Suriah: Pencitraan Baru SBY?

Bagikan artikel ini

Dina Y. Sulaeman, Magister Hubungan Internasional, research associate of Global Future Institute (GFI)

Presiden SBY baru saja membuat sebuah pernyataan yang kontroversial. Seperti diberitakan Republika (7/1), Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) menyarankan agar Presiden Suriah Bashar al-Assad mengundurkan diri dari jabatannya. Permintaan SBY ini disampaikan dalam pertemuan dengan ahli tafsir asal Suriah, Syekh Muhammad Ali Ash-Shobuni, di Istana Presiden Bogor.

Dari sisi etika diplomasi, pernyataan seperti ini keluar dari mulut seorang presiden, sungguh sebuah pernyataan yang sangat serius. Buat negara-negara Barat, yang sangat terbiasa mengabaikan etika diplomasi, hal ini memang biasa. Tapi, buat SBY yang selama ini selalu ‘hati-hati’ dalam memberikan pernyataan, ini jelas luar biasa. Bahkan terhadap Israel yang sudah terbukti brutal pun, SBY tidak pernah menuntut agar Rezim Zionis dibubarkan dan digantikan oleh rezim yang demokratis. Lalu mengapa terhadap Assad, SBY bertindak demikian?

Sebelumnya Menlu Marty Natalegawa, yang pastinya lebih paham diplomasi, sudah mengeluarkan pernyataan standar diplomatik, “Terkait dengan perlu tidaknya Assad mundur, Indonesia berpendapat, oposisi dan rezim perlu bertemu agar proses politik bisa berjalan terlebih dahulu.” (Kompas 5 /1/2013).

Entah apa yang dibisikkan oleh para penasehat luar negeri SBY sehingga presiden Indonesia itu sampai mengeluarkan pernyataan sevulgar itu (dari kacamata diplomasi)? Kemungkinannya, minimalnya ada dua. Pertama, si penasehat tidak tahu bagaimana etika diplomasi yang sepatutnya. Kedua, memang disengaja untuk pencitraan. Dan saya memilih kemungkinan kedua.

Mengapa pencitraan? Karena publik Indonesia memang umumnya anti Assad. Tengok saja pemberitaan mayoritas media-media di Indonesia, baik yang pro Barat, maupun media Islami: sangat pro-oposisi Suriah. Ormas-ormas Islam Indonesia sudah terang-terangan mengumumkan sikap mereka. Ikhwanul Muslimin, Hizbuttahrir, dan kelompok-kelompok pendukung Al Qaida, melalui media-media yang mereka miliki, sudah menyatakan diri pro- oposisi (dan menyebutnya mujahidin).

Suriah, bagi pemerintahan SBY agaknya setara dengan Palestina, yaitu menjadi media pencitraan belaka. Pada sidang Umum PBB ke-67 bulan September 2012 Menlu Marty Natalegawa yang secara tegas mengusulkan boikot atas produk Israel, sampai-sampai dipuji-puji banyak pihak.

“Pernyataan Menlu Marty bisa menjadikan dirinya Soekarno kecil (little Soekarno) di mana Soekarno secara konsisten memperjuangkan kemerdekaan bagi bangsa-bangsa yang terjajah meski harus berhadapan dengan negara-negara besar,” ujar Guru Besar Hukum Internasional FHUI, Hikmahanto, sebagaimana dikutip Detikcom (29/9/2012).

Namun, Hikmahanto mengingatkan agar ada tindak lanjut nyata dari pernyataan tersebut, yaitu upaya mengidentifikasi produk-produk Israel yang patut untuk tidak dibeli oleh masyarakat Indonesia.  Tindakan boikot ini, menurut Hikmahanto, mirip dengan tindakan pemerintah AS yang menyerukan embargo terhadap produk Iran. Pemerintah AS akan mengidentifikasi produk-produk asal Iran. Bahkan bila ada perusahaan yang melakukan pembelian produk asal Iran atau bertransaksi dengan pemerintah dan perusahaan Iran akan dikenakan sanksi.

“Keseriusan dari berbagai instansi pemerintah Indonesia, seperti Kementerian Perdagangan dan Kementerian Perindustrian, atas pernyataan Menlu Marty dibutuhkan agar pernyataan tersebut bisa kongkrit dan tidak sekedar manis dibibir belaka,” demikian ujar Hikmahanto.

Apakah usulan Hikmahanto ini sudah dilakukan? Tidak ada kabarnya sampai sekarang. Tengok saja di pasaran, merk-merk yang seharusnya masuk daftar boikot masih dijual leluasa, tanpa ada peringatan atau tambahan label apapun.

