Sihir Statistik Dalam Pilpres

Bagikan artikel ini
“Orang-orang yang memberikan vote (suara) tidak menentukan hasil dari Pemilu. Namun, orang-orang yang menghitung vote itulah yang menentukan hasil dari Pemilu” (Joseph Stalin, Pemimpin Uni Soviet)
Ada tiga macam kebohongan: “Ngibul, Bohong dan Statistik” (Benyamin Disraeli, mantan PM Britania Raya)
Kita mulai catatan ini. Bahwa menyimak dinamika Pemilu 2024, terutama tahapan Pilpres Langsung alias one man one vote, terdapat tiga clue yang mutlak dicermati secara seksama. Kenapa? Tak lain, agar kita waspada serta mampu melihat apa yang sesungguhnya terjadi, bukan cuma ‘emosi’ menonton apa yang terjadi. Minimal, kita bisa memahami hakiki peristiwa secara komprehensif dengan berbekal quotes dari dua tokoh (Stalin dan Disraeli) di atas.
Adapun tiga clue dimaksud, antara lain:
Pertama, “Berbohong dengan Statistik” (Darell Huff, How to Lie with Statistics, 1954, diterjemahkan oleh J Soetikno & Cristina M. Udiani, Gramedia, 2002);
Kedua, “Siapa menguasa algoritma big data, itulah pemenangnya”. Ini dogma para hacker (peretas) yang ditelan tanpa kritik, tanpa selidik;
Ketiga, “Politik praktis bukanlah apa yang tersurat, melainkan apa yang tersirat (Pepe Escober, wartawan AsiaTimes, 2007).
Meski ketiga clue di atas terbaca jelas, namun hal itu sebatas asumsi penulis guna mengurai catatan ini. Pertanyaannya adalah, “Manakah di antara ketiga clue yang paling urgen dan prioritas?”
Kualitas ternyata sama. Sederajat. Saling terkait antara satu dan lainnya. Dan khusus clue ke-2, sekali lagi — itulah doktrin komunitas peretas yang selama ini beroperasi, sekaligus sebagai ‘ruh’ gerakan. Dogma tersebut hidup, berkembang, serta berdaya lagi berperan di dunia hacker dan siber.
Lantas, apa yang dimaksud dengan Berbohong dengan Statistik?
Barangkali, inilah penyesatan tingkat tinggi. Memanipulasi data dan informasi melalui statistik sebagaimana quote dari Disraeli di atas. Canggih. Publik dibuat capek melihat atraksi angka-angka dan ‘bulkonah’ (bulat, kotak, panah), agar meyakini atraksi statistik sebagai ‘kebenaran’.
Istilah lain modus tersebut di dunia praktisi kerap disebut ‘dark number’ alias penggelapan perkara/data. Masuk perkara 100 misalnya, ditulis hanya 10. Yang 90 tidak dilaporkan. Seakan-akan situasi normal, padahal tidak demikian. “Onani”. Menyenangkan diri sendiri. Atau kebalikannya, data riil justru digelembungkan. Angka 87 ditulis 887. Itu salah satu contoh.
Dalam Pemilu, tahap sebelum dark number, biasanya diawali survei popularitas, elektabilitas, quick count, exit poll, dan lain-lain. Sebenarnya tahap tersebut cuma bagian dari taktik penggiringan opini. Psy-war. Membentuk opini publik. Upaya menjatuhkan mental dan moral para pihak (lawan politik).
Hal-hal di atas, biasanya dilakukan secara terstruktur, bahkan gegap gempita guna menutupi apa yang sesungguhnya terjadi. “Tebarkan kebohongan berulang-ulang kepada publik, maka kebohongan akan menjadi kebenaran“. Itu poin teori propaganda ala Joseph Gobbels, Menteri Propaganda Jerman Raya di era Hitler silam.
Namun, hal-hal tersebut di atas baru dari satu sisi pandang. Ada sisi lain yang justru perlu diwaspadai, apa itu? Bahwa di tingkat pusat — sudah dipatok apa yang disebut ‘algoritma rekayasa’. Secara kuantitatif misalnya, sekian persen (%) untuk si Anu, sekian persen buat si Fulan. Atau, kualitatifnya cukup satu putaran, dan seterusnya. Itu penjelasan sepintas soal clue ke-2, siapa menguasai algoritma big data, dia-lah pemenangnya.
Dengan demikian, melihat apa yang sesungguhnya terjadi dalam peristiwa politik (praktis) bukan menengok apa yang tersurat, tetapi arahkan pisau kajian terhadap hal-hal tersirat. Di situ, akan terkuak ‘sesuatu dalam sesuatu’, misalnya, di balik kegaduhan di akar rumput, ternyata ada deal alias kompromi di level atas (elit politik).
Menutup catatan sederhana ini, sebenarnya ada sesuatu yang jauh lebih urgen daripada narasi di atas, apa misalnya?
Ternyata praktik operasional UUD NRI 1945 —kerap disebut UUD 2002— hasil amandemen UUD 1945 Naskah Asli, membuat wajah konstitusi kita sekarang berubah total. 180″. Selain menjadi liberal, individualis dan kapitalistik; mengubur Pancasila selaku norma hukum tertinggi; high cost politics; terlalu gaduh lagi memecah-belah bangsa; juga membuat marak kecurangan secara terstruktur, sistematis, dan masif. Ya, pointers pernyataan ini bukanlah karangan bebas penulis, tetapi bersumber dari kajian Laboratorium Pancasila UGM oleh Prof Kaelan dkk.
Maka dari lubuk hati yang paling dalam, mari bertanya kepada masing-masing diri: “Masihkah UUD 2002 ini dipertahankan? Sedangkan kita memiliki konstitusi sendiri yang lebih soft, beradab, selaras dengan local wisdom lagi berbiaya murah, yakni UUD 1945 Naskah Asli rumusan the Founding Fathers yang hingga kini belum pernah dilaksanakan secara murni dan konsekuen oleh orde manapun”.
Kalaupun ada kekurangan dan perlu diubah, bukankah penguatan dan penyempurnaan dapat dilakukan melalui teknik adendum? Bukan dengan cara mengobrak-abrik isi Batang Tubuh (97%) sehingga tidak nyambung antara Pembukaan dan Batang Tubuh.
Di Bumi Pertiwi ini, masih banyak tamu tak diundang di antara rerumpun kembang sore dan bunga-bunga sedap malam.
M Arief Pranoto, Pengkaji Geopolitik, Global Future Institute (GFI)
Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com