Syech Abdurrauf dan Geo-Budaya Singkil

Bagikan artikel ini

Hendrajit, Pengkaji Geopolitik Global Future Institute (GFI)

Sungguh ironis, toleransi beragama justru dihancurkan di tanah kelahiran seorang sufi besar Islam asal Singkil, ABDURRAUF BIN ALI AL JAWI AL FANSURI atau dikenal dengan Syiah Kuala.

Selain sebagai salah seorang ulama besar di Aceh, beliau juga merupakan pengembang utama tarekat Syattariyah di Aceh dan Asia Tenggara. Yang itu berarti, Syech Abdurrauf merupakan salah seorang pelopor dalam menghidupkan ilmu kekedalaman batin dalam Islam. yang tentunya jauh dari sikap fanatisme dan radikalisme dalam keberagamaannya.

Tak heran jika Syec Abdurrauf al Singkil juga tercatat sebagai penasihat empat Sultanah di Kerajaan Aceh. Salah satu kitabnya berjudul Mawa’id al-Badi’ (al-Badi’ah) diartikan Pengajaran yang indah-indah (berguna) yang berisikan 50 wasiat pengajaran (poin) Syekh Abdurrauf kepada manusia.

“Dan kunamai akan dia Mawa’id al-Badi’ artinya segala pengajaran yang indah-indah. Hai segala anak Adam laki-laki dan peremppuan, percayakan oleh kamu akan segala pengajaran ini, jangan engkau syak (ragu) akan dia, karena segala pengajaran ini setengahnya (sebagiannya) aku ambil dari perkataan Allah, dan dari Rasulullah, para Sahabat, Aulia Allah, hukama, dan ulama..”.

Pesan tersebut dimulai dengan sebuah anjuran supaya dikaji ulang pada setiap hari atau seminggu sekali atau sekurang-kurangnya sebulan sekali. Faidah membaca kitab ini menurut ulama pengarang kitab tafsir berbahasa Melayu (Indonesia) pertama kali supaya hati manusia menjadi lembut.

Marilah kita telisik riwayat hidup sosok dan pribadi yang luarbiasa ini.

Abdurrauf Singkel, yang bernama panjang Syeh Abdur Rauf bin Ali al-Jawi al-Fansuri al-Singkili, lahir di Fansur, lalu dibesarkan di Singkil pada awal abad ke-17 M. Ayahnya adalah Syeh Ali Fansuri, yang masih bersaudara dengan Syeh Hamzah Fansuri. A. Rinkes memperkirakan bahwa Abdul Rauf lahir pada tahun 1615 M.

Tapi ini baru satu versi. Versi lain mengatakan, seperti kajian yang dilakukan oleh Abdul Hadi WM (2006) menyatakan bahwa perkiraan itu bisa meleset, karena Abdurrauf berada di Mekah sekitar 19 tahun, dan kembali ke Aceh pada 1661. Bila dalam usia 30 tahun ia kembali dari Mekah, berarti ia dilahirkan pada 1630.

Tapi, lupakanlah soal kapan beliau dilahirkan. Kiprahnya di Aceh maupun reputasi dirinya sebagai ulama besar dan ahli sufi, rasanya jauh lebih penting.

Selama sekitar 19 tahun menghimpun ilmu di Timur Tengah, Abdurrauf tidak hanya belajar di Mekah saja. Ia juga mempelajari ilmu keagamaan dan tasawuf di bawah bimbingan guru-guru yang termasyhur di Madinah. Di kota ini, ia belajar kepada khalifah (pengganti) dari tarekat Syattariyah, yaitu Ahmad Kusyasyi dan penggantinya, Mula Ibrahim Kurani (Braginsky, 1998: 474).

Dalam kata penutup salah satu karya tasawufnya, Abdurrauf menyebutkan guru-gurunya. Data yang cukup lengkap tentang pendidikan dan tradisi pengajaran yang diwarisinya ini merupakan data pertama tentang pewarisan sufisme di kalangan para sufi Melayu.

Beliau juga menyebutkan beberapa kota Yaman (Zabit, Moha, Bait al-Fakih, dan lain-lain), Doha di Semenanjung Qatar, Madinah, Mekah, dan Lohor di India. Di samping itu,beliau juga menyebutkan daftar 11 tarekat sufi yang diamalkannya, antara lain: Syattariyah, Kadiriyah, Kubrawiyah, Suhrawardiyah, dan Naqsyabandiyah (Braginsky, 1998: 474).

Secara umum, Abdurrauf ingin mengajarkan harmoni antara syariat dan sufisme. Dalam karya-karyanya ia menyatakan bahwa tasawuf harus bekerjasama dengan syariat. Hanya dengan kepatuhan yang total terhadap syariat-lah maka seorang pencari di jalan sufi dapat memperoleh pengalaman hakikat yang sejati.

Pendekatannya ini tentu saja berbeda dari pendekatan Nuruddin al-Raniri yang tanpa kompromi. Abdurrauf cenderung memilih jalan yang lebih damai dan sejuk dalam berinteraksi dengan aliran wujudiyyah. Maka, walaupun ia menentang aliran yang diajarkan oleh Hamzah Fansuri itu, ia tidak menyatakannya secara terbuka. Lagipula, ia juga tidak setuju dengan cara-cara radikal yang ditempuh oleh Nuruddin (lihat Azyumardi Azra dalam Osman, 1997: 174).

Menariknya, dalam karya-karyanya ia tidak menyebut Nuruddin al-Raniri, yang karya-karyanya mungkin sekali telah dikenalinya, tetapi seolah-olah mengisyaratkan peristiwa tragis yang pernah terjadi, melalui kutipan sebuah hadis:
“Jangan sampai terjadi seorang muslim menyebut muslim lain sebagai kafir. Karena jika ia berbuat demikian, dan memang demikianlah kenyataannya, lalu apakah manfaatnya. Sedangkan jika ia salah menuduh, maka tuduhan ini akan dibalikkan melawan ia sendiri” (Johns dalam Braginsky, 1998: 476).

Penekanannya tentang pentingnya syariat dalam tasawuf muncul dalam Umdat al-Muhtajin ila Suluk Maslak al-Mufradin (Pijakan bagi Orang-orang yang Menempuh Jalan Tasawuf). Di dalam kitab ini, Abdurrauf menguraikan masalah zikir.

Zikir adalah dasar dari tasawuf dan karena itu merupakan metode yang penting dalam disiplin kerohanian sufi. Abdurrauf membagi zikir menjadi dua, yaitu zikir hasanah dan zikir darajat. Zikir yang pertama tidak mengikuti aturan tertentu, sedangkan zikir yang kedua terikat aturan yang ketat (Abdul Hadi WM, 2006: 241).

Moral dari kisah ini adalah, ketika Kabupaten Singkil begitu bersenyawa dengan kekuatan kepribadian Syech Abdurrauf sebagai ulama besar dan sekaligus Syech Guru dalam Ilmu Tasawuf, maka tragedi 13 Oktober lalu, merupakan sebuah penghianatan atas pakem geo-kulutral Kabupaten Singkil, dan teristimewa atas seluruh ilmu dan ajaran Syech Abdurrauf al Singkili.

Semoga keberkahan Allah SWT senantiasa tercurah pada beliau. Amin Allahumma Amin.

(Untuk catatan biografi singkat Syech Abdurrauf, saya olah dari berbagai sumber)

Ziarah di makam ABDURRAUF BIN ALI AL JAWI AL FANSURI di Singkil (rusman-GFI)

Lokasi makam ABDURRAUF BIN ALI AL JAWI AL FANSURI (rusman-GFI)

Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com