Belum lagi kalau kita baca otobiografi  Marsekal Muda (purnawirawan) Djoko Poerwoko, berjudul Fit Via Vi. Sebagaimana dikutip wartanews.com, mantan Panglima Komando Pertahanan Udara Nasional ini menguraikan secara rinci bagaimana putra-putri Indonesia berhasil membawa pulang 32 pesawat A-4 Skyhawk dari Israel. Operasi pengadaan itu merupakan operasi clandestein terbesar yang pernah dilakukan TNI-AU, karena dilakukan dengan cara yang sangat rumit dan melibatkan Singapura dan AS. Pilot-pilot AU itu dilatih dulu oleh AU-Israel untuk mengemudikan A-4 Skyhawk, yang rencananya akan dibeli pemerintah Indonesia. Mereka di latih selama 4 bulan di Gurun Negev. Setelah selesai mereka diterbangkan ke Amerika kembali. Usai mendapat latihan dari Israel mereka mendapat kemewahan yang berlimpah dari pemerintah.  Mereka diterbangkan ke New York. Berlibur ke Buffalo, Dallas, Colorado, Phoenix dan terakhir Arizona. Selama perjalanan itu pula mereka wajib mengirimkan post card dan foto foto yang memperkuat alibi bahwa mereka, seolah-olah, benar-benar dididik di Amerika.

Media Umat (18/10/2012) merilis artikel yang memuat data dari Kementerian Perdagangan yang mencatat bahwa neraca perdagangan Indonesia-Israel menunjukkan nilai positif. Pada 2007, total perdagangan Indonesia-Israel masih sekitar 124.100 dolar AS. Setahun kemudian meningkat menjadi 116,4 juta dolar AS. Tahun 2009, total perdagangan dua negara mencapai 91.613 juta dolar AS dan kembali meningkat pada 2010 menjadi 117,5 juta dolar AS. Pada 2011 total perdagangan Indonesia-Israel mengalami penurunan, namun tahun 2012 diperkirakan meningkat cukup besar.

Fakta lainnya adalah catatan Badan Pusat Statistik (BPS) yang menunjukkan ada sembilan jenis buah impor yang berasal dari Israel. Bahkan pada Juni 2012 lalu, ada impor  20,6  ton buah kurma senilai 191.300 dolar AS asal Israel. Dua bulan sebelumnya, ada impor jeruk Shantang masuk Indonesia sebanyak 0,666 ton dengan nilai  709 dolar AS juga dari Israel.

Media Umat mengungkapkan bahwa pada tahun 2006, Ketua KADIN saat itu Mohammad Hidayat telah meneken perjanjian perdagangan Indonesia-Israel. Perusahaan yang peran sebagai agen bisnis perusahaan Indonesia di Israel adalah Indolink yang berkantor di Israel. Hubungan bisnis dan dagang antar dua negara telah dijalankan sejak dibukanya hubungan dagang secara resmi dan legal sejak 2001. Pada April 2012, beberapa tokoh politik dan pejabat dari Kamar Dagang dan Industri (KADIN) Indonesia menghadiri perayaan Kemerdekaan Israel ke-64. Dan hingga kini tidak ada kabar terkait pemboikotan produk Israel oleh KADIN.

Jadi, apa ada realisasi seruan boikot dari Marty? Tidak ada. Jadi, lagi-lagi, terpaksa disimpulkan bahwa seruan ini lebih ke pencitraan. Publik Indonesia memang menghendaki pemerintah yang pro Palestina.

Kini, publik tengah mendukung para ‘mujahidin’ di Suriah. Dalam situasi saat ini, apalagi yang lebih strategis dilakukan SBY, selain menyerukan Assad mundur?  Apalagi tindakannya ini sangat bersesuaian dengan keinginan Israel yang sejak lama memang ingin ada perubahan rezim di Suriah, demi mengamankan posisi mereka. Assad selama ini adalah duri dalam daging bagi Israel karena memberikan bantuan kepada Hamas dan Hizbullah dalam melawan Israel.  Pejuang Hamas, Khaled Meshal, bertahun-tahun berkantor di Damaskus dan mendapatkan fasilitas perlindungan penuh dari pemerintah. Namun, begitu ‘para mujahidin’ angkat senjata, Meshal angkat kaki dari Suriah dan pindah ke Qatar (perlu dicatat, Qatar adalah salah satu negara penyuplai dana dan senjata kepada para ‘mujahidin’). Tak heran bila Assad menyindir perilaku Meshal, “Sekelompok warga Palestina memperlakukan Suriah seperti layaknya hotel.”

Lalu, kita bangsa Indonesia, bagaimana harus menyikapi hal ini? Seorang facebooker menulis status ‘terharu’ menyikapi pernyataan SBY (agar Assad mundur) itu. Ya, sebagian orang mungkin terharu dan kini menatap SBY sebagai pahlawan pembela ‘mujahidin’. Tapi, insya Allah, masih ada sebagian rakyat Indonesia yang cerdas, sehingga tidak mudah tertipu oleh berbagai penyesatan informasi soal Suriah.

Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com