Amerika Serikat dalam beberapa tahun terakhir telah mengintensifkan operasi pesawat tanpa awak untuk menyerang posisi-posisi kelompok militan di beberapa negara. Serangan itu mengakibatkan jatuhnya korban sipil dalam jumlah besar.
Dinas Intelijen Pusat AS (CIA) meminta pemerintah Obama untuk menambah jumlah drone dengan alasan meningkatkan kemampuannya untuk melawan kelompok Al Qaeda di Afrika Utara. Padahal, operasi CIA telah meningkatkan jumlah korban sipil tewas. Namun, lembaga itu tetap membela keputusannya untuk menambah skuadron pesawat tanpa awaknya.
Di pihak lain, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mengumumkan akan memulai sebuah investigasi dalam masalah tersebut, mengingat tingginya angka korban sipil dalam serangan-serangan AS. Pelapor Khusus PBB dalam Urusan Kontraterorisme, Ben Emmerson dalam sebuah kuliah di Harvard Law School pada 25 Oktober, mengumumkan bahwa PBB akan meluncurkan unit investigasi pada awal tahun depan untuk menyelidiki serangan drone yang diluncurkan oleh AS.
PBB telah menyerukan Washington untuk membentuk mekanisme pemantauan independen guna menyelidiki pelanggaran operasi, yang berarti kematian warga sipil, pada beberapa kesempatan.
Awal musim panas ini, Emmerson menyerukan penyelidikan yang efektif dalam serangan pesawat tanpa awak AS. Menurutnya, beberapa serangan pesawat tanpa awak AS di Pakistan merupakan kejahatan perang. Emmerson memperingatkan bahwa jika negara-negara yang relevan tidak bersedia untuk membangun mekanisme yang efektif pemantauan independen, maka PBB harus bertindak. Dia menegaskan, “Bersama rekan setugasnya, Christof Heyns, saya akan meluncurkan unit investigasi dalam prosedur khusus Dewan Hak Asasi Manusia PBB untuk menyelidiki serangan pesawat tanpa awak.”
Ia mengatakan keputusannya untuk menyelidiki serangan drone dan pembunuhan warga sipil mencerminkan sikap frustrasi dengan keengganan pemerintah Obama untuk mempublikasikan informasi tentang serangan tersebut.
Emmerson mengkritik Presiden Obama dan penantangnya dari Partai Republik Mitt Romney. Dikatakannya, “Ini mungkin mengejutkan bahwa posisi dari dua kandidat tentang masalah itu belum disinggung selama acara debat presiden. Kita sekarang tahu bahwa kedua kandidat sepakat dalam penggunaan drone.”
AS telah mengoperasikan pesawat tanpa awak di Pakistan, Afghanistan, Yaman, dan Somalia dan mengklaim untuk menargetkan teroris. Akan tetapi, serangan itu telah menelan korban sipil dalam jumlah besar. Pola serangan seperti itu dimulai pada era presiden Geogre W. Bush dan diperluas pada masa kepemimpinan Obama.
PBB mengecam serangan itu sebagai pembunuhan terencana dan melanggar undang-undang internasional.
Menurut sebuah survei Pew Research Center, penggunaan pesawat tanpa awak oleh AS untuk membunuh tersangka teror secara luas ditentang di seluruh dunia. Di 17 dari 21 negara yang disurvei, lebih dari setengah dari mereka tidak setuju dengan serangan pesawat tanpa awak AS di negara-negara seperti Pakistan, Yaman dan Somalia.
Masih ada persepsi yang berkembang luas bahwa AS bertindak secara sepihak dan tidak mempertimbangkan kepentingan negara-negara lain. Namun, Gedung Putih menolak untuk mengomentari laporan Pew.
Kebanyakan lembaga hak asasi manusia dan bahkan para pakar Barat memprotes penggunaan tidak manusiawi Washington dari pesawat tanpa awak untuk menargetkan tujuan-tujuan non-militer. Seorang ilmuwan AS, Noam Chomsky, mengutuk serangan pesawat tanpa awak AS dan mengatakan jika pemerintahan Bush melakukan penculikan dan penyiksaan, sementara di bawah kepemimpinan Obama, AS melakukan pembunuhan.
Meski demikian, AS menyetujui kebijakan yang memungkinkan serangan pesawat tanpa awak di Yaman, bahkan ketika identitas sasaran tidak diketahui. AS juga menyatakan penggunaan drone untuk mencari, menyelidiki, dan membunuh tersangka teroris adalah sesuai dengan hukum internasional. (IRIB Indonesia/RM/NA)