Profesor DR A Sartono Kartodirdjo Membuka Pintu Bagi Masa Depan

Bagikan artikel ini

Mengapa karya Sartono Kartodirdjo, Protest Movement in Rural Java, sampai sekarang belum diterjemahkan? Atau sudah dan saya yang tidak tahu.

Sepanjang hidup kita ada momentum penting yang mejadi tonggak sejarah. Ulang tahun ke-80, sudah barang tentu sangat istimewa, sebagaimana yang diminta oleh penulis dalam rangka penulisan ‘Biografinya’, Prof. Dr. A Sartono Kartodirdjo, guru besar emeritus ilmu sejarah Universitas Gadjah Mada, 15 Februari 2001 genap berusia 80 tahun. Momentum yang sangat istimewa ini oleh Prof. Sartono beserta keluarga diperingati dalam acara doa bersama sebagai rasa syukur atas umur panjang serta kesehatan selama itu.

Ada banyak alasan dan sebab mengapa memonetum ini sangat istimewa. Jurusan Sejarah Fakultas Sastra UGM bekerja sama dengan Penerbit Kanisius menyelenggarakan sebuah seminar untuk memperingati 80 tahun Prof. Sartono. Dalam seminar itu diluncurkan buku terbarunya, Indonesia Historiography (Yogyakarta: Kanisius). Sebagai pembahas murid hasil didikannya, Prof. Dr. T Ibrahim Alfian dan Dr. Anhar Gonggong dengan moderator Prof. Dr. Djoko Suryo.

Apa yang ingin diperlihatkan oleh Prof. Sartono melalui buku itu? Ia ingin memperlihatkan bahwa usia bukanlah alasan untuk berhenti berkarya. Kerja seorang ilmuwan adalah kerja tanpa henti. Dalam setiap kesempatan, ia selalu memperingatkan kepada siapa pun, juga murid-muridnya, bahwa ilmuwan janganlah seperti pohon pisang, yang hanya berbuah sekali kemudian mati. Prof. Sartono memperlihatkan pula bagaimana semangat untuk berkarya terus sampai tua. Semangat inilah yang menjadi spirit baginya untuk terus berkarya. Sebuah teladan dan inspirasi.

*

Dilahirkan di Wonogiri, 15 Februari 1921. Anak ketiga dari Tjitro Sarojo ini dibesarkan dalam ruang sosial budaya abangan. Tidaklah mengherankan jika pada masa awal pandangan Sartono banyak dibentuk oleh lingkungannya. Salah satu medium dalam pembentukan itu adalah dunia pewayangan. Tentang dunia pewayangan ini, Sartono mempunyai kenangan yang sangat berkesan. “Gambaran seperti ilmu jiwa—psikologi—saya serap dari wayang. Gambaran dari macam-macam kepribadian dalam tokoh wayang, seperti Arjuna, Krisna, Rama, macam-macam tokoh Pandawa, Kurawa, saya kenal lewat wayang.” Dengan kata lain, pada masa ini, dunia pewayangan merupakan bagian dalam kosmologi Sartono.

Masa pendidikan Sartono di Hollandsch Inlandsche Shcool (HIS), 1927-1934, dilewati di kampung halamannya di Wonogiri. Pergaulan Sartono menjadi lebih luas setelah masuk Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO)—setingkat SMP—di Solo. Kemudian menyelesaikan Sekolah Guru (HIK) di Muntilan pada tahun 1941. Sejak di Muntilan inilah, Sartono mengenal sekaligus masuk dalam beberapa kebudayaan Barat. Di sini pula, ia mendapat pengaruh dari musik-musik klasik, seperti Mozart, Bach, hendel, Beethoven, Tscaikovsky.

Sartono memulai karirnya sebagai guru di sekolah Schakel di Muntilan selama tiga bulan. Setelah itu pindah ke Salatiga, ke sekolah HIS swasta yang telah disamakan. Situasi revolusi memaksa Sartono hidup berpetualang yang kemudian membawanya sampai di Yogyakarta, akhir Juli 1947-1950. Selama di Yogyakarta, ia terus mengajar, di samping itu ia pun terjun sebagai aktivis politik di partai yang dipimpin Kasimo. Nampaknya, aktivitas Sartono yang disebutkan terakhir ini tidak lepas dari kegairahan atau elan vital revolusi yang bergelora pada saat itu.

