KAA Bandung 1955 di Bawah Bayang-Bayang Politik Global AS

Bagikan artikel ini

Situasi internasional pada 1954-1955, kala Indonesia mulai menggagas sebuah pertemuan akbar bangsa-bangsa Asia-Afrika yang kelak kita kenal sebagai Konferensi Asia-Afrika di Bandung pada 18-24 April 1955, memang sangat didominasi oleh Perang Dingin antara tiga negara adidaya: Amerika Serikat, Republik Rakyat Cina dan Uni Soviet, untuk merebut ruang pengaruh atau sphere of influence di berbagai kawasan. Di kawasan Asia Tenggara,  Khususnya di Indocina, Vietnam merupakan sasaran “Proxy War” antar ketiga negara adidaya tersebut.

Seperti kita ketahui Vietnam merupakan negara jajahan Perancis yang pada waktu itu sedang gencar-gencarnya melancarkan gerakan kemerdekaan yang dipimpin oleh Ho Chi Minch. Pada 1954, gerakan kemerdekaan yang dipimpin oleh Ho Chi Minh dan perancang strategi kemiliterannya Vo nguyen Giap, berhasil membukukan kemenangan kemenangan militer yang cukup gilang-gemilang terhadap tentara kolonial Perancis.

Dalam konstalasi yang demikian, situasi Perang Dingin merupakan faktor yang cukup penting dalam meningkatkan eskalasi konflik di Indocina sehingga semakin menajam, karena kemudian Amerika Serikat memutuskan untuk memihak Perancis dalam membendung kemenangan Ho Chi Minh dan kelompok perlawanan kemerdekaan Vietnam. Sebaliknya, Soviet dan Cina menjadi sekutu alami Vietnam karena Amerika mendukung Perancis melawan gerakan Kemerdekaan yang dipimpin Ho Chi Minh. Namun meski mendapat bantuan militer besar-besaran dari Washington, Perancis akhirnya berhasil dikalahkan secara militer oleh pasukan gerakan kemerdekaan Vietnam yang dipimpin oleh Paman Ho.

Pada 7 Mei 1954, benteng Dien Bien Phu akhirnya jatuh ke tangan pasukan kemerdekaan Vietnam. Berarti, Perancis harus angkat kaki sesegera mungkin dari Vietnam. Kekalahan militer Perancis, akhirnya mendorong para pihak yang berkepentingan di Vietnam, menggelar Perundingan Jenewa, Swiss, yang dimulai pada 26 April 1954.

Kondisi internasional yang cukup genting di Indocina menyusul keterlibatan Amerika dalam konflik di Vietnam inilah, yang mendorong Indonesia dan beberapa negara Asia lainnya (India, Pakistan, Birma dan Srilangka), untuk menggelar pertemuan bangsa-bangsa Asia dalam lingkup kecil, di Kolombo, Srilangka. Kenyataan Perundingan Jenewa yang dimulai pada 26 April 1954 berlangsung dua hari sebelum dibukanya Konferensi Kolombo pada28 April 1954, sudah tentu punya kaitan erat satu sama lain. Keduanya digelar didasari itikad untuk mencari format penyelesaian masalah global dan regional demi terciptanya perdamaian dunia di kawasan Asia Tenggara pada umumnya, dan Vietnam pada khususnya.

Konferensi Jenewa pada akhirnya menghasilkan perjanjian yang mengatur pembagian wilayah bagi Vietnam, Kamboja dan Laos, sebenarnya tidak memuaskan baik bagi Vietnam maupun Amerika Serikat. Karena merasa tidak puas, dan kemenangan Ho Chi Minh dibaca Washington sebagai tren menguatnya pengaruh komunis di Indocina, maka Amerika mendukung kekuatan-kekuatan politik yang dipandang anti komunis komunis untuk mematahkan kekuatan gerakan Kemerdekaan nasional Vietnam di bawah pimpinan Ho Chi Minh.  Amerika Serikat yang kala itu berada dalam kepemimpinan Jenderal Dwight D Eisenhower dan Menteri Luar Negeri John Foster Dulles, memang menganut garis politik luar negeri yang berhaluan keras, terutama dalam menyikapi pemerintahan negara-negara yang mereka pandang sebagai komunis. Bahkan John Foster Dulles kala itu terkenal dengan ungkapannya: Neutral is immoral. Bagi AS semasa pemerintahan Eisenhower dan Dulles, tidak boleh ada sikap abu-abu ketika harus memilih antara blok barat yaitu kapitalis/liberal versus blok komunis Uni Soviet dan Cina.  Sehingga hanya memberi dua pilihan, menjadi sekutu atau musuh Amerika.

Maka menyikapi konstalasi politik Indocina yang semakin memperkuat pengaruh Ho Chi Minh yang sejatinya berhaluan nasionalis kerakyatan dan bukan merupakan kekuatan yang sepenuhnya berhaluan komunis, Eisenhower dan Dulles kemudian mendorong terbentuknya Pakta Pertahanan atau persekutuan militer yang berada dalam kendali Amerika, yaitu di Asia Tenggara yaitu SEATO (South East Asia Treaty Organization).

Namun menurut penuturan Ruslan Abdulgani, dalam bukunya The Bandung Connectionfrase Southeast Asia dalam menggagas Pakta Pertahanan yang diprakarsai oleh Amerika ini, merupakan semacam “Pemalsuan Ilmu Bumi.” Karena meski SEATO merupakan Pakta Pertahanan Asia, anehnya dari 8 negara anggota SEATO ini hanya tiga negara yang bisa dikategorikan sebagai negara Asia yaitu Pakistan, Thailand, dan Filipina. Memang benar bahwa ketiganya merupakan sekutu strategis Amerika, namun menyebut Pakta Pertahanan tersebut sebagai Southeast Asia atau Asia Tenggara, dalam pandangan Ruslan Abdulgani merupakan manipulasi.

