Siapkah MK Menghadapi Pemilu 2014?

Bagikan artikel ini

Willy Wirayudha, Jurnalis, Pemerhati Politik Indonesia

Mahkamah Konstitusi kembali ternoda. Setelah sebelumnya lembaga yang menjadi benteng terakhir demokrasi ini dicoreng dengan kelakuan mantan Ketuanya, Akil Mochtar, yang terlibat kasus suap pilkada Lebak, Banten, kemarin sekelompok pendukung calon Gubernur&Wakil Gubernur Maluku mengamuk dan merusak peralatan audio karena kecewa dengan putusan hakim. Kericuhan terjadi sesaat setelah hakim membacakan putusan atas gugatan yang diajukan pasangan calon Herman-Adrian Koedoeboen-Daud Sangadji. Para pendukung pasangan calon ini langsung berteriak keras dan masuk ke ruang sidang sambil mengejar-ngejar para hakim. Puluhan orang ini merusak tiga layar monitor di lobi, delapan mikrofon di ruang sidang, satu kaca pengumuman di lobi atas, dan satu kursi pengunjung.

Kerusakan yang dialami di ruang lobi dan ruang sidang MK tidak seberapa bila dibandingkan dengan jatuhnya wibawa MK. Lembaga ini sudah semakin kehilangan wibawa dan kepercayaan dari masyarakat. Terlepas dari persoalan pilkada Lebak yang putusannya dipertanyakan karena Akil Mochtar – Ketua MK pada saat putusan itu dibuat – diduga menerima suap, para perusuh ini sudah tidak percaya lagi dengan kredibilitas hakim MK dalam memutuskan perkara, mereka menganggap putusan MK sudah tercemari kepentingan lain, miris. Segala bentuk prestasi yang diraih MK sejak era kepemimpinan Prof. Jimly Asshiddiqie sampai puncaknya pada era Prof. Mahfud MD, seakan hilang karena nila setitik (atau bahkan dua titik) karena kasus suap Akil Mochtar dan kerusuhan di ruang sidang ini.

Mahkamah Konstitusi adalah lembaga tinggi yang dibentuk atas dasar ketidakpuasan publik pada lembaga peradilan tertinggi yang ada saat itu; Mahkamah Agung. Mahkamah Konstitusi (MK) dibentuk pada awalnya diawali dengan diadopsinya ide MK (Constitutional Court) dalam amandemen konstitusi yang dilakukan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) pada tahun 2001 sebagaimana dirumuskan dalam ketentuan Pasal 24 ayat (2), Pasal 24C, dan Pasal 7B Undang-Undang Dasar 1945 hasil Perubahan Ketiga yang disahkan pada 9 Nopember 2001. Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk  menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945,  memutus Sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD 1945, memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum, yang didalamnya juga termasuk pemilihan langsung Kepala Daerah Provinsi dan Kabupaten/Walikota (Pemilukada).

MK begitu dipercaya oleh masyarakat dan bertaji pada era kepemimpinan Mahfud MD, lembaga ini menjadi pintu terakhir demokrasi Indonesia. MK dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menjadi dua lembaga yang dipercaya masyarakat, ditengah hilangnya kepercayaan masyarakat pada lembaga penegak hukum lainnya. Menurut Setara Institute, MK pada era kepemimpinan Akil Mochtar yang hanya seumur jagung, menghasilkan putusan-putusan yang dinilai politis. Persentase putusan MK menurut Setara adalah; pada era kepemimpinan Jimly Asshidiqie menghasilkan 90% putusan yang bersifat akademis argumentatif, pada era Mahfud MD keputusannya bersifat 90% progresif argumentatif, dan pada era Akil Mochtar 80% politis argumentatif. Sementara pada masa kepemimpinan Hamda Zoelva yang baru seumur jagung, MK telah dikotori oleh orang-orang yang tidak siap berdemokrasi dan memporak-porandakan ruang sidang MK. Semakin lenyaplah wibawa MK yang dibangun dengan susah payah oleh dua pimpinan MK pertama; Prof. Jimly dan Prof. Mahfud.