Masa hidup berpetualang Sartono berakhir sejak pindah ke Jakarta 1950 dan kembali melanjutkan studinya di jurusan sejarah Universitas Indonesia. Sambil kuliah, ia pun terus mengajar untuk biaya hidupnya, dengan isteri tercinta, Sri Kadaryati, yang dinikahinya pada masa revolusi, 6 Mei 1948. Selama menjadi mahasiswa, pada suatu ketika, Sartono nyaris menjadi mahasiswa (sejarah) satu-satunya. Teman-temannya telah pindah ke jurusan lain. Sartono merasa sebatangkara. Dan pada suatu saat, Prof. Resink bertanya kepada Sartono, “Mengapa tidak pindah saja ke fakultas sosial ekonomi?”

“Kalau kita melihat masa depan, apakah bukan suatu keganjilan, kalau di antara 80 atau 90 juta manusia (pada saat itu), sama sekali tidak ada yang menangani atau mengkhususkan diri pada sejarah?” Inilah alam pikiran sekaligus landasan dari keyakinan Sartono mengapa dia tetap bertahan di sejarah dan tidak menerima nasehat Prof. Resink ketika itu.

Sebuah pemikiran yang visioner. Dan pada perkembangan selanjutnya, Sartono memang terbukti sebagai peletak dasar dari historigrafi modern Indonesia. Setelah mendapatkan kesempatan dari Departemen Pendidikan dan Kebudayaan untuk mengambil studi di Yale University, 1962-1964, Sartono menyerap metodologi interdisipliner dengan belajar sepuas-pusanya berbagai disiplin ilmu, seperti ilmu politik, antropologi, dan sosiologi. Atas rekomendasi Prof. Benda yang meyakinkan Prof. Wertheim, Sartono diterima di Universitas (Kota Praja) Amsterdam.

Tepatnya pukul 14.30 waktu setempat, 1 November 1966, di Lutherse Kerk, Spui, Amsterdam, Prof. Sartono dihadapan pengujinya berhasil mempertahankan disertasi yang dipersiapkan selama dua tahun dengan cum laude. Disertasi yang berjudul The Peasants’ Revolt of Banten, Its Conditions, Course and Sequel, A Case Study of Social Movements in Indonesia, merupakan karya monumental dari Prof. Sartono yang menandai penulisan penulisan sejarah baru dalam historiografi Indonesia. Pendekatan multidimensional dalam sejarah yang dipeloporinya dapat dilihat dari dalam karyanya ini.

Apa yang ingin diperlihatkan Prof. Sartono—mengutip Taufik Abdullah—tidaklah sekadar corak struktural sosial ekonomis dan politis suatu lokalitas tertentu yang telah menghasilkan suatu pola tindakan tertentu pula. Ia ingin memperlihatkan bagaimana kesadaran kultural, memantulkan dirinya dalam pola tindakan.

Ada satu yang tersisa dari peristiwa 1 November hampir 35 tahun lalu itu. Meskipun hari itu menjadi hari yang membanggakan dan sangat bermakna dalam perjalanan karirnya sebagai sejarawan, ternyata hari itu merupakan peristiwa yang malang dalam hidupnya. Ketika itu ia terlambat 3 atau 5 menit pada ujian promosi yang dimulai pukul 14.30 di kota Amsterdam akibat kemacetan lalu lintas.

Bermodalkan ketekunan dan kedisiplinan Sartono terus mengerjakan tugas keilmuwan, baik sebagai seorang pengajar, peneliti maupun penulis. Sebagai pengajar, Prof. Sartono di mata mahasiswanya di awal tahun dianggap sebagai dosen yang galak dan terlalu ketat penilaiannya. Sampai-sampai mahasiwa memberikan julukan kepadanya sebagai algojo. Ataukah dosen yang terlalu meminta banyak? Sebagai peneliti dan penulis, sejumlah karya telah dihasilkan yang terkumpul dalam berbagai bentuk.

