Sirna Ilang Kertaning Bumi

Bagikan artikel ini

M Djoko Yuwono

HILANG lenyap ditelan bumi, begitu kita bisa memaknai ungkapan berbahasa sanskerta: ‘sirna ilang kertaning bumi’. Ungkapan ini sekaligus menandakan tahun keruntuhan Majapahit, 1400 saka atau 1478 masehi.

 

Bangsa kita menjadikan Majapahit sebagai spirit persatuan dan kejayaan Nusantara. Tetapi, akibat sengketa internal kerajaan, saling berebut kekuasaan, kerajaan pemersatu Nusantara ini pun terpecah. Kelompok satu dan kelompok lain saling menggalang kekuatan untuk merebut posisi-posisi kunci kekuasaan.

Intrik demi intrik dibangun, fitnah ditebar, kehidupan sosial sarat dengan suasana saling curiga. Sikap saling bermusuhan terjadi. Kubu Wikramawardhana (menantu Hayam Wuruk) di satu pihak dan kubu Wirabbhumi (putra Hayam Wuruk dari istri selir) di pihak lain. Dari rakyat hingga para punggawa kerajaan sibuk membincang perseteruan itu. Negeri tak terurus.

Perang dahsyat antara dua kubu tak terhindarkan. Sejarah mencatatnya sebagai Perang Paregreg (1401—1406 M). Seluruh sendi kebesaran Majapahit hancur. Para punggawa kerajaan lebih mengutamakan kepentingan pribadi dan kelompoknya ketimbang kesejahteraan rakyatnya. Majapahit terpecah menjadi Kedaton Wetan dan Kedaton Kulon, hingga kemudian ‘sirna ilang kertaning bumi’, hilang lenyap ditelan bumi.

Tentang Serat Darmagandhul, dan sebagainya, beberapa hari lalu saya tulis soal ini: bahwa versi yg muncul belakangan bisa kita tengarai sebagai hasil rekayasa Gubernur Jenderal Belanda untuk mengaburkan sejarah bangsa Indonesia.

Serat Darmagandhul, Suluk Gatoloco, juga Kitab Pararaton dibuat oleh Ki Tunggul Wulung yg bersumber dari Babad Kediri. Nah, Babad Kediri itu disusun oleh seorang dukun atas permintaan seorang jaksa yang diperintah oleh sang gubernur jenderal dari Batavia …

Tunggul Wulung dengan tendensius menyerang tokoh-tokoh ulama dan bangsawan pendukung Pangeran Diponegoro lewat pendiskreditan tokoh Kiai Kasan Besari, pendiri Pesantren Tegalsari, Ponorogo. Tidak saja secara fiktif menggambarkan bahwa Kiai Kasan Besari kalah berdebat dengan Ki Gatoloco, tetapi juga mengungkapkan paparan-paparan tentang kekeliruan pemahaman dan pemikiran golongan santri yang diwakili pandangan Kiai Kasan Besari.

Dengan latar belakang Ki Tunggul Wulung (sebagai penulis Serat Darmagandhul dan Suluk Gatoloco) yang merupakan murid binaan misionaris di Mojowarno bernama Jelesma, maka dapat dipahami bahwa pandangan-pandangan, ide-ide, gagasan-gagasan, dan konsep-konsep yang terdapat dalam Serat Darmagandhul dan Suluk Gatoloco sarat dengan paham-paham, pandangan-pandangan, ide-ide, gagasan-gagasan, dan konsep-konsep Freemason dan Theosofi, yang menolak agama ‘mainstream’ serta menolak eskatologi agama yang bersifat ukhrawi, untuk lebih diarahkan pada pemujaan terhadap ‘reason’, yaitu akal budi – rasionalisme bahwa sebutan “agama budi” ini berulang-ulang disebut dalam Darmagandhul dan Gatoloco.

Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com