Skisma Politik Budi Utomo versus Sarikat Islam, Penyebab Kebuntuan Politik Nasional?

Bagikan artikel ini

Hendrajit, Direktur Eksekutif Global Future Institute (GFI)

Membaca buku Akira Nagazumi, Bangkitnya Nasionalisme Indonesia, Budi Utomo 1908-1918, dan buku-buku terkait kiprah Sarikat Islam dan peran HOS Tjokroaminoto, khususnya karya Aji Dedi Mulawarman, Jang Oetama, Jejak dan Perjuangan HOS Tjokroaminoto.

Sontak sebuah gagasan mencuat di benak saya. Jangan-jangan basis nyata dukungan partai-partai di Indonesia sejak era 1950-an hingga era reformasi, bertumpu pada geneologi Budi Utomo dan Sarikat Islam. Basis konstituen Budi Utomo adalah kaum bangsawan Jawa sekaligus aparat birokrasi pemerintahan kolonial Belanda, priyayi rendah, dan kaum profesional lintas keahlian. Sedangkan Sarikat Islam, bertumpu pada basis konstituen kaum pedagang menengah dan kecil, para profesional berbagai keahlian, serta kaum tani yang berbasis di pedesaan.

Budi Utomo yang berdiri pada 1908, dan Sarikat Islam pada 1912 yang kemudian lingkupnya meluas sejak menjadi Central Sarikat Islam pada 1916 di bawah kepemimpinan Pak Tjokro, berada pada alur sejarah ketika konstituen nasionalis Jawa versus nasionalis religius, hanya dihadapkan pada dua pilihan yaitu gabung dengan Budi Utomo atau Sarikat Islam.

Meskipun ketika Budi Utomo bermetamorfose menjadi Partai Indonesia Raya (Parindra) dan Sarikaat Islam menjadi Partai Sarikat Islam Indonesia, keduanya justru meredup peran dan kiprahnya sebagai organ pergerakan, namun saya yakin geneologi kedua organisasi ini tetap mewarnai dan menjadi basis utama perpolitikan Indonesia, melalui keturunan-keturunan mereka di lapis generasi ketiga dan keempat.

Mungkin ini agak menyederhanakan masalah. Tapi jadi menarik ketika Bung Karno pada 1927 membentuk Partai Nasional Indonesia (PNI). Siapa yang jadi basis pendukung PNI? Kenyataan bahwa sejak sekolah di Surabaya, beliau gabung dalam Jong Java, yang sebgian besar mahasiswa yang gabung dengan Jong Java seaspirasi dengan para seniornya di Budi Utomo. Apa berarti Budi Utomo kemudian berafiliasi ke PNI? Sementara fakta lain membuktikan, Bung Karno berguru pada Hos Tjokroaminoto yang notabene merupakan motor penggerak Sarikat Islam.

Meski pada perkembangannnya kemudian, Bung Karno terlibat polemik yang seru dengan tokoh Persis yang kelak jadi Ketua Masyumi, M Natsir, tentang bentuk negara Indonesia jika nantinya merdeka, dan kemudian antara PNI dan Masyumi terlibat dalam perseteruan abadi sepanjang masa demokrasi parlementer hingga demokrasi terpimpin, saya tetap menangkap kesan bahwa geneologi Sarikat Islam yang notabene berhaluan nasionalis religius, masih tetap utuh sebagai the silent voice of Islam, yang sejatinya tidak bertentangan dengan garis politik PNI yang juga nasionalis.

Karena salah satu yang mengikat konstituen Sarikat Islam yang digariskan oleh Pak Tjokro, bertumpu pada ikatan batin antar sesama Muslim yang bersifat lintas kedaerahan dan kesukuan, dan bukan ikatan Islam berbasis ideologi. Seperti halnya yang menjadi basis yang mengikat Partai Masyumi.

Apalagi ketika pada kenyataannya, sebagaimana diakui sendiri oleh Bung Karno, Pak Tjokro adalah gurunya, karena sosok ini dinilai penuh daya cipta. Seorang kreator, bukan sekadar pimpinan organisasi. Kalaupun belakangan hari, Bung Karno mengeritik konsepsi politik Pak Tjokro yang lingkupnya terlalu sempit karena hanya menjadikan Islam sebagai ikatan para kader dan anggota Sarikat Islam, namun perbedaan antar keduanya lebih pada aspek taktis politik, dan bukan hal yang prinsipil.

Sehingga ketika kemudian Bung Karno mengembangkan konsepsi nasionalismenya yang berbasis Marhaenisme, saya menangkap kesan bahwa Bung Karno tetap lebih sejiwa dengan watak progresif Pak Tjokro dan Sarikat Islam ketimbang dengan Konservatisme Budi Utomo.

Ketika proklamasi 17 Agustus 1945 dikumandangkan yang kemudian ditindaklanjuti dengan membentuk pemerintahan pada 18 Agustus 1945, tetap berlangsung dan berkesinambungan hingga revolusi fisik 1949 berakhir dengan pengakuan Belanda berdasarkan Konferensi Meja Bundar di Den Haag, mungkin skisma politik antara geneologi pendukung Budi Utomo dan Sarikat Islam tak akan terjadi. Yang mungkin bakal tejradi adalah, bersenyawanya geneologi pendukung Budi Utomo dan Sarikat Islam sebagai basis pendukung terbentuknya Partai Pelopor sebagaimana konsepsi politik Bung Karno yang dituangkan dalam salah satu bukunya, Mencapai Indonesia Merdeka.

Sayangnya, keluarnya maklumat X pada November 1945, yang membuka pintu sebebas-bebasnya untuk membentuk partai politik menurut skema politik liberal dan sistem parlementer, skisma politik antara geneologi Budi Utomo versus Sarikat Islam jadi tak terelakkan lagi, melalui perhadapan ideologis antara PNI versus Masyumi.

Skisma politik geneologi pendukung Budi Utomo dan Sarikat Islam inilah, yang kiranya membuat partai-partai yang sekarang begitu menjamur di pentas politik pasca reformasi, baik yang berhaluan nasionalis maupun keislaman, tidak punya basis dukungan yang nyata dan mengakar. Sehingga setting politik semacam ini, pada perkembangannnya justru dimanfaatkan oleh kekuatan-kekuatan tirani bisnis/swasta untuk menyusun koalisi para investor dengan menunggangi koalisi kepentingan antar elit-elit politik partai.

Semoga ini bisa menjadi bahan diskusi lebih lanjut, dan menginspirasi munculnya gagasan-gagasan baru untuk mengatasi kebuntuan politik nasional saat ini.

Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com