Dina Y Sulaeman, mahasiswa S3 Hubungan Internasional Unpad dan research associate di Global Future Institute
Dunia sedang heboh oleh penyadapan yang dilakukan AS. Tanggapan yang ‘menarik’ buat saya adalah ‘pembenaran’ dari TB Silalahi, “Kan bukan cuma Indonesia yang disadap itu? Mereka menyadap ke negara-negara yang ada kepentingan dengan mereka, wajar-wajar saja ini.” (Detikcom).
Menurut Budi Raharjo dalam blognya, “Dalam sejarahnya, penyadapan dan perlindungan data memang sudah berlaku sejak jaman dahulu kala. Pada zaman Julius Caesar dikenal Sandi Caesar. Konon Perang Dunia Kedua berakhir dengan lebih cepat karena pihak Sekutu berhasil memecahkan sistem persandian dari Jerman, yang menggunakan perangkat Enigma. Karena itu, jika sudah kita sadari bahwa nature dari kegiatan ini adalah saling sadap, maka kita harus menguasai teknologi dan teknik untuk melakukannya dan melindungi diri.” (rahard.wordpress.com)
Ada dua hal yang ingin saya tanggapi:
1. Dari sisi ‘biasa’, ya memang ‘biasa’ sih. Tapi ‘kebiasaan’ ini dilandasi oleh pola pikir realis (dalam terminologi HI): setiap negara harus melakukan segala cara, halal atau tidak halal, demi melindungi negaranya. Karena itu, dengan pola pikir ini, setiap negara harus mempercanggih teknologinya supaya tidak bisa disadap dan melakukan upaya kontra-spionase. Tapi pola pikir seperti ini tidak akan membawa perdamaian dunia: dunia akan terus berkonflik. Apalagi, dalam struktur internasional hari ini, hanya negara kuatlah (terutama AS) yang mampu menyadap negara lain secara masif, dan sudah hampir pasti digunakan untuk menghegomoni dan mendominasi negara-negara lemah. Bohong besar kalau AS mau menggelontorkan dana milyaran dollar untuk menyadap negara lain kalau tidak ada untung besar yang akan diraup di kemudian hari. Dan untuk menghadapi ‘kebiasaan’ semacam ini, memang kita harus mempercanggih perlindungan terhadap data-data negara; bukannya menganggap ‘biasa’ dan membiarkannya saja (seperti kata TB Silalahi).
2. Dari sisi hubungan internasional, mata-mata jelas tidak legal. Makanya banyak negara yang menghukum mati mata-mata yang tertangkap. Masalahnya, bagaimana kalau yang menjadi markas mata-mata itu justru kedubes? Kedubes di sebuah negara adalah wilayah berdaulat; pemerintah negara tempat Kedubes berada tidak boleh masuk tanpa seizin Kedubes. Di sisi lain, diplomasi memang sangat terkait dengan kegiatan mata-mata. Sudah bukan rahasia lagi bila diplomat bertugas mengumpulkan informasi sebanyak mungkin dari negara tempatnya bertugas. Tapi, mencari informasi ini bisa dengan cara halal (legal), bisa juga dengan cara haram (misalnya, penyadapan ini). Nah, bagaimana status hukumnya? Hukumnya ditetapkan oleh masing-masing negara (bisa dideportasi, dipenjara, atau bahkan dihukum mati). Namun pelaksanaannya sangat bergantung kepada kekuatan (power)negara masing-masing.
Inilah buktinya: Indonesia yang powernya lemah, memang tak berbuat banyak meski sejak lama sudah banyak pihak yang memperingatkan banyaknya agen CIA di Indonesia. Sebaliknya, Iran sangat keras terhadap aksi mata-mata. Aksi paling keras yang pernah dilakukan Iran adalah menduduki kedubes AS di Teheran yang terbukti menjadi sarang spionase. Uniknya, sejak 1980 Ayatollah Khomeini sudah menyebut Kedubes AS sebagai ‘sarang spionase’, dan baru tahun 2013 negara-negara dunia ‘nyadar’ soal ini.
Selengkapnya tentang aksi pendudukan kedubes AS bisa baca artikel saya (juga ada video yang memperlihatkan bagian dalam kedubes AS di Tehran): http://dinasulaeman.wordpress.com/2013/04/25/ke-lebay-an-argo/