Namun apapun ceritanya, inilah awal mula keterlibatan Amerika memperkuat pengaruhnya di kawasan Asia Tenggara dengan dalih untuk mengimbangi pengaruh Soviet dan Cina yang semakin menguat khususnya di Indocina, menggantikan posisi Perancis yang sudah terusir dari Vietnam. Alhasil, AS  muncul sebagai kekuatan baru di kawasan Asia Tenggara. Untuk mengimbangi kehadiran Cina dan Soviet yang juga memainkan peran yang cukup strategis dalam mendukung gerakan-gerakan pro kemerdekaan di Vietnam, Kamboja dan Laos.

Di kawasan Afrika, situasi serupa juga terjadi, ditandai dengan semakin meningkatnya intensitas gerakan kemerdekaan di Aljazair, Maroko, Afrika Tengah, Palestina, dan beberapa negara lainnya.

AS Mulai Tanam Pengaruh di Asia Sejak Desember 1949

Jika kita telisik lebih mendalam, sebenarnya kebijakan strategis AS untuk menguasai dan menanam pengaruh di Asia Tenggara sudah ditetapkan sejak 1949, di era pemerintahan Harry S Truman. Bermula dari laporan  Menteri Luar Negeri AS Dean Acheson pada Agustus 1949, di depan sidang Kongres, mengakui fakta bahwa dari Pakistan sampai Jepang, telah terjadi suatu kebangkitan kembali nasionalisme yang ditujukan untuk menentang dominasi orang kulit putih dan Eropa. Hal ini menurut Acheson melambangkan hasrat bangsa-bangsa Asia untuk menyatakan pendirian mereka dan untuk memerintah diri mereka sendiri, dan bahwa semangat in mungkin adalah semangat paling kuat yang dapat digunakan di seluruh wilayah itu untuk menentang kaum komunis.

Inilah paradoks pertama politik luar negeri AS. Satu pihak mengakui betapa besarnya gelombang gerakan Kemerdekaan Nasional di beberapa negara berkembang, namun di pihak lain tren global ini harus selaras dengan kebijakan strategis luar negeri AS untuk membendung pengaruh komunisme. Dengan kata lain, apabila gerakan kemerdekaan pada suatu negara dibaca sebagai tren menguatnya pengaruh komunis, maka AS tidak segan-segan untuk bersikap berseberangan secara politis terhadap kekuatan-kekuatan politik pro Kemerdekaan seperti terlihat dalam kasus di Vietnam, Kamboja dan Laos.

Celakanya lagi, sebagaimana tergambar melalui laporan Menteri Luar Negeri Acheson di depan kongres, pemerintahan Presiden Truman salah dalam membaca kondisi obyektif yang terjadi di Indocina.  Seperti terbukti kemudian, perkembangan politi yang terjadi di Vietnam  dan Kamboja justru kebalikannya.  Kelompok-kelompok berhaluan komunis di Vietnam, Kamboja dan Indonesia, justru berkolaborasi dengan kekuatan-kekuatan nasionalis yang memotori gerakan Kemerdekaan Nasional melawan penjajahan Perancis.

Agaknya, laporan Menteri Luar Negeri Acheson bertumpu pada sebuah laporan hasil penelitian yang dilakukan pada Juli 1949, ketika  Departemen Luar Negeri AS membentuk sebuah tim khusus yang terdiri dari Duta Besar Keliling Philip C Jessup, Presiden Universitas Colgate Everett Case, dan Raymond Fosdick dari Yayasan Rockefeller. Misi ini didasari gagasan untuk membendung meluasnya pengaruh komunis di benua Asia dan khususnya Asia Tenggara, kemudian merumuskan satu pertanyaan kunci: Seberapa jauh ekspansi penyusupan komunis dapat dilawan dengan “tindakan militer” dan seberapa jauh hal itu harus dibendung dengan langkah-langkah perbaikan ekonomi dan sosial.

Hasil penelitian tim Jessup kabarnya tak pernah diumumkan secara resmi kepada publik, namun kalau menelisik laporan Acheson kepada kongres pada Agustus 1949, nampaknya merujuk hasil penelitian yang telah dilakukan oleh tim Philip C Jessup itu. Maka tak heran jika pada Januari 1950, Acheson meski pada awalnya mengingatkan masyarakat Amerika supaya menjauhkan diri dari pemikiran militer dalam menilai masalah-masalah di Pasifik serta Asia Timur. Namun kemudian menetapkan suatu sasaran strategis dan terencana untuk menanamkan pengaruh kuat di Asia. Yang nampaknya diteruskan oleh pemerintahan Presiden Diwght D Eisenhower pada periode 1953-1961. Pernyataan Menteri Luar Negeri Acheson yang kiranya menarik kita kutip adalah: Bahwa garis pertahanan Amerika di Pasifik Barat yang perlu diamankan secara militer terbentang dari kepulauan Aleutians di utara, ke Jepang, hingga Filipina.

Jika terjadi suatu serangan terhadap wilayah-wilayah lainnya di Pasifik, lanjut Acheson, kekuatan pertama haruslah pada bangsa yang diserang untuk melawan dan setelah itu komitmen seluruh dunia yang beradab di bawah piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa.

Sebagaimana terdokumentasi dalam buku karya Tribuana Said, Indonesia Dalam Politik Global Amerika, pernyataan Acheson tersebut di atas harus dibaca dalam konteks sebua laporan rahasia Dewan Keamanan Nasional AS, disebut dengan kode SC 48/2, yang belakangan disetujui oleh Presiden Harry S Truman pada 30 Desember 1949. NSC 48/2 ini harus kita baca sebagai tindak lanjut dari pernyataan Acheson baik melalui laporannya di kongres pada Agustus 1949 maupun isyarat yang dia sampaikan melalui pernyataannya pada Januari 1950.

