Toni Ervianto, alumnus pasca sarjana Universitas Indonesia
Aksi kekerasan yang menimpa jurnalis yang meliput peristiwa jatuhnya pesawat tempur Hawk 200 di Pekanbaru Riau telah memicu terjadinya aksi unjuk rasa dan kecaman yang cukup meluas, walaupun tidak ada aksi unjuk rasa anarkis terkait masalah ini.
Aksi unjuk rasa dalam rangka menyikapi aksi kekerasan terhadap jurnalis di Pekanbaru, Riau terjadi di beberapa daerah. Tanggal 17 Oktober 2012 di Perempatan Pos Kota dan kantor Gubernur Maluku, Ambon, sekitar 40 orang wartawan dari Aliansi Jurnalis Indonesia (AJI) Maluku melakukan aksi unjuk rasa dengan membawa pamflet bertuliskan antara lain “Jangan bunuh kebebasan pers”, “Letkol kok mentalnya kayak preman” dll serta menyampaikan tuntutan antara lain, AJI Maluku menuntut pidana dan pemecatan terhadap oknum pelaku penganiaya jurnalis ; AJI Maluku menegaskan tindakan tersebut telah mencederai Undang-Undang No 40 Tahun 1999 tentang Pers dan merupakan pelanggaran hukum ; AJI Maluku mendesak Panglima TNI dan Kepala Staf TNI AU untuk menindak pelaku kekerasan terhadap jurnalis.
Pada hari yang sama, di Tugu Adipura Klaten, Jateng, sekitar 30 orang wartawan dari Solidaritas Jurnalis Klaten (Solwaten) melakukan aksi damai dengan tuntutan mengutuk kekerasan terhadap wartawan di Riau dengan membawa poster berbunyi antara lain “TNI AU, Hajar orang di depan anak-anak masya Allah!”, “Pakai akal bukan okol”, “TNI bukan preman”, dll.
Aksi unjuk rasa dengan tuntutan yang sama terjadi di beberapa daerah antara lain, Kota Banda Aceh, Kabupaten Aceh Barat dan Kota Lhokseumawe, Kota Medan dan Kabupaten Deliserdang, Kota Jambi, Kabupaten Kampar, Kota Pangkalpinang, dan Kabupaten Bangka Barat, Kota Serang, Kabupaten Tangerang Selatan dan Kota Cilegon, Kota Bandung, Kabupaten Garut, Kabupaten Tasikmalaya, Kabupaten Majalengka dan Kabupaten Cimahi, Kota Malang dan Kabupaten Madiun, Kota Solo, Kota Semarang dan Kabupaten Blora, Kabupaten Bantul, Kabupaten Badung dan Kota Denpasar, Kota Mataram, Kota Pontianak, Kota Balikpapan,Kota Makassar, Kota Manado, Kota Palu, Kota Ambon, dan Kota Jayapura.
Selain aksi unjuk rasa, kritikan dan kecaman juga disampaikan melalui berbagai pernyataan dari beberapa tokoh seperti Ketua Badan Pekerja Kontras, Haris Azhar menyatakan, Kontras mengecam tindakan oknum karena tindakan tersebut menandakan tidak bermaknanya reformasi di tubuh TNI, terutama terkait dengan HAM dan kebebasan fundamental lainnya. Selain itu, peradilan militer terbukti tidak mampu memberikan koreksi yang signifikan Kepolisian harus berani menegakkan hukum atas insiden pemukulan tersebut.
Sementara itu, Ketua Forum Pemred Indonesia, Wahyu Muryadi menyatakan, Forum Pemred mengecam aksi penganiayaan terhadap jurnalis, karena merupakan perbuatan melawan hukum. Tindakan tersebut merupakan tindakan pidana, sehingga pelakunya harus mendapatkan hukuman yang setimpal. Menurutnya, upaya TNI untuk menutup akses informasi dan menghalangi tugas jurnalis untuk mendapatkan informasi demi kepentingan publik juga bertentangan dengan kebebasan pers yang diatur dalam undang-undang. Oleh karena itu, Forum Pemred menghimbau pimpinan TNI agar menggiatkan pendidikan tentang demokrasi, kebebasan pers dan HAM di lingkungan anggotanya.
Ketua DPR-RI, Marzuki Alie menyatakan, kalau tidak memperbolehkan wartawan meliputnya, maka memakai cara yang arif atau bijaksana. Marzuki Alie berharap, media juga memberikan pencerahan supaya pemahaman demokrasi dipahami oleh semua lapisan masyarakat. Kejadian ini juga menggambarkan pers belum berhasil mencerahkan TNI dalam berdemokrasi. Ketua Divisi Sosialisasi pada Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Asrorun Ni’am Sholeh menilai, tindakan kekerasan seperti ini akan melahirkan imitasi budaya kekerasan bagi anak, di sisi lain akan melahirkan antipati terhadap TNI. Anggota Dewan Pers, Wina Armada menyatakan, Dewan Pers mengecam tindakan kekerasan terhadap jurnalis. Sekarang ini, sikap Dewan Pers siap memediasi pihak-pihak yang terlibat dalam insiden tersebut. Dewan Pers menunggu sikap proaktif dari wartawan dan perusahaan pers tempat wartawan itu bekerja, apakah ingin diselesaikan secara internal atau melalui Dewan Pers.
Di Cimahi, Jabar, Koordinator Forum Wartawan Cimahi Amelia Hastuti mengatakan, kasus kekerasan terhadap jurnalis setiap tahunnya sejak era reformasi cendrung mengalami peningkatan. Berdasarkan data LBH Pers, pada 2010 kasus kekerasan wartawan tercatat 66 dan meningkat menjadi 96 pada 2011. Sedangkan sejak Januari-Juni 2012 kekerasan terhadap jurnalis telah terjadi sebanyak 50 kasus.
Aksi kekerasan terhadap jurnalis di Pekanbaru telah menyulut terjadinya aksi unjuk rasa kalangan jurnalis di beberapa daerah. Aksi unjuk rasa tersebut dilakukan selain sebagai bentuk solidaritas, keprihatinan dan kecaman dengan masih adanya tindakan kekerasan, juga sekaligus menunjukkan semakin kuatnya “jiwa korsa” di kalangan jurnalis dalam merespons tindakan kekerasan yang cenderung semakin meningkat serta aksi-aksi yang dinilai dapat menghambat kegiatan jurnalistik seperti diatur dalam UU No 40 Tahun 1999 Tentang Pers. Sementara itu, oleh kelompok kepentingan juga telah memanfaatkan kasus ini untuk mengkritisi profesionalisme TNI selama ini, dimana upaya mengkritisi tersebut cenderung menyudutkan TNI. Berlanjutnya situasi dan kondisi ini cenderung dapat menumbuhkan sikap antipati terhadap institusi TNI serta mengganggu kerjasama antara TNI dengan kalangan jurnalis baik yang sudah dilaksanakan maupun di masa mendatang.
Facebook Comments