Sekilas Pandang Bali Sebagai Destinasi Wisata (Sebuah Catatan Perjalanan)

Bagikan artikel ini

Delapan tahun lalu menginjak kembali bumi Bali bagi serasa Cuma impian dan angan-angan semata. Namun saat negeri kita sedang dibayang-bayangi pandemi Covid-19,  aku justru berkesempatan menyambangi pulau yang didamba banyak orang di dalam dan luar negeri. Pulau Dewata ini sepertinya tetap ramai dan marak meski saat ini pandemic Covid masih dalam masa transisi atau sering disebut New Normal.

Saat pandemi kayak sekarang, ada beberapa persyaratan yang sebenarnya bikin kesal dan ribet.  Agar bisa  terbang ke Bali, harus ikut Rapid Test. Untunglah hasilnya negatif, maka terbanglah aku ke Bali bersama Citilink.

Meski sendirian, perjalananku mengasyikkan karena niatnya memang buat me time. Begitu sampai Bandara Soekarno Hatta Terminal 3 di gate 16 yang menuju ke Denpasar ternyata sudah penuh dengan wisatawan lokal & beberapa turis mancanegara. Saat take off, di dalam pesawat aku menikmati pemandangan awan  biru dan langit yang sangat cerah, membuat jari-jariku tak kuasa untuk memotret pemandangan indah itu di setiap momen yang melintas pada penglihatanku. Berkat ilmu yang kudapat dari fotografer sohor Darwis Triadi, bakat terpendamku sebagai pemotret rupanya mencuat ke permukaan. Sebuah bakat terpendam yang diriku sendiri pun tak menyadarinya.

Tak terasa 2 jam diudara dan aktivitas potret memotretku rupanya membuat diriku berhasil memerangi rasa bosan selama perjalanan. Singkat cerita,  pesawat mendarat dengan mulus dan selamat di bandara Ngurah Rai Denpasar. Oh ya, ngomong-ngomong soal Ngurah Rai. Begitu pramugari mengumumkan akan segera mendarat di bandara Ngurah Rai, aku jadi terkenang kembali sejarah perjuangan sosok Bali yang luar biasa ini sewaktu belajar di SMP dulu.

Ilustrasi I Gusti Ngurah Rai. tirto.id/Gery

Setiap nama bandara di tanah air, selalu terkait dengan sosok atau tokoh yang pernah berjasa besar pada berdirinya republik kita tercinta ini. Nah, siapakah tokoh Ngurah Rai yang luar biasa ini sehingga jadi nama bandara di Denpasar Bali?

Brigadir Jenderal TNI I Gusti Ngurah Rai adalah seorang Pahlawan Nasional Indonesia dari Kabupaten Badung, Bali. Ngurah Rai memiliki pasukan yang bernama pasukan “Ciung Wanara” yang melakukan pertempuran terakhir yang dikenal dengan nama Puputan Margarana melawan pemerintah kolonial Belanda.

Kegigihannnya dalam mempertahankan kemerdekaan melawan pasukan Belanda, membuat beliau diangkat sebagai salah satu pahlawan nasional di Indonesia. Beliau tercatat gugur dalam peristiwa Puputan Margarana pada 20 November 1946 di usia masih sangat muda, yaitu 29 tahun.

Bukan itu saja. Berkat perjuangannya, I Gusti Ngurah Rai mendapatkan banyak penghormatan dari pemerintah. Bandara terbesar dan satu-satunya yang ada di Bali, diresmikan dengan menggunakan nama beliau. Tidak hanya itu, makam Ngurah Rai, yaitu Taman Pujaan Bangsa Margarana juga kerap dikunjungi oleh para wisatawan yang ingin menghormati jasa beliau. Cukup sekian dulu ya soal Ngurah Rai.

Singkat cerita, begitu keluar imigrasi bandara, aku sudah ditunggu dan dijemput oleh teman lama dan anaknya, mereka berdua sudah seperti keluargaku sendiri. Ya begitu deh. Kadang teman akrab malah serasa saudara beneran ketimbang saudara sendiri.

Sepanjang perjalanan menuju rumah temanku, kami melepas rindu dengan banyak cerita-cerita seru. Sempat kami singgah ke area yang sering dikunjungi wisatawan asing & lokal untuk sekedar menikmati bakso & berfoto. Banyak juga yan mengunjungi tempat tersebut di saat pandemi, tetap dengan protokol Covid 19 tentunya.

Selama 2 minggu di Bali, aku benar-benar sangat menikmati me time. Lima hari menginap di Villa dan sisanya di rumah sahabatku. Saat aku menelusuri pantai di Bali, banyak turis lokal yang kudapati mereka tidak menggunakan masker disaat menikmati udara pantai. Iya aku maklum, karena aku pun juga menikmati udara pantai tanpa mengenakan masker. Udara pantai yang menyegarkan rasa-rasanya saying sekali kalau harus maskeran.  Selain itu, walaupun terik matahari kurasakan, tapi beda sekali dengan panasnya Ibukota yg penuh dengan polusi.

Bagaimana suasana Bali saat transisi new normal kayak sekarang? Mungkin karena masih dalam suasana pandemi, Bali terasa agak sunyi di beberapa lokasi yang biasanya ramai dengan turis-turis asing. Ada beberapa tempat hangout yg masih boleh dikunjungi hingga tengah malam dengan beberapa aturan ketat. Bagi mereka dengan anggaran minim, ada beberapa tempat penginapan semacam kamar kost yang murah meriah di kisarannya seratus ribu rupiah perhari.

Alam sekitar, khususnya di area pegunungan di Bali, tidak kalah menarik. Bahkan satu hari ketika aku mengunjungi Bedugul Bali, Gunung Agung dengan ramahnya menampakkan diri. Takjub  aku melihat keindahan alam Bali.