NSC 48/2 berjudul Posisi Amerika Serikat terhadap Asia, memerinci sasaran-sasaran pokok Amerika di Asia, yang nampaknya secara strategis tetap dilanjutkan di era pemerintahan Jenderal Dwight D Eisenhower pada 1953-1961. Sasaran-sasaran pokok Amerika di Asia yaitu:

  1. Pembangunan bangsa-bangsa serta rakyat-rakyat Asia secara stabil dan tumbuh sendiri sesuai dengan maksud-maksud serta prinsip-prinsip Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa.
  2. Pembangunan kekuatan militer yang memadai di negara-negara Asia tertentu untuk menjamin keamanan ke dalam dan untuk mencegah penyusupan komunis lebih lanjut.
  3. Pengurangan bertahap dan pada akhirnya penyisihan kekuatan serta pengaruh menyolok  Uni Soviet di Asia ke suatu tingkat di mana Uni Soviet tidak akan sanggup mengancam dari wilayah itu keamanan Amerika atau kawan-kawannya dan di mana Soviet akan menemui rintangan-rintangan berat jika ia mencoba untuk mengancam perdamaian, kemerdekaan serta kestabilan nasinal bangsa-bangsa Asia.
  4. Mencegah hubungan kekuatan di Asia yang  akan memungkinkan suatu bangsa lain atau persekutuan yang mengancam  keamanan Amerika Serikat dari wilayah itu, atau perdamaian, kemerdekaan serta stabilitas nasional bangsa-bangsa Asia.

Dari sekelumit kisah tersebut, gagasan AS untuk menyokong pembentukan Pakta Pertahanan seperti SEATO maupun Sistem Keamanan Kolektif di negara-negara non komunis di kawasan Asia, agaknya merujuk pada NSC 48/2 itu. Jadi, pemerintahan Eisenhower dan Menteri Luar Negeri Dulles sebenarnya juga merujuk pada kebijakan strategis AS yang sudah digariskan oleh pemerintahan Presiden Truman.

Selain itu, NSC 48/2, juga menjadi dasar pemerintahan AS sejak era Presiden Truman, untuk membangun basis-basis kekuatan berhaluan Neo-Liberalisme dalam bidang ekonomi di negara-negara Asia, dan negara-negara berkembang pada umumnya. Melalui NSC 48/2, menegaskan agar kebijakan Amerika terhadap Asia harus mendorong terciptanya kondisi yang menguntungkan bagi perbaikan dan pembangunan ekonomi di Asia yang non-komunis. Serta menghidupkan kembali perdagangan yang bersifat multilateral dan tanpa diskriminasi.

NSC 48/2 memang memberi arahan agar Amerika mendorong pengembangan kebijakan perdagangan bebas serta peningkatan impor dari Asia. Selain itu mendorong penanaman modal asing swasta Amerika  serta untuk pemberian kredit secepatnya oleh Bank Dunia serta Bank Ekspor-Impor , dan peningkatan perdagangan pada umumnya. Inilah yang sekarang dijabarkan melalui skema Free Trade Agreement (FTA) di berbagai kawasan, termasuk di ASEAN melalui AFTA.

Sejak era 1950-an memang awal memanasnya konflik global antara AS versus Uni Soviet dan Cina. Pecahnya perang Korea, memancing campurtangan besar-besaran dari Amerika. Bahkan dalam perang saudara antara RRC dan Taiwan, Presiden Truman sendiri mendukung rencana rahasia untuk merebut kembali daratan Cina oleh pasukang-pasung Chiang Kai Shek yang berbasis di Taiwan.

Inilah yang melatarbelakangi sepakterjang AS di Asia Tenggara, khususnya di Vietnam. Ketika Uni Soviet  dan Cina dengan memberikan dukungan dan pengakuan berdirinya Republik Demokrasi Vietnam yang didirikan oleh Ho Chi Minh, yang pada perkembangannya memicu dukungan AS kepada Perancis membentuk negara Vietnam yang terpisah di bawah pimpinan Bao Dai pada Mei 1950.

Namun seperti sudah dituturkan pada awal sajian ini, gerakan kemerdekaan nasional Vietnam yang dipimpin Ho Chi Minh, tak bisa dibendung lagi. Sehingga Perancis harus angkat kaki dari Vietnam. Sekaligus bukti nyata bahwa mendukung pemerintahan pimpinan Bao Dai yang sejatinnya merupakan gembong mafia dan tidak mengakar di kalangan masyarakat luas di Vietnam, akhirnya menjadi senjata makan tuan buat Amerika.

Pola pendekatan AS yang mendua dalam menyikapi bangkitnya gerakan Kemerdekaan Nasional dan kekhawatirannya terhadap ancaman komunis yang semakin menguat di Asia, pada perkembangannya pola tersebut juga dialami oleh Indonesia pada fase-fase awal kemerdekaan pada 1945-1949.

CAMPUR TANGAN AMERIKA PADA AWAL KEMERDEKAAN RI

Intervensi AS terhadap urusan dalam negeri Indonesia dapat dikatakan terjadi sejak hari-hari pertama kelahiran Republik. Fakta ini terutama dilatarbelakangi oleh kepentingan ekonomi AS yang telah tertanam sejak era kolonial Belanda pada pergantian abad ke-19 ke abad ke-20, menyusul kebijakan liberalisasi ekonomi pemerintah kolonial Hindia Belanda. Pada zaman kolonial AS menanamkan modalnya di sektor pertambangan serta pembelian hasil-hasil bumi.