Beberapa karyanya yang telah dibukukan (di samping yang telah disebutkan tadi), antara lain: Protest Movement in Rural Java (1973), Pemikiran dan Perkembangan Historiografi: Suatu Alternatif (1982), Ratu Adil (1984), Perkembangan Peradaban Priyayi (dkk, 1987), Kebudayaan Pembangunan dalam Perspektif Sejarah (1987), Pengantar Sejarah Indonesia Baru, 2 Jilid (1987 dan 1992), Ungkapan-ungkapan Filsafat Sejarah Barat dan Timur (1990), Pendekatan Ilmu Sosial dalam Metodologi Sejarah (1992), Pengembangan Bangsa: Tentang Nasionalisme, Kesadaran dan Kebudayaan Nasional (1993), Multidimensi Pembangunan Bangsa dan Etos Nasionalisme Negara Kesatuan (1999), Ideologi dan teknologi dalam Pembangunan Bangsa (1999).

Berbagai karyanya itu bukan saja menunjukkan prestasi Sartono yang telah dihasilkannya selama ini, akan tetapi merupakan warisan intelektual sekaligus sebagai bukti pertanggungjawaban sebagai seorang sejarawan. Karya-karya Sartono ini pula memperlihatkan bahwa sejarah tidak sekadar kisah tentang proses, tetapi juga menyangkut struktur.

*

Dalam sejarah kemanusiaan 80 tahun hanyalah sepenggal waktu yang amat singkat. Tetapi bagi manusia sebagai individu 80 tahun merupakan pengalaman panjang dengan berbagai pergulatan yang menyertainya, antara suka dan duka, keberhasilan dan kegagalan. Bagi Prof. Sartono, berbagai pergulatan hidup dihadapinya. Kesemuanya sebagai garam hidup yang memperkuat iman kita.

Dalam merefleksikan perjalanan hidup yang telah dilewatinya, Prof. Sartono melihat bahwa ternyata, jalannya hidup rupanya telah melampaui arah yang menuju tujuan yang selaras dengan cita-cita serta pilihan-pilihan yang terarah oleh minat dan bakat, keuntungan tercampur dengan kesempatan dan yang melintasi garis hidup kita. Kesemua itu acapkali tak terduga, di luar yang dikehendaki. Ada rasanya keputusan-keputusan yang tanpa disadari menentukan arah hidup di masa kemudian. Seperti memilih profesi guru dan sebagai kelanjutan, memilih jurusan sejarah dalam studi universitas. Kemudian memilih UGM sebagai tempat mengajar dan berilmu. Perjalanan hidup setiap kali menghindari bidang birokrasi dan ilmu sejarahlah yang secara leluasa memperluas pengalaman hidup kami. Demikian ungkapan Prof. Sartono.

Tentu saja, sebagai manusia Prof. Sartono mengalami berbagai keraguan dan kebimbangan dalam proses hidupnya, baik pada saat merintis karir maupun mempertahankan integritasnya sebagai sejarawan. Dalam perasaan seperti itu, menurut Sartono sangat dibutuhkan ketetapan hati berdasarkan keyakinan pada semboyan setiap usaha membawa pahalanya sendiri.

Apakah sumbangan sejarawan kepada pembangunan? Dengan merekonstruksi sejarah nasional sebagai lambang identitas kebangsaan, sumbangan sejarawan sekadar mengisi pembangunan nasional, terutama untuk memperkuat renasionalisasi, khususnya pada waktu ada bahaya disintegrasi kesatuan bangsa. Fungsionalisasi pelajaran sejarah dapat merevitalisasi nasionalisme pada generasi muda sehingga dapat dijiwai lagi dengan etos nasionalismenya.

Dengan demikian, generasi baru dengan semangat baru bisa menghadapi tantangan masa depan menengok ke belakang sesuai dengan semboyan bahwa melupakan sejarah berarti menutup pintu bagi masa depan. Hidup dan karya Prof. Sartono telah diabdikan untuk membuka pintu bagi masa depan. Untuk Sang Tauladan: Selamat Ulang Tahun! ■

M Nursam, Alumnus Ilmu Sejarah UGM

Sumber: Kedaulatan Rakyat, 17 Februari 2001

Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com