama NATO memberikan bantuan senjata dan peralatan militer
Dalam waktu kurang lebih delapan tahun terakhir, Pentagon telah memberikan bantuan militer kepada pemerintah Ukraina sebesar 2,5 miliar dolar AS. Pada masa pemerintahan Joe Biden sekarang, Washington telah mengajukan peningkatan bantuan militer kepada Ukraina sebesar 450 miliar dolar AS khusus bantuan persenjataan militer untuk alokasi anggaran tahun depan. Khusus untuk tahun ini saja, 300 juta dolar AS sudah dialokasikan untuk anggaran selama 12 bulan.
Washington juga akan memasok persenjataan dari gudang persenjataan yang selama ini disembunyikan CIA di Romania dan Bulgaria. Ini merupakan rute tersembunyi yang digunakan AS dan NATO untuk mengirim senjata kepada kelompok-kelompok teroris yang merupakan agen-agen proksi atau kelompok-kelompok binaannya. Seperti misalnya kepada kelompok-kelompok milisi bersenjata binaan AS dan NATO untuk menggulingkan Presiden Suriah Bashar al-Assad. Namun AS dan NATO gagal menyingkirkan Assad berkat campurtangan Rusia. Maka gagallah skenario Regime Change di Damaskus.
Pada 2014 lalu, AS dan sekutu-sekutu Eropa Barat yang tergabung dalam Uni Eropa, berhasil menggulingkan Presiden Viktor Yanukovich yang dianggap tidak bersahabat dengan kepentingan AS dan Uni Eropa. Keberhasilan kudeta terhadap Yanukovich yang didukung dari balik layar oleh CIA itu, kemudian mendorong kemunculan kelompok fasis neo-nazi Ukraina yang sangat phobia Rusia. Sedemikian rupa phobi Rusia itu terbangun, sehingga menyerang penduduk Crimea di Ukraina Timur yang merupakan etnik Rusia.
Dengan meningkatnya pasokan senjata AS dan NATO telah mendorong Kiev untuk terus mengobarkan permusuhan terhadap Rusia, bahkan tidak segan-segan melanggar Perjanjian Minsk yang ditandatangi pada 2015 lalu. Bahkan Jerman dan Prancis yang semula ikut memainkan peran sebagai pihak penjamin bersama Rusia, belakangan juga menutup mata terhadap tindak kekerasan yang dilancarkan secara sistematis oleh Kiev.
Sebagaimana disinggung di awal, Presiden Rusia Vladimir Putin mengatakan bahwa penempatan pasukan dan senjata NATO ke Ukraina adalah “garis merah” baginya dan siapapun yang melewatinya akan berhadapan langsung dengan militer Rusia. Tentu saja. Sama seperti kita tidak bisa mundur selama Krisis Rudal Kuba pada tahun 1962, Rusia juga tidak akan mundur ke Ukraina. Hal yang sama berlaku untuk China vis-à-vis Taiwan.
Sudarto Murtaufiq, peneliti senior Global Future Institute (GFI)