Dengan latar semacam itu, munculnya Republik Indonesia hasil Proklamasi 17 Agustus 1945 menempatkan AS dalam posisi dilematis. Di satu sisi, AS menghendaki agar kepentingan ekonominya selama era kolonial tetap terjaga. Di sisi lain, keberadaan Republik Indonesia merupakan kenyataan yang tidak terbantah. Kehadiran Republik, berdasarkan opini dunia saat itu, dianggap sebagai manifestasi yang sah dari rakyat yang selama lebih dari tiga setengah abad berada di bawah dominasi kolonialisme.

Sementara itu, Belanda bersikeras menolak kenyataan itu. Belanda, agaknya, ingin mengembalikan Indonesia ke posisinya sebagai negeri jajahan seperti sebelum invasi militer Jepang. Soal inilah yang menjadi pokok sengketa Indonesia-Belanda pasca Proklamasi. Perselisihan ini menjadikan Washington tidak mudah menentukan sikap. Kepentingan ekonomi AS menjadikan negara itu cenderung berpihak kepada Belanda, sementara AS sendiri tidak dapat membantah bahwa Republik didukung penuh tidak saja oleh rakyat Indonesia tetapi juga oleh opini internasional.

Dalam berbagai rangkaian diplomasi internasional yang mencoba menangani pertikaian Indonesia- Belanda, termasuk yang dilakukan oleh PBB, AS selalu memainkan peran. Rangkaian fakta menunjukkan bahwa kontradiksi antara Belanda dan Republik terlalu tajam untuk dicarikan titik komprominya. Disatu sisi AS menghendaki agar Belanda dapat menerima keberadaan Republik, sementara di sisi yang lain AS juga menghendaki agar para pemimpin Republik dapat mengakui posisi Belanda. Para pejabat Washington, agaknya, masih memiliki keyakinan yang cukup tinggi bahwa aspirasi kemerdekaan nasional dapat berdampingan secara damai dengan kepentingan kolonial—cara pandang yang amat sulit diwujudkan dalam kenyataan. Lagi pula, kecenderungan AS untuk lebih berpihak kepada kepentingan Belanda daripada kepentingan Republik dalam sejumlah upaya diplomasi internasional pada akhirnya justru memicu perseteruan yang kian keras di antara keduanya.

Kecenderungan AS berpihak kepada kepentingan Belanda semakin meningkat bersamaan dengan tumbuhnya keyakinan di kalangan para petinggi Washington terhadap apa yang mereka anggap sebagai ancaman komunisme Uni Soviet dalam skala global, terutama sejak 1947. Waktu itu Presiden AS Harry Truman mencanangkan langkah yang kemudian dikenal dengan nama kebijakan atau strategi pembendungan (containment policy). Strategi ini bertumpu pada upaya menggalang segenap sumber daya nasional AS untuk membendung komunisme di berbagai belahan dunia.

Kebijakan itu berasal dari persepsi di Washington bahwa kekalahan negara-negara poros pasca Perang Dunia telah menandai babak baru dalam hubungan internasional tempat AS dan Uni Soviet tampil sebagai kekuatan dunia. Sementara Uni Soviet, dalam kerangka berpikir ini, ditempatkan sebagai pemimpin kutub ideologi komunisme, AS diposisikan sebagai pemimpin free world. Di mata para pejabat Washington, komunisme Uni Soviet bersifat ekspansionis dan mengancam free world.

Persepsi semacam ini diperkuat dengan beberapa fenomena di berbagai belahan dunia. Pada 1947 Yunani  berada dalam situasi revolusioner tempat kekuatan-kekuatan kiri hampir tak terbendung hendak menguasai negara. Di daratan Cina kaum komunis mencatat beberapa sukses dan semakin mendesak kekuatan para pendukung Kuo Min Tang di bawah Jenderal Chiang Kai Sek. Di Indocina Prancis yang ingin mengembalikan kekuasaan kolonialnya mendapat tantangan hebat dari rakyat setempat di bawah kepemimpinan Ho Chi Minh.

Para petinggi Washington memandang berbagai kejadian ini sebagai upaya yang dilakukan oleh Uni Soviet untuk mengkomuniskan dunia. Atas dasar persepsi itu, AS memandang perlu untuk menjalankan strategi pembendungan terhadap apa yang mereka anggap sebagai ekspansi komunis. Para pejabat Washington, agaknya, tidak menduga sama sekali bahwa rangkaian peristiwa itu sesungguhnya lebih cenderung menjadi gejolak yang berwatak lokal.

Persepsi semacam itu juga menjadi latar belakang sikap AS dalam upaya memandang dan menangani pertikaian Indonesia Belanda. Awalnya, kepentingan ekonomi menjadi pertimbangan utama AS ketika mengambil peran mediasi di antara keduanya. Namun, seiring dengan meningkatnya kecemasan AS terhadap “bahaya ekspansi komunis berskala global”, pertikaian Indonesia-Belanda juga cenderung ditempatkan dalam persaingannya dengan Uni Soviet.

Posisi AS dalam pertikaian Indonesia-Belanda, agaknya, menjadi cikal-bakal sikap dan kebijakan negeri itu terhadap Indonesia beberapa dekade sesudahnya. Dalam konteks ini, kemunculan kembali PKI pasca Perang Dunia di pentas politik nasional dengan sendirinya menyebabkan Washington cemas. Di mata AS Indonesia berpotensi jatuh ke dalam skenario komunisme internasional.

Radikalisme PKI yang menentang keras kehadiran kembali kaum kolonial Belanda menjadikan partai ini salah satu unsur penting dalam perjuangan kemerdekaan RI. Soal ini jelas semakin mempersulit posisi Washington dalam upaya “menengahi” pertikaian Indonesia-Belanda. Karena tidak mungkin melakukan tekanan yang terlalu keras terhadap Republik yang sedang menghadapi Belanda, pilihan paling realistis bagi AS adalah mendekati sekaligus memperkuat unsur-unsur pemimpin nasionalis moderat di Indonesia untuk mengeliminir pengaruh komunisme.

