SBY Tidak Lagi Sebagai “Media Darling”

Bagikan artikel ini

Rusman, Konsultan media dan Peneliti Global Future Institute (GFI)

Diantara satu tugas pokok dan fungsi media massa baik cetak, elektronik dan sosial media adalah memberikan pencerahan dan informasi yang mendidik kepada masyarakat melalui pemberitaan dan editorialnya yang “bebas nilai”. Namun, akhir-akhir ini hubungan antara pers dengan SBY terutama dalam konteks pemberitaan, berada dalam pendulum yang kurang berimbang. Kondisi ini jelas mengindikasikan bahwa SBY bukan lagi sebagai “media darling”.

Demikian dikemukakan pengamat politik Otjih Sewandarijatun seraya menambahkan, sebenarnya tidak ada yang salah dengan pernyataan SBY dalam buka puasa bersama DPD RI pada 24 Juli 2013 yang menyatakan, “Kita ingin masyarakat yang punya nilai-nilai baik, mencirikan good society, bisa mengatakan ini tidak baik, ini baik, ini tidak boleh, ini boleh. Kalau itu tidak ada dan mengharapkan negara sebagai polisi, kehidupan kita tidak baik,” kata Kepala Negara.

Menurut pengamat Lembaga Analisa Politik dan Demokrasi ini, menjadi Presiden di era reformasi sekarang ini jelas berbeda dengan di era Orde Baru, karena tantangannya semakin berat, ancaman semakin asimetris dan persoalan national charracter building bangsa ini yang belum selesai, sehingga semua elemen masyarakat diakui atau tidak selalu menganggap pernyataannya selalu benar.

“Jika kondisi ini terus menerus dipertahankan, maka yang rugi kita semua sebagai satu kesatuan anak bangsa karena mudah diacak-acak negara lain ataupun kepentingan asing. Berita-berita politik ataupun pernyataan yang kurang benar diletakkan dalam proporsi dan tempatnya, juga ternyata kurang etis jika dijadikan headline ataupun editorial sebuah berita,” tambah perempuan cantik ini.

Oleh karena itu, alumnus Universitas Udayana ini menekankan, kedewasaan pers juga menjadi salah satu indikator penting berhasil atau tersendatnya masa depan bangsa ini. Jangan posisikan pers menjadi “common enemy” dengan editorial ataupun pemberitaannya yang kurang berimbang ataupun karena dilandasi misalnya tokoh tersebut bukan lagi sebagai “media darling” sehingga berhak dikritisi dengan sarkasme sekalipun.

Sementara itu, pengamat masalah sosial budaya, Datuak Ali Tjumano mengatakan, hampir setiap hari, hampir semua media massa baik media massa mainstream (yang independen ataupun yang dimiliki konglomerat atau politisi) tertentu, apalagi media massa “pinggiran” selalu menyerang kinerja SBY yang dinilai berkonotasi kurang baik.

Menurut lelaki asal Minang ini, kondisi netralitas media ini berbeda dengan situasi di era tahun 2004, ketika SBY sebagai “media darling” semua memujinya. Oleh karena itu, selain mendengar keluh kesah, kritikan ataupun sarkasme rakyatnya, SBY tidak perlu kebakaran jenggot. Hadapi saja kenyataan itu sebagai resiko ketika SBY bukan lagi sebagai “media darling”.

Datuak menyatakan, persoalan Syiah, persoalan hak keyakinan beragama, demokrasi, HAM dan lingkungan hidup di Indonesia jauh lebih baik dibandingkan negara manapun, termasuk “manuver politisasi” atas berbagai kasus apapun juga paling dahsyat di Indonesia.

“Ketika media massa mengedepankan berita-berita politik ataupun editorial yang sensasional, mereka sebenarnya kurang menyadari berita dan editorial tersebut menyebabkan “teralienasinya” publik dari politik yang berdampak macam-macam golput meningkat, political decay dimana-mana dan lain-lain. Kalau situasi ini terus dikelola seperti ini, tidak menutup kemungkinan pers akan dinilai publik hanya sebagai “buster problem maker” bukan “problem solver“,” urainya.

Pendapat hampir senada dikemukakan Arman Ndupa yang menyatakan, pernyataan Presiden SBY tersebut jangan terlalu vulgar dikritisi sebagai sindiran dengan mengatakan “negara ada tapi hakikatnya tidak dirasakan keberadaannya”. Yang disebut dengan negara adalah ada batas wilayah, rakyat dan pemerintah. Dalam konteks pernyataan SBY tersebut, sebenarnya Presiden ingin mengajak kita memiliki “sense of belongings” terhadap eksistensi negara ini yang sudah mulai meluntur.

“Kita dapat lihat dari kekalahan timnas dari Chelsea, Liverpool dan Arsenal, masyarakat malah kegirangan menyambut kekalahan tersebut. Ini tanda-tanda tidak baik, karena nasionalisme kita dirusak dirumah sendiri. Kalau semuanya diserahkan negara untuk menyelesaikan berbagai permasalahan, itu menandakan demokrasi kita belum hidup dan belum sehat dan jika mengharapkan negara seperti Polisi, maka pertanyaan mendasarnya adalah apakah kita mau kembali ke zaman orde baru,” tambah lelaki asal Bali ini.

Menurut alumnus pasca sarjana UI ini, pers dalam menganalisis suatu permasalahan, apalagi dalam bentuk editorialnya yang merupakan simbol suara dari politik keredaksian harus lebih cermat dan berimbang, dan jangan menjustifikasi negara tidak ada.

“Kalau negara ini tidak ada, chaos, turbulance dan riots ada dimana-mana dan tidak terkendali,” tegas Arman Ndupa. (TGR/TE)

Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com