Dr Edy Prasetyono, Tenaga Profesional Bidang Hubungan Internasional dan Diplomasi, Lembaga Ketahanan Nasional RI (LEMHANNAS) dan Dosen Pasca Sarjana Fakultas Teknologi Pertahanan, Universitas Pertahanan (Unhan)
(Presentasi dalam Focus Group Discussion (FGD) Membahas Tentang Bergabungnya Indonesia ke Dalam BRICS yang diselenggarakan oleh Indonesia Consulting Group (ICG). Februari 2024).
Di tengah semakin memanasnya persaingan Amerika Serikat versus Cina akhir-akhir ini, keberadaan blok ekonomi dan perdagangan yang kita kenal sebagai BRICS (Brazil, Rusia, India, Cina dan Afrika Selatan), merupakan sebuah isu yang sangat relevan untuk kita bicarakan. BRICS yang berdiri sejak 2009 hingga sekarang. Oleh sebab kian menajamnya persaingan dua negara adikuasa tersebut, maka tak pelak lagi BRICS oleh AS maupun negara-negara Barat dinilai sebagai kekuatan alternatif terhadap blok Barat.
Menariknya lagi berdasarkan data-data yang tersedia dan bisa anda semua akses melalui berbagai sumber, Gross Domestic Product (GDP) BRICS saat ini bahkan sudah mampu melampaui Grup negara-negara maju (AS dan Uni Eropa) yang tergabung dalam G-7. Dengan demikian Brazil, Cina, Rusia, India dan Afrika Selatan saat ini harus kita pandang sebagai negara-negara raksasa juga.
Yang menarik untuk kita sorot bersama dalam forum ini adalah BRICS ini hakekatnya itu merupakan entitas seperti apa dan mewakili fenomena seperti apa. Ini yang menurut saya penting untuk kita perhatikan sehingga kita membuat suatu rekomendasi dan pandangan sebaiknya Indonesia harus bergabung dalam BRICS atau tidak. Ini yang menurut saya jauh lebih penting untuk kita putuskan. Menurut hemat saya, BRICS menunjukkan suatu arah menuju Multi-Polar Global Governance. Dengan kata lain para peranang BRICS sebagai blok ekonomi dan perdagangan berusaha menciptakan suatu sistem yang baru sebagai alternatif terhadap dominasi Barat. Seraya menantang hegemoni G-7. Ini nampak sekali. Sehingga BRICS ini sekadar blok ekonomi dan perdagangan, atau bahkan sudah berkembang menjadi entitas politik.
Saya kira hal ini sama saja seperti keberadaan Uni Eropa dulu. Sekadar entitas ekonomi atau juga entitas politik. Jika BRICS telah dipandang sebagai entitas politik, pastinya akan jadi lebih sensitif alih-alih sekadar entitas kerja sama ekonomi.
Namun segi menarik jika kita berbicara mengenai BRICS sebagai entitas politik, perlu kita sadari bahwa dalam beberapa kasus meski konflik politik berlangsung antar negara misalnya, namun kerja sama ekonomi bisa tetap berjalan. Contoh paling nyata adalah antara Cina dengan Taiwan. Australia dengan Cina dalam ranah politik tidak akur namun kerja sama ekonomi tetap berjalan. Volume perdagangan antara Australia dan Cina tiga kali lipat lebih besar dibandingkan volume perdagangan antara AS dengan Australia. Dengan begitu antara politik dan ekonomi dalam hubungan antar negara, nampaknya punya domain yang berbeda. Sebaliknya antar negara-negara anggota Uni Eropa hubungan ekonomi sering mengalami percekcokan kepentingan, namun di bidang politik justru sangat baik.