Upaya-upaya ini pada akhirnya membuahkan sebuah tragedi nasional di Indonesia, yakni babak penting dalam sejarah nasional Indonesia yang kemudian dikenal sebagai Peritiwa Madiun.

Peristiwa Madiun selama ini pada umumnya dilihat sebagai lembaran hitam dalam perjalanan Republik. Peristiwa itu dianggap bersifat “dalam negeri” sepenuhnya. Kalaupun terdapat unsur-unsur asing di dalamnya, tudingan telunjuk teks sejarah mengarah kepada Uni Soviet. Namun, belakangan ini, berdasarkan  sejumlah fakta yang baru terkuak, persepsi konvensional atas peristiwa itu mengandung sejumlah kelemahan. Sebaliknya, peristiwa itu justru memperlihatkan “peran penting” AS.

Ketika Indonesia merdeka, dunia baru saja mengalami suasana kemenangan kelompok Barat/Sekutu di bawah kepemimpinan Amerika Serikat pasca Perang Dunia II. AS segera memberikan bantuan kepada negara-negara sekutunya yang hancur akibat perang melalui Marshall Plan.

Peta kekuatan dunia berubah. Jika semula memerangi kekuatan fasis (Jerman, Jepang dan Italia), kini Sekutu mesti berhadapan dengan kekuatan komunisme pimpinan Uni Soviet.  Soviet segera menebar jaring di Eropa, dan berlanjut ke belahan dunia lainnya. AS pun tidak ketinggalan, membendung  pengaruh komunisme internasional. Terjadilah Perang Dingin.

Sebagai negara baru, Indonesia tak luput dari incaran kedua raksasa tersebut. Belanda sebagai sekutu AS, berupaya terus menguasai wilayah Indonesia. Meski pada 1947 agresi militer pertama dilakukan tetapi kekuatan Republik Indonesia masih ada. Sebagai Perdana Menteri yang terkenal dengan antikompromi, Amir bersikap tegas terhadap Belanda. Sebagai tokoh politik yang besar di kelompok “kiri”, Amir sangat tidak disenangi oleh Belanda. Itu sebabnya berbagai upaya dilakukan untuk menggusur posisi Amir.

Meski Perang Dingin mulai berkecamuk, selama lima tahun pertama Indonesia merdeka pengaruh US di Indonesia belum terlalu mencolok. Sebaliknya, melalui Belanda, AS mulai gencar menancapkan kekuatannya karena melihat potensi kekayaan alam Indonesia yang begitu besar. Belanda sudah menemukan beberapa kandungan migas, batubara, hasil pertanian dan perkebunan yang berlimpah di beberapa wilayah Indonesia.

Dalam pertengahan masa kepemimpinan Amir, Belanda makin khawatir dengan kebijakan Indonesia yang sangat nasionalis. Sebagai sekutu terakrab AS di Eropa, Belanda senantiasa memberikan laporan kepada AS untuk terus dibantu dari sisi perekonomian (Marshall Plan). AS sendiri, di bawah Presiden Truman, dan melalui Perjanjian San Fransisco pada 1945, tidak pernah mempermasalahkan imperialisme sekutunya di Asia. AS justru memberikan banyak dukungan kepada Belanda. Bahkan, wilayah Hindia Belanda (Indonesia), adalah satu-satunya daerah jajahan yang masuk dalam program Marshall Plan.

Karena kedekatan AS-Belanda, ketika pasukan Sekutu masuk Indonesia pasca kemerdekaan, Washington diam-diam mempersilakan tentara Belanda di Indonesia menggunakan bantuan militernya (American Lend Lease), yang memperbesar stok persenjataan Belanda yang sudah berisi senjata Inggris. Sebelumnya, pada musim gugur 1945, Departemen Luar Negeri AS mengeluarkan perintah untuk menghilangkan atribut AS dari peralatan dan seragam yang dipakai oleh pasukan South East Asia Command (SEAC) pimpinan Louis Mountbatten, yang tugasnya melucuti tentara Jepang di Indonesia. Lebih jauh lagi, ketika pasukan Belanda kembali datang ke Jawa dan Sumatera pada 1946, bisa dilihat banyaknya pasukan tersebut yang menggunakan seragam militer AS dan mengendarai jip Angkatan Darat AS.

Kejatuhan Amir dan Munculnya Red Drive Proposal

Sepanjang 1947 Indonesia masih disibukkan oleh masalah dalam negeri seraya menghadapi rongrongan Belanda yang semakin menguat. Meski diisi oleh banyak kelompok berpengaruh, Kabinet Amir tidak serta-merta mendapat dukungan bulat dalam berbagai kebijakan yang bersifat makro (nasional). Masyumi, misalnya, sebagai salah satu partai besar nasionalis berlatar agama Islam, ikut menolak bergabung dalam Kabinet Amir. Hal ini diperburuk oleh keretakan di lingkungan “kelompok kiri”—persisnya, kelompok Sjahrir dan Tan Malaka ikut memusuhi Amir dkk.

Sementara itu, Belanda terus mengultimatum Amir pasca agresi militer 1947. Wilayah laut dan udara Indonesia diblokade. Pusat kekuasaan dipersempit, sehingga ibukota negara pun dipindahkan dari Jakarta ke Yogyakarta. Inilah realisasi Perjanjian Linggarjati.

Kebijakan AS, yang semula mendukung Belanda, lambat laun mulai bersimpati dengan kekuatan nasionalis yang bersahabat. Simpati AS pun tetap berpegang pada upaya menghindari kemiskinan yang meluas di kalangan masyarakat Indonesia yang diyakini akan memudahkan masuknya pengaruh komunisme.