Etika Hakim MK

Pembentukan Dewan Etik dan Majelis Kehormatan Hakim Konstitusi harus segera diselesaikan, agar kepercayaan publik terhadap MK kembali didapat. Selama ini publik mengajukan gugatan kepada MK bila ada undang-undang, peraturan, ataupun kebijakan pemerintah yang tidak sesuai, namun kemudian publik bertanya-tanya apabila ada hakim MK, apalagi Ketua, yang melanggar peraturan bagaimana? Apakah Tuhan? Saat inilah momentum yang tepat untuk menjawab keraguan publik tersebut. MK harus bisa membuktikan bahwa lembaga ini bersih dan diisi oleh hakim-hakim yang jujur dan bersih.

Proses perekrutan hakim MK juga menjadi pertanyaan bagi sebagian kalangan. MK harus diisi oleh orang yang mandiri dan independen, karena ini lembaga yang independen, tidak ada intervensi dari manapun. Sebaiknya MK tidak diisi oleh orang-orang dari partai politik tertentu. Partai politik punya potensi besar untuk mempengaruhi putusan-putusan yang dibuat hakim-hakim konstitusi yang mereka pilih, karena ada kepentingan besar tahun depan. Kita harus menjaga proses perekrutan ini. Bahkan, perlu dicantumkan dalam Undang-Undang tentang MK bahwa calon hakim konstitusi haruslah dari pejabat karir, bukan dari partai politik tertentu, untuk memastikan tidak ada kepentingan apapun yang bermain.

Pemilu 2014

Putusan-putusan yang dibuat pada masa kepemimpinan Akil Mochtar bukan hanya tidak progresif, namun cenderung berjalan mundur. Seperti yang terjadi ketika MK menolak gugatan sengketa Pilkada Bali, yang menyatakan sejumlah dalil yang diajukan Pemohon, yakni pasangan Anak Agung Gede Ngurah Puspayoga-Dewa Nyoman Sukrawan (PAS) terkait jumlah pelanggaran yang dilakukan pasangan I Made Mangku Pastika-Ketut Sudikerta (Pastikerta) tidak beralasan menurut hukum. Mahkamah saat itu berpendapat bahwa pemilih yang memilih lebih dari satu kali dengan cara diwakilkan sudah dilakukan sejak Pemilu Legislatif, Pemilu Presiden serta Pemilukada Kabupaten, dan tidak pernah dipermasalahkan, sehingga dalil Pemohon tersebut tidak beralasan menurut hukum.

Namun putusan Mahkamah Konstitusi ini dapat membahayakan pelaksanaan penyelenggaraan Pemilu 2014 mendatang. Dalil hukum dalam putusan yang diputus pada 20 Juni 2013 lalu tersebut telah melanggar asas one man one vote. Isi putusan MK menyatakan bahwa pemungutan suara dapat dilakukan dengan cara perwakilan, asalkan ada kesepakatan, asas kemanfaatan, tidak dimanipulasi dan tidak dipersoalkan. Putusan ini dapat berefek dahsyat pada pemilu 2014 mendatang. MK adalah institusi yang sangat penting pada pemilu 2014. Isu ketidakpercayaan masyarakat kepada MK dan kredibilitas yang dipertaruhkan jangan dipandang remeh. Dalam menyelesaikan persoalan kredibilitas ini tidak bisa hanya prosedural ataupun melihat aspek-aspek kelembagaan, MK harus membuat terobosan-terobosan yang baru dan segar. Publik sudah marah melihat mantan Ketua MK yang tak beretika menerima uang suap untuk mempengaruhi putusan sidang, ditambah jatuhnya wibawa MK ketika sekelompok pendukung pasangan Cagub-Cawagub memporak-porandakan ruang sidang MK, jangan ditambah dengan putusan-putusan yang tidak populer lagi.

MK adalah muara terakhir pada persoalan sengketa pemilu, kita berpegang dan sangat bergantung pada MK untuk memutuskan dengan rasa keadilan yang tinggi. Momentum jatuhnya kredibilitas MK adalah ketika mantan Ketua MK Akil Mochtar ditangkap, prestasi publik yang diraih MK menjadi hancur. Hamdan Zoelva harus berani melakukan terobosan-terobosan yang progresif yang bebas dari kepentingan politik manapun. Masih banyak masyarakat yang percaya bahwa MK dapat kembali meraih kepercayaan publik. Kembali kita bertanya, siapkah MK menghadapi pemilu 2014? Semoga.

Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com