Satu hal yang membuatku semakin merasakan arti dan makna jatidiri atau menjadi diriku sendiri yang otentik, terinpirasi oleh masyarakat Bali yang amat  menghargai privasi seseorang. Contoh kecil, saya suka cuek dengan mengenakan pakaian, sesekali mengenakan daster tanpa bra, mereka tidak peduli selama kita masih menjaga norma-norma sosial yang berlaku.

Baiklah. Apa informasi penting yang kuserap selama di Bali. Nah ini. Ke depannya nanti, Bali rencananya  akan dijadikan pilot project untuk energi listrik khususnya untuk bahan bakar. Bensin yang saat ini  merupakan bahan bakar minyak andalan,  akan segera digantikan dengan listrik. Tapi ya itu tadi. Namanya juga rencana, sepertinya masih dalam rencana jangka panjang. Begitupun kuharap segera terwujud.

Gimana di sektor pertanian yang kabarnya justru basis ekonomi sesungguhnya masyarakat Bali? Menurut informasi salah saty temanku yang cukup klotokan soal perikanan di Bali, untuk pasokan ikan, para nelayan di Bali biasanya mendapatkan pasokan ikan dari Lombok. Kok bisa begitu ya? Tapi okelah itu bisa jadi bahasan tersendiri nanti.

Sekarang masih cerita dulu soal wisataku di Bali. Jimbaran masih menjadi salah satu obyek kuliner kesukaanku saat menikmati seafood.  Sekadar informasi, ada satu area yang sepertinya mirip dengan Muara Karang di Jakarta. Yaitu berlokasi di pelabuhan Benoa Bali.

Walaupun beberapa area wisata masih ditutup, tapi syukurlah tidak mengurangi keindahan kota-kota di Bali dalam menyambut tamu-tamunya. Misalnya Ubud, masih merupakan tempat yang romantis untuk dinikmati, terutama Tegalalang yang nyaman dengan suasana udaranya sejuk. Terbersit sebuah damba satu saat kuingin untuk menikmati harituaku nanti di Bali.

Kembali ke soal Bali sebagai destinasi wisata bagi warga nusantara maupun mancanegara, amat disayangkan sampai hari ini Bali belum punya website khusus kepariwisataan. Saya sendiri tidak tahu kenapa bisa begitu. Padahal kan saat ini warga dunia sudah memasuki era industri 4.0. Iya nggak sih?

Padahal Bali saat ini tercatat sebagai salah satu obyek wisata terbaik di dunia. Betapa tidak. Orang asing kadang lebih familiar dengan Bali daripada Indonesia. Singapura saja yang destinasinya tak sekaya Bali tapi sudah punya website khusus pariwisata yang di dalamnya terdapat direktori, area promosi, hingga booking engine. Ia pun menekankan bahwa untuk meraih pasar masa depan di era digital ada lima hal yang harus digarap secara holistik yakni digital device, digital platform, digital media, digital data, dan digital technology.

Aku kuatirnya itu begini ya. Jangan-jangan karena merasa Bali sudah masyhur sehingga industri wisatanya sudah merasa hebat, lalu merasa puas diri. Sehingga tidak anggap penting bikin strategi promosi. Maka jadinya pengembangan promosi wisata Bali lewat digital jadinya seperti diabaikan. Semoga saja kesanku salah. Karena aku berharap sekali Bali makin gemebyar popularitasnya di dunia internasional. Sehingga semakin banyak menarik wisatawan asing berkunjung ke Bali.

Sebetulmya pada akhir Maret 2018 lalu  Kementerian Pariwisata RI sudah mencanangkan pengembangan digital destination (destinasi digital) sebagai strategi merebut wisatawan mancanegara (wisman) yang ditargetkan mencapai 20 juta orang pada 2019. Saat itu diputuskan untuk membangun 100 destinasi digital di 34 provinsi. Adapun yang dimaksud destinasi digital adalah destinasi yang membuat heboh di dunia maya, viral di media sosial, dan nge-hits di Instagram.

Sebagai penutup untuk catatanku kali ini tentang Bali, digital destination sangat penting mengingat  tuntutan era digital, di mana generasi milenial merupakan  konsumen yang paling haus akan pengalaman dibanding generasi-generasi sebelumnya.

Nggak percaya? Coba simka hasil survei berikut ini. Ternyata apa apa coba? Hasil survei di seluruh dunia (Everbrite-Harris Poll, 2014) membuktikan bahwa milenial lebih memilih menghabiskan uang mereka untuk pengalaman ketimbang barang. Artinya, daya dorong buat traveling nyari pengalaman baru lebih penting daripada beli barang-barang yang tujuannya buat melayani hasrat gaya hidup.

Wah, menyimak hasil survei itu, dan dua minggu masa wisataku di Bali. Tetiba berpikir. Jangankan milenial yang kelahiran antara 1986-2004, aku aja yang sudah setengah baya gini, masih kuat hasratku buat traveling.

Kedua, ini yang lebih penting. Saat ini jumlah penduduk Indonesia yang usia milenial bakal mencapai 60 persen lebih. Ini yang dinamakan bonus demografi. Penduduk berusia produktif. Buatku jadi lucu benar kalau dalam soal layanan  wisata saja, pemerintah dan para pemangku kepentingan di negeri kita, anggap enteng aspirasi kaum milineal. Yang mana masa depan Indonesia ada di tangan anak-anak seusia putri tunggalku semata wayang, Michelle.

Kori Soenarko, Direktur Informasi dan Komunikasi Global Future Institute (GFI)

Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com