Sukarno-Hatta dinilai oleh AS maupun Belanda sebagai figur yang memang cocok untuk memimpin Indonesia. Itu sebabnya, dengan berbagai cara, Kabinet Amir mesti ditumbangkan terlebih dahulu. Dalam kebijakan luar negerinya, Amir berupaya untuk tetap memegang isi Perjanjian Linggajati selain ingin membawa Indonesia ikut berperan dalam kancah internasional. Namun, di mata Belanda, upaya tersebut belum memuaskan.

Kemudian, Belanda dan AS mengusulkan pembentukan Komisi Jasa Baik (Good Offices Committee) yang kemudian dikenal dengan nama Komisi Tiga Negara (KTN) sebagai penengah sengketa Indonesia-Belanda yang tidak kunjung selesai. Indonesia memilih Australia dan Belanda menggandeng Belgia. Komisi ini diketuai oleh Frank Porter Graham dari AS. Uniknya, setelah komisi ini terbentuk, Masyumi mau bergabung dengan Kabinet Amir. Terbentuknya KTN bisa dikatakan sebagai awal keterlibatan AS secara langsung dalam masalah Indonesia.

Kebijakan politik luar negeri AS mulai melihat betapa pentingnya kawasan Indonesia yang bersahabat dan jauh dari pengaruh komunisme. Sebagai perbandingan, dapat disebutkan bahwa meski George W. Bush pada tahun 2000 menerapkan kebijakan pre-emptive action (menyerang lebih dahulu), tetapi pada 1947 pun AS sebenarnya sudah menerapkan hal serupa untuk menghadapi komunisme internasional. Dipaksalah Kabinet Amir untuk lebih tunduk lagi kepada kekuatan Barat melalui Perundingan Renville agar menentukan nasib Indonesia melalui plebisit.

Proyek Graham ini sebenarnya adalah “tekanan” sekaligus intervensi AS agar Indonesia mengikuti pola penyelesaian yang ditawarkan. Indonesia pun terjepit, dan Sukarno mengeluarkan istilah “from the bullet to the ballot” untuk mengakomodasi upaya Barat tersebut. Graham juga menambahkan bahwa AS tidak dapat menekan Belanda agar tidak menggunakan kekerasan, tetapi dapat menekan untuk memastikan berlangsungnya plebisit di kemudian hari. Menlu AS George Marshall juga mengatakan kekhawatirannya terhadap kekerasan yang terus terjadi di Indonesia yang hanya akan memancing datangnya infiltrasi komunisme internasional. Sejak itu, Indonesia masuk dalam bagian “the policy of containment” dalam kancah Perang Dingin.

Terjadilah Perjanjian Renville pada Januari 1948. Namun, Masyumi dan PNI menolak perjanjian tersebut. Demonstrasi mulai marak di beberapa kota yang menentang kebijakan Amir. Padahal, saat perundingan berlangsung, semua wakil kabinet ikut hadir. Karena kecewa, Amir mengambil keputusan tergesa-gesa: mengundurkan diri sebagai Perdana Menteri. Kesempatan ini tidak disia-siakan sehingga muncullah Kabinet Presidentil di bawah kepemimpinan Hatta, dari Januari 1948 hingga Januari 1950.

Amir mengambil sikap oposisi kritis terhadap Kabinet Hatta. Ia membentuk Front Demokrasi Rakyat (FDR), yang di dalamnya ada wakil Partai Sosialis, Pemuda Sosialis Indonesia (Pesindo), Partai Buruh Indonesia (PBI), Partai Komunis Indonesia (PKI), dan Sentral Organisasi Buruh Seluruh Indonesia (SOBSI). Sjahrir, yang semula ada di barisan Partai Sosialis, keluar dan membentuk Partai Sosialis Indonesia (PSI).

Pada saat yang bersamaan, pihak AS mulai melihat penajaman keterlibatan Uni Soviet di Asia Tenggara melalui jaringannya. Gerakan pertama Moskow berupaya terang-terangan untuk mendukung gerakan kaum nasionalis lokal. Bahkan, Deplu AS sudah sampai pada kesimpulan bahwa kebuntuan perundingan Indonesia-Belanda disebabkan oleh “pengaruh komunis yang berusaha merusak program dan menghalangi terjadinya kesepakatan.” Pada waktu itu pengaruh komunisme pun sedang menjalar di Malaysia, Thailand, serta beberapa wilayah Asia lainnya.

FDR terus mengecam Kabinet Hatta. Basis FDR memang kuat di Jawa Timur dan Jawa Tengah. Kota besar yang turut menjadi pusat kegiatannya ialah Solo dan Madiun. Secara militer, kekuatan FDR juga patut diperhitungkan. Divisi Keempat (Senopati) pimpinan Mayor Jenderal Sutarto, misalnya, adalah salah satu satuan tentara yang sangat solid. Satuan ini berada di Solo, dan kota ini dipimpin oleh Gubernur Militer Letnan Jenderal (Tituler) Wikana. Kekuatan Pesindo dan Tentara Laut Republik Indonesia (TLRI) juga ada di Solo. Hal serupa juga terjadi di Madiun.

Solo yang tidak terlalu jauh dari pusat pemerintahan (Yogyakarta), dikhawatirkan bisa menimbulkan instabilitas. Itu sebabnya, ketika Kabinet Hatta berdiri, salah satu program yang dikedepankan adalah rasionalisasi di tubuh ketentaraan. Salah satu yang dituju adalah kekuatan tentara sayap kiri yang sangat kuat, khususnya di Solo dan Madiun. Program ini sangat ditentang oleh FDR dan pengikutnya. Program ini juga menguntungkan korps tentara tertentu, yakni Siliwangi, yang nota bene diisi oleh banyak perwira didikan Barat (KNIL) dan klik Abdul Haris Nasution yang dikenal sangat antikomunis.

