Sidrotun Naim, Center for Sustainable Aquaculture and Pathology Studies (AquaPath) di Surya University dan Riset di Harvard Medical School
Masyarakat yang dinamis vs persisten
Ada beberapa kesimpulan media yang sebenarnya kurang akurat, bahwa hasil pemilu legislatif menunjukkan partai Islam/bernafaskan Islam turun. Kalau kita hitung totalnya, sebenarnya konsisten sejak 1999, berada di kisaran 30-35%. Kalau Anda gabungkan angka PKB, PAN, PKS, PPP, dan PBB (yang tersingkir) masih berada di 32%, lebih tinggi dibanding perolehan 1999.
Suara PKS memang turun, tapi itu pun sedikit. Bahkan hitungan kasar saya berdasarkan tren yang ada, jumlah kursi PKS di DPR bisa jadi bertambah karena sebaran merata di luar Jawa. Turun dari 8% ke 7% itu ga ngaruh ke jumlah kursi kalau penurunan terjadi masif di pulau Jawa.
Suara nasionalis kiri juga konsisten. PDIP 1999 dapet 34%. Sekarang gabungan PDIP dan Gerindra juga mendekati 34%.
Karena kelompok Islam dan nasionalis kiri konsisten, otomatis nasionalis kanan yang ditokohi Golkar juga konsisten. Masalah bajunya jadi warna-warni ga hanya kuning tetapi ada biru (demokrat dan nasdem) atau coklat/orange hanura, itu soal selera warna saja.
Yang paling menarik (atau mengkhawatirkan?) ada peluang partai pendukung pemerintah vs oposisi akan sama kuat atau 50 : 50. Kita asumsikan PDIP yang menjadi pemerintah dan didukung oleh PKB, Nasdem, PAN, kemudian Golkar-Gerindra-Demokrat-PPP-Hanura-PKS memilih di luar, maka oposisi sangat kuat.
Skenario tentu bisa terjadi sebaliknya. Bahwa yang menjadi pemerintah justru kelompok kedua. Di sini, impian pemerintah dan DPR ‘seirama’ itu mungkin susah terjadi, siapapun yang menang pilpres. Karena sebaran perolehan suara yang 5% – 19%, sepuluh partai menjadi penting semua, menjadi penentu arah koalisi vs oposisi. Saya duga, ‘bola panas’ ada di Golkar dan Demokrat, apakah pilpres putaran dua akan condong ke Joko atau Bowo, itulah capres yang akan menang. Kalau duet Bowo – Joko terjadi, satu putaran hampir pasti menang. Tapi skrg peluanganya tipis.
Kalau tidak ingin komposisi 50 : 50 di atas terus terjadi di pemilu-pemilu ke depan, satu-satunya cara adalah memangkas jumlah partai maksimal lima. Bahkan, dengan mekanisme aturan tertentu, bisa diciutkan kembali menjadi 3 seperti orde baru. Dan Pak Harto pun akan tertawa: “Piye tho, Le. Mbiyen bengak-bengok neng Senayan atas nama freedom of speech. Partai dadi akeh, saya suwe saya ciut. Terus saiki pingin 3 wae. Lha kok padha karo eksperimenku mbiyen, 3 partai? 20 taun, akhire mbalik maneh. Kepriye iki?”
Urutan ini tidak linier/paralel, jadi jangan disimpulkan berlebihan bahwa PNI = Golkar, atau Masyumi = Poros Tengah. Apalagi, sekat-sekat sebenarnya menipis di zaman modern.
Pembagian masyarakat di Jawa secara antropologi (relevan di zaman Belanda dan awal kemerdekaan):
Priyayi, Santri, Abangan
Orde Lama :
PNI – Masyumi – PKI, Bung Karno percaya ketiganya bisa ‘blended’ menjadi Nasakom
Orde Baru :
Golkar – PPP – PDI(P). Di awal-awal, tentu ada NU dsb.
Orde Reformasi : Nasionalis kanan – Poros Tengah – Nasionalis kiri
Biarpun sebagai bangsa kita menetapkan diri anti-komunis, tentu kita tidak mungkin memungkiri bahwa paham ini pernah hidup dan bahkan besar di Indonesia. Tidak mungkin juga tiba-tiba lenyap, lha wong anak/keturunan/murid nya ada. Sebuah kelompok/paham itu persisten di masyarakat, tidak semudah itu hilang.
Nama bisa berubah, komposisi segitu-segitu saja. Karena konon Jokowi effect ternyata ga ada justru Rhoma dan Prabowo effects, melesetnya perkiraan suara PDI-P sebenarnya ‘terambil’ ke Gerindra yang sama-sama nasionalis kiri. Gerindra juga diuntungkan karena sekat yang menipis, selain ‘limpahan’ dari nasionalis kiri, dapat limpahan dari nasionalis kanan yang kecewa ke demokrat kemudian memindahkan suara ke Nasdem-Hanura-Gerindra.