Nah kembali ke soal BRICS, selain berusaha menantang hegemoni negaa-negara mapan blok Barat, BRICS juga punya inter-koneksi yang kuat dengan kerja sama regional lainnya. Misalnya dengan Shanghai Cooperation Organization (SCO) yang dimotori oleh Cina dan Rusia. Saat ini BRICS sudah bertambah lagi enam negara baru. Bahkan saat ini ada 34 negara lagi yang masih mengantri untuk bisa diterima bergabung ke dalam BRICS. Ini tentu saja perkembangan yang cukup fenomenal dan luar biasa menuju kerja sama internasional yang lebih bersifat ragam kutub atau Multipolar. Bahkan sebagai simpul perubahan yang bukan saja perubahan tatanan melainkan juga pada hal yang lebih ideologis. Bahwa pembangunan, kerja sama dan kedaulatan sejatinya bisa berjalan secara bersama-sama. Tanpa mempersoalkan perbedaan ideologi yang dianut oleh masing-masing negara yang tergabung dalam BRICS.
Dengan demikian BRICS bukan saja merupakan kerja sama sebatas dalam domain ekonomi dan perdagangan, tapi juga kerja sama politik.
Nah dalam konteks ini, saya mau menyorot beberapa isu penting terkait BRICS tersebut. Pertama, soal isu keanggotaan dalam BRICS. Pertanyaannya adalah batasnya sampai di mana, where is the limit. Ini hal yang sama ketika berbicara mengenai keanggotaan baru di Perhimpunan Negara-Negara Asia Tenggara (ASEAN). Papua Nugini bisa jadi anggota ASEAN atau tidak. Dulu Taiwan yang dari kawasan Asia Timur atau Srilanka yang dari Asia Selatan juga pernah ingin bergabung ke dalam ASEAN.
Selain isu keanggotaan. Yang juga sering jadi obyek perdebatan adalah tentang kriteria. Negara-negara yang ingin berrgabung ke dalam BRICS perlu kriteria apa tidak. Kalau iya, berarti ukuran dan karakter ekonomi mereka juga akan jadi tolok ukur layak tidaknya bisa bergabung dalam BRICS. Juga terkait juga dengan prioritas. Apakah ada keselarasan antara batasannya, kriteria dan prioritas. Prioritas di sini maksudnya apakah dari segi prioritas kepentingan nasional negara yang ingin bergabung dengan BRICS, apakah memang bergabung dengan BRICS itu merupakan sesuatu yang urgen, atau cukup melalui kerja sama bilateral dengan masing-masing negara yang tergabung dalam BRICS.
Yang juga penting dalam isu ini adalah perbedaan perspektif atau pandangan mengenai karakter BRICS ini sebenarnya mahluk apa. Seperti yang tadi saya singgung di awal. BRICS ini murni blok kerja sama ekonomi dan perdagangan atau merupakan kekuatan politik kontra terhadap blok Barat. Nah India hingga kini kalau dikembangkan ke arah sana masih berkeberatan hingga sekarang. Karena saat ini India termasuk negara yang bergabung dalam Pakta Pertahanan Empat Negara (QUAD) AS, Australia, Jepang dan India. Bahkan India juga hingga kini masih tergabung dalam Common Wealth (Perhimpunan negara-negara eks koloni Inggris). Jadi itu, perdebatan mengenai karakter sesungguhnya dari BRICS itu masih dalam perdebatan hingga kini.
Sekarang soal kebijakan ekonomi. Kalau merujuk pada Cina dan Rusia, karakteristik yang penting di sini, keduanya menganut kebijakan bahwa peran negara harus kuat. Terkait Kebijakan Pembangunan dan Kebijakan subsidi, negara memainkan peran yang penting dan menentukan. Masalahnya adalah negara-negara yang baru bergabung dalam BRICS dan negara-negara kecil itu, belum punya kekuatan yang sama dengan mereka untuk menerapkan kebijakan bahwa pembangunan harus digerakkan oleh negara. Nah negara-negara baru tersebut belum mampu ketika harus mengikuti model negara-negara yang mana negara memainkan peran yang begitu kuat seperti Cina dan Rusia.
Selain itu juga soal Konvergensi Ekonomi. Artinya, kerja sama antar negara-negara yang bergabung dalam BRICS itu akan bisa menciptakan kerja sama ekonomi yang cukup tinggi atau tidak. Dengan demikian tercipta kerja sama antar negara-negara anggota yang bersenyawa dan nyambung satu sama lain. Ini yang saya maksud Konvergensi Ekonomi. Bisa atau tidak. Rules sebagai basis kerja sama tersebut ada atau tidak. Seperti konstruksi tatanan (rejim) dan regulasi. Bisa menjadi suatu rejim ekonomi atau tidak. Lantas apa bisa berkembang jadi rejim politik. Kalau ada, basis atau rules-nya seperti apa. Setahu saya hal itu belum ada. Sebab sekretariat saja belum ada. Yang ada dan cukup kuat baru yang ada di Shanghai itu. Namun sebagai sebuah blok, basisnya belum ketemu. Rules-nya seperti apa. Kalau memang mau integrasi, integrasi-nya seperti apa. Sebab untuk mencapai integrasi ekonomi, harus melewati beberapa tahapan terlebih dahulu.
Nah sekarang bagaimana dengan isu kelembagaan BRICS itu sendiri dan siapa yang punya otoritas untuk membuat regional arrangement. Organ apa dalam organisasi regional yang bernama BRICS itu yang diberi otoritas lebih untuk membuat keputusan? Apakah bersifat Supranasional sehingga ketika membuat keputusan yang punya yuridiksi hukum nasional negara tersebut. Nah dalam hal BRICS, organ yang mana?
Dalam kasus Uni Eropa, ketika keputusan dibuat oleh European Parliament, berarti keputusan tersebut bersifat supranasional karena punya yuridiksi terhadap hukum nasional. Tapi ketika keputusan itu dibuat oleh European Council, berarti bersifat inter-governmental atau antar pemerintahan negara-negara. Karena European Council merupakan keputusan hasis negosiasi antar kepala-kepala negara.
Nah BRICS itu pilihannya yang mana? Lantas bagaimana proses keputusan tersebut dibuat? Berdasarkan voting mayoritas, konsensus atau pembobotan atau qualified majority voting. Voting mayoritas itu 50 persen plus satu. Kalau pembobiotan tergantung bobot dan signifikansi negara anggota yang tergabung di BRICS. Di Uni Eropa, Jerman punya 80 suara. Inggris sekitar 50 suara. Nah kalau pembobotan mau diterapkan di BRICS, siapa yang merupakan kekuatan dominan di BRICS?
Yang tak kalah penting adalah New World Order seperti apa yang mau dibentuk? Lantas apakah BRICS sebagai blok kerja sama ekonomi dan perdagangan pada perkembangannya akan menjelma menjadi sebuah aliansi politik dan keamanan atau entitas politik dan keamanan. Ini merupakan sebuah pertanyaan besar dan strategis.
Maka sampailah pada pertanyaan terakhir. Apakaha Indonesia sebaiknya bergabung dalam BRICS? Menurut saya, kalau Indonesia ingin bergabung, harus punya specific target. Target khusus yang bersifat spesifik. Misalnya kita merasa kuat dan unggul di bidang energi, ya oke fokus di energi sebagai target khusus. Kalau di bidang mineral merasa kuat dan unggul, ya oke fokus saja di mineral. Pokoknya harus punya target khusus. Dengan demikian kita punya kelebihan atau advantage yang tidak dipunyai negara-negara lain.
Lantas kalau kita bergabung dengan BRICS, bagaimana komitmen kita dengan negara-negara ASEAN yang mana Indonesia juga menjadi anggota dan berada di kawasan kita sendiri, Asia Tenggara.
Satu hal yang perlu kita sadari juga, saat ini ekonomi global tidak saja digerakkan oleh pasar melainkan juga oleh motif politik. Dan yang terakhir, apakah bergabung dengan BRICS masih tetap sejalan dengan azas Politik Luar Negeri RI yang Bebas dan Aktif.
Disusun oleh Tim Redaksi The Global Review