Jadi, suasana semakin memanas pasca Perjanjian Renville. Sayap kiri semakin terbuka menyerang Kabinet Hatta beserta pengikutnya. Pada saat itu pula, salah satu tokoh PKI, Musso, kembali dari US setelah melarikan diri sejak pemberontakan PKI 1927. Begitu kembali ke tanah air, Musso langsung bergabung dengan FDR. Suripno, yang menjadi wakil Indonesia untuk membuka hubungan luar negeri RI ke negara Eropa Timur, juga membuka hubungan “setengah resmi” dengan US dan negara-negara sekutunya di blok Timur.

Kondisi ini kian memancing AS untuk turun lebih jauh ke dalam kancah perpolitikan di Indonesia. Wakil Komisi Tiga Negara asal AS segera diganti. Ditunjuklah Merle Cohran yang dinilai lebih senior dan jeli untuk melihat perkembangan politik.

Namun, karena konstelasi politik di Indonesia lambat laun semakin meningkat ke arah yang kurang kondusif bagi kepentingan AS, dibuatlah pertemuan rahasia. Pertemuan tersebut digelar di kota Sarangan, daerah berudara sejuk di antara Jawa Tengah dan Jawa Timur, tidak terlalu jauh dari Madiun. Pertemuan Sarangan dilaksanakan pada Juli 1948, dan dihadiri oleh penasihat urusan politik luar negeri Presiden Truman, Gerard Hopkins, Cohran, serta enam tokoh Indonesia, yaitu Sukarno, Hatta, Natsir, Sukiman, Soekamto, dan Roem.

Dari pertemuan inilah lahir “Red Drive Proposal”, yang intinya adalah menumpas tuntas kekuatan sayap kiri. Dari kesepakatan ini Indonesia menerima bantuan uang 56.000.000 dolar Amerika dari Kementerian Luar Negeri AS melalui Bangkok.

Pada masa itu keterlibatan AS sangat terbuka. Dengan persetujuan Menlu Marshall, misalnya, pejabat-pejabat Deplu di Washington, Kedutaan Besar AS di Den Haag, dan Cohran di Jakarta, segera mengambil langkah untuk memperagakan postur Amerika yang lebih agresif dalam penyelesaian di Indonesia. Sikap tersebut antara lain terlihat dalam tiga komitmen. Pertama, pemerintah AS akan membantu dengan segala cara pemerintahan demokratis nonkomunis di Indonesia untuk melawan komunisme. Kedua, AS beranggapan bahwa stabilitas pemerintahan Sukarno-Hatta dapat lebih terjamin apabila RI dan Belanda bersama-sama menerima “penyelesaian yang adil dan praktis” atas sengketanya. Ketiga, AS akan menawarkan bantuan keuangan kepada negara-negara federal Indonesia.

Sejak Juli, kekuatan sayap kiri mulai diganggu. Sutarto, salah satu pemimpin tentara yang disegani, misalnya, tiba-tiba ditembak mati tanpa diketahui hingga kini siapa pelakunya. Sejumlah tokoh kunci lainnya di Solo dari sayap kiri juga diculik dan hilang tanpa jejak.

Tudingan paling mudah diarahkan ke kelompok lawan, seperti oknum dari Divisi Siliwangi atau pengikut Tan Malaka. Setelah Solo diberangus dan situasi bisa diambil oleh pasukan di bawah kendali Kabinet Hatta, giliran Madiun mengalami aksi serupa. Puncaknya, pertengahan Desember 1948, hampir semua elite sayap kiri ditangkap dan dieksekusi tanpa proses peradilan, termasuk mantan Perdana Menteri Amir Sjarifudin.

Di kemudian hari PKI menyatakan bahwa Peristiwa Madiun merupakan akibat dari skenario dan provokasi yang berasal dari unsur-unsur kanan di Indonesia yang didukung oleh AS untuk menghancurkan gerakan komunisme. Pernyataan ini dilontarkan oleh DN Aidit, Ketua CC PKI, dalam acara Kongres PKI tahun 1957. Dalam kesempatan itu DN Aidit juga menyatakan bahwa posisi kaum komunis dalam Peristiwa Madiun adalah penuntut dan korban, bukan pelaku. Aidit juga menekankan perlunya penyelidikan khusus sehubungan dengan Peristiwa Madiun agar diperoleh fakta-fakta yang lebih objektif.

Dilihat dari konteks Perang Dingin, maka sengketa Indonesia-Belanda pada masa itu mendorong AS untuk campur tangan. Nasionalisme radikal Indonesia yang gigih memperjuangkan kemerdekaan, serta kolonialis Belanda yang bersikeras bercokol di Indonesia, pada gilirannya agak menyulitkan para pengambil keputusan di Washington untuk menentukan sikapnya.

Kepentingan ekonomi AS di Indonesia sejak era prakemerdekaan, terutama sejak peralihan dari abad ke-19 ke abad ke-20, bertumpu pada berbagai investasi di sejumlah pertambangan, menyusul kebijakan liberalisasi ekonomi yang dibuka oleh pemerintah kolonial Belanda. Di sisi lain, AS juga tidak dapat membantah bahwa perjuangan kaum nasionalis Indonesia untuk merebut kemerdekaan dari kolonialis asing merupakan sesuatu yang wajar dan adil. Artinya, AS dihadapkan pada kebutuhan untuk memecahkan dilema ini.

Sementara itu, persaingan globalnya dengan US juga turut menjadi pertimbangan AS untuk mengambil sikap terhadap masalah Indonesia. Di sisi lain, tuntutan kemerdekaan juga menjadi salah satu program kekuatan politik kiri pada masa itu — kecenderungan yang justru sulit diterima oleh Washington. Satusatunya opsi yang tersedia bagi para pejabat di Washington adalah mendukung elemen-elemen nasionalis moderat antikomunis yang dapat bekerja sama dengan Belanda. Di mata AS, aspirasi kemerdekaan nasional Indonesia harus terbebas dari unsurunsur komunis. Dalam kerangka inilah red drive proposal yang mengawali Peristiwa Madiun diletakkan.

AS di Era Kepresidenan Eisenhower

Pada 1953, Jenderal Eisenhower mengambil-alih tampuk kepresidenan dari tangan Herry S Truman. Meski tetap dengan sasaran strategis menguasai Asia sebagaimana ditetapkan melalui NSC 48/2, pemerintahan Eisenhower lebih menekankan cara-cara militer ketimbang cara-cara diplomasi dan persuasi. Alhasil, pendekatan pemerintahan Eisenhower, cenderung lebih agresif dibandingkan dengan pemerintahan Truman.

Hal ini ditandai dengan keputusan Presiden Eisenhower untuk membentuk kelompok-kelompok kerja untuk mengkaji dan mengajukan beberapa opsi strategi politik militer dalam mewarnai politik luar negerinya. Seperti berikut ini:

  1. Pembendungan melanjutkan struktur dasar kebijakan selama era pemerintahan Truman.
  2. Kebijakan penangkalan global dalam mana komitmen-komitmen Amerika secara nyata diperluas dan pelanggaran-pelanggaran oleh komunis dengan tegas dikenakan hukuman berat.
  3. Pembebasan; Perang Politik dan Psikologis, ekonomi, dan bahkan para militer yang dirancang untuk menyusup imperium komunis, menggulungnya, dan membebaskan bangsa-bangsa yang terbelenggu.

Dalam skema ini, meski ini berupa tiga pilihan yang terpisah, namun ketiganya bisa diterapkan secara serempak. Artinya, AS melalui tiga opsi ini, siap melakukan gerakan subversif di negara-negara berkembang yang dipandang sebagai musuh AS. Mengutip pernyataan Menteri Luar Negeri John Foster Dulles:
“Jika Indocina dilanda komunisme dan pemerintahan non-komunis tersingkir, serta suatu pemerintahan yang sepenuhnya komunis dibentuk, maka hampir pasti bahwa gerakan berikutnya adalah di Siam, yang sudah lemah, gerakan berikutnya mungkin di Malaya Utara atau Burma, atau keduanya, dan gerakan berikutnya lagi di Indocina, dan pada saat itu seluruh Asia Tenggara akan hilang.”

Uraian John Foster Dulles ini kelak terkenal dengan sebutan “Teori Domino.” Yang mana hilangnya satu negara dianggap membahayakan negara-negara lain di kawasan ini dan bagi Eropa serta AS. Dan teori domino ini rupanya sudah dibaca oleh para perancang kebijakan luar negeri pemerintahan Truman, sehingga kemudian mereka tuangkan dalam memorandum Dewan Keamanan Nasional pada 25 Juni 1952. Yang sepertinya secara khusus ditujukan kepada Indonesia, meskipun juga ditujukan kepada Burma, Malaya, Thailand dan Indocina.

Bahkan khusus kepada Indonesia, National Security Council mengusulkan beberapa langkah berikut ini:

  1. Memperkuat orientasi politik non-komunis pemerintah, menunjang pembangunan ekonomi Indonesia, dan mempengaruhi Indonesia agar berpartisipasi lebih banyak dalam kegiatan-kegiatan yang mendukung keamanan di daerah ini, dan dalam solidaritas Indonesia dengan dunia bebas.
  2. Menyediakan peralatan dan perlengkapan militer yang diperlukan guna memelihara keamanan dalam negeri, dan memberi bantuan teknis serta alat-alat dengan tujuan membantu menciptakan keadaan yang esensial bagi stabilitas politik serta mendorong penggunaan sumber-sumber Indonesia secara efektif.
  3. Dalam hal terjadi perebutan, atau percobaan perebutan, kekuasaan oleh gerakan komunis dalam negeri di Indonesia: (1) mengupayakan adanya tanggapan internasional yang maksimal atas permintaan dari pemerintah yang sah supaya negara-negara sahabat memberi bantuan menghadapi pengacau-pengacau. (2) sejalan dengan komitmen Amerika Serikat di seluruh dunia, mengambil langkah-langkah militer yang sepadan dan lain-lain yang diperlukan untuk merebut daerah ini dari kekuasaan komunis.
  4. Dalam hal terjadi agresi Cina komunis terhadap Indonesia, selain langkah militer yang diperlukan, guna membantu mempertahankan Indonesia sebagai bagian dari langkah bersama Perserikatan Bangsa-Bangsa atau berbarengan dengan pemerintah-pemerintah sahabat lainnya.

Terungkapnya NSC 124/2 tersebut, masih cukup bermanfaat untuk membaca pola pendekatan AS kepada Indonesia bahkan di era pasca Perang Dingin sejak 1989 hingga kini.

Saran Bahan Bacaan

  • Ali Sastroamidjojo, Tonggak-Tonggak Di Perjalananku, Museum Konferensi Asia-Afrika, Direktorat Jenderal Informasi dan Diplomasi Publik, Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia, 2012.
  • Dr H Roeslan Abdulgani, The Bandung Connection, Konferensi Asia-Afrika di Bandung tahun 1955, Museum Konferensi Asia-Afrika, Direktorat Jenderal Informasi dan Diplomasi Publik, Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia, 2011.
  • Tribuana Said,  Indonesia Dalam Politik Global Amerika, Tinjauan atas Kebijakan dan Strategi Pembendungan As dari Truman hingga Nixon, (Medan: PT Waspada, 1984).

Penulis: Hendrajit, Pengkaji Geopolitik dari Global Future Institute (GFI)

*Peringatan KAA Ke-60 di Bandung Tahun